jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 04 Oktober 2010

Negara Tanpa Modal Sosial

Korupsi, kekerasan, kriminalitas, kemiskinan, pengangguran dan derita rakyat senantiasa kontras dengan mereka yang mewakili rakyat di gedung DPR. Duduk di kursi yang empuk dengan ruangan ber-AC, mengendarai mobil-mobil mewah dengan sopir pribadi, fasilitas lengkap, rumah nyaman, gaji besar, ditambah dengan sejumlah tunjangan lain yang tak pernah dinikmati rakyat kebanyakan. Rakyat kecil setiap hari berjibaku dengan kerasnya hidup untuk sekadar dapat bertahan hidup, kontras dengan para wakil rakyat yang terkantuk-kantuk mendengarkan pidato yang dianggapnya bak nyanyian peninabobo.

Negeri ini memang penuh kontras, kontradiksi dan ironi. Seruan moral, ajaran etika, pesan-pesan religius yang mulia senantiasa mewarnai pidato para pejabat kita yang justru lebih sering mengingkari dan melanggar nilai-nilai itu sendiri. Tanggal 16 Agustus 2010, Presiden SBY berpidato di depan DPR dan dengan lantang mengatakan, ”Pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama pemerintah.” Tetapi satu hari setelah itu SBY memberikan grasi dan remisi kepada para koruptor.

Ironi lain terjadi berkaitan dengan hubungan RI-Malaysia yang kembali tegang lantaran penangkapan terhadap tiga pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) oleh Polisi Diraja Malaysia. Mereka ditangkap ketika sedang menjalankan tugas menangkap tujuh maling yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Ketiganya ditangkap di wilayah perairan Indonesia dan diperlakukan laiknya penculik: diborgol dan harus mengenakan baju tahanan seperti para penjahat. Ironisnya, tujuh pencuri ikan dari Malaysia yang ditangkap itu kemudian dibebaskan sebagai barter untuk kebebasan ketiga pegawai DKP kita.

Hilangnya Kepercayaan

Wajarlah bila rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Kepercayaan merupakan unsur terpenting bagi kemajuan sebuah bangsa. Sebagai sebuah bangsa dan negara, kita belum dapat menciptakan sebuah komunitas moral yang memiliki sistem etika bersama. Komunitas moral dapat muncul karena bahasa bersama yang digunakan berkaitan dengan kebaikan dan kejahatan. Bahasa bersama ini kemudian menciptakan kehidupan moral bersama dalam bentuk tindakan dan ucapan yang dapat dipercaya. Dan modal sosial merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor-faktor lain yang sangat penting bagi kesejahteraan ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar budaya yang dimiliki bangsa tersebut.
Namun, bangsa kita sering kali kehilangan akar budaya akibat godaan kekuasaan dan politik yang sangat mahal. Jabatan diperoleh dengan ”membeli” suara dan rekomendasi dari atasan. Maka, menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat terhadap pemerintah harus dilakukan dengan terlebih dulu membenahi mentalitas dan perilaku pejabat dan wakil rakyat. Harus ada kesadaran yang tumbuh dari nurani bahwa jabatan bukan lahan bisnis, tetapi amanah yang harus dijunjung tinggi demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama. Korupsi selama ini dilakukan oleh para pejabat tinggi yang dianggap dapat mewakili kepentingan rakyat, yang seharusnya bekerja demi kesejahteraan rakyat dan negara. Korupsi merupakan bentuk keserakahan para pejabat yang hidup enak dengan gaji besar, tetapi masih terus menguras uang Negara lewat jalur tak halal.

Kebohongan dan keserakahan seharusnya merupakan musuh utama yang harus diperangi agar bangsa kita ini dapat bangkit keluar dari krisis melelahkan yang telah mencabik-cabik keutuhan, keamanan, dan kenyamanan hidup di negeri tercinta ini. Keserakahan merupakan salah satu akar dari pelbagai macam kejahatan dan perilaku tidak manusiawi yang dilakukan manusia untuk memenuhi nafsu dan hasrat pribadinya. Setiap agama dan ajaran moral mengutuk sikap serakah. Keserakahan membuat kita tidak peka terhadap kondisi hidup mereka yang dalam kemiskinan, kepiluan, dan keputusasaan akibat ketidakpedulian dan ketaksudian kita untuk berbagi kebahagiaan.

Bahkan keserakahanlah yang telah membuat saudara-saudara kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Keserakahan dan korupsi telah membuat hukum dan lembaga peradilan tidak lagi memiliki wibawa karena orang-orang yang seharusnya menegakkan keadilan dan membela kebenaran di hadapan hukum, justru menjadi pengabdi uang dan kekuasaan. Mereka tidak lagi peduli siapa korban dan siapa pelaku, yang penting siapa yang membayar dialah yang benar dan akan menang.

Jangan Cuma Retorika

Slogan-slogan mulia yang sering kita gembar-gemborkan bahwa kita bangsa yang religius, yang menjunjung tinggi nilai-nilai serta ajaran agama hanya berhenti pada retorika semata. Lebih parah, agama justru dijadikan alat pembenaran bagi sebagian pelaku kejahatan untuk dapat lolos dari jeratan hukum. Padahal, agama diturunkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai penderitaan, perbudakan, dan eksploitasi yang dilakukan sebagian manusia atas manusia yang lain.

Dalam Islam, misalnya, perintah amar ma’ruf nahi munkar seharusnya dapat menyentuh rasa kepekaan kita terhadap nasib mereka yang menderita akibat tatanan sosial yang tidak adil dan korup. Interpretasi keagamaan yang otentik seharusnya mampu membaca realitas bangsa secara lebih utuh dalam upaya menguji dan menggumuli kebenaran doktrin agama dengan realitas hidup yang serba keras, korup, dan kejam. Jauhnya jarak antara normativitas dan historisitas keagamaan, meminjam istilah M. Amin Abdullah (1996), membuat kesenjangan sosial semakin lebar dan sulit dijembatani.

Selama ini, nilai-nilai normatif agama yang ideal masih jauh berada di awang-awang tanpa dapat menyentuh realitas kehidupan yang diliputi ketidakadilan, kekacauan, dan kelaliman. Kesenjangan antara normativitas dan historisitas dalam wilayah tafsir agama membuat kaum muslim belum mampu berpikir strategis untuk melepaskan diri dan sesamanya dari suasana hidup yang serba kekurangan dan penuh dengan penderitaan ini.
Dalam pandangan Islam seperti tertulis dalam Alquran, ketidakpedulian terhadap kaum miskin, anak yatim, dan lemahnya perjuangan untuk membebaskan rakyat dari himpitan kemiskinan merupakan simbol kedustaan terhadap agama dalam pengertian yang otentik. Akibatnya, umat Islam Indonesia banyak terjebak dalam egoisme politik dan sikap serakah terhadap kekuasaan yang akan melumpuhkan nurani dan memandulkan logika. Korupsi dan keserakahan telah membutakan mata hati para pelakunya untuk melihat dan memerhatikan penderitaan rakyat yang tidak lagi mampu membeli beras, gula, atau bahkan sesuap nasi untuk menyambung hidup.

Cita-cita untuk menjadi manusia yang otentik hanya akan menjadi angan-angan jika kita masih memelihara sifat dan watak serakah dalam hati dan pikiran kita. Otentisitas kemanusiaan akan dapat kita raih jika kita rela berbagi kebahagiaan bersama orang lain. Kebahagiaan sejati tidak pernah dapat kita peroleh dalam kesendirian, isolasi, dan egoisme karena puncak moralitas yang sesungguhnya hanya dapat dicapai dalam cinta, di mana kebahagiaan dan kebaikan menyatu. Otentik berarti kita dapat membuka diri secara positif terhadap manusia lain, tanpa kehilangan jati diri kita. Modal sosial berupa kepercayaan, harga diri, moralitas, etika, kebersamaan, dan kepedulian, harus ditumbuhkan agar kita dapat saling mendukung dalam kebaikan dan tegas menghadapi berbagai bentuk pelecehan yang dilakukan bangsa lain.


Oleh: Ruslani, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab), Yogyakarta
Sumber: Harian Joglosemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar