jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 09 Juni 2009

Ruh Baru


KARAKTERISTIK dakwah yang panjang membawa risiko yang rentan bagi sebagian kader. Ada rasa jenuh yang secara tabiat tak terelakkan. Apalagi tatkala dakwah sudah memasuki wilayah politik. Citra generalnya saja sudah negatif. Sehingga semua pihak tak peduli siapa pelakunya atau komunitas mana yang terjun. Semua dipukul rata: jelek.

Itulah yang mengakibatkan sebagian kader jengah ketika melihat penampilan dakwah ini dalam akrobat politik. Khususnya di negeri kita tercinta ini, yang karena euforia reformasi tampilan politik kita adalah demokrasi kebablasan semua serba pilihan langsung. Presiden pilihan langsung, gubernur, pilihan langsung, bupati/walikota pilihan langsung, kepala desa pilihan langsung. Bahkan sampai RT-RW pun dipilih secara langsung oleh rakyat.

Tidak ada lagi sistem perwakilan. Inilah yang mengakibatkan perhatian, kegiatan, dana dan konsentrasi masyarakat sibuk terus-menerus untuk pilihan langsung ini. Tentu ini berakibat sektor lain nyaris terabaikan atau tak terurus secara proporsional.

Barangkali bila hasilnya berubah menuju perbaikan, tak menjadi masalah. Namun nyatanya dipilih oleh wakil rakyat dahulu sebelum dipilih oleh rakyat langsung seperti sekarang hampir bisa dipastikan hasilnya sama, bila incumbent maju lagi. Yang jadi kepala daerah ya itu-itu juga.

Lantas apa yang berubah? Yang bisa dipastikan berubah adalah anggarannya. Pemilihan bupati dulu cukup Rp2 miliar, tapi sekarang tidak cukup Rp 20 miliar. Dulu pemilihan gubernur cukup Rp 10 miliar, tapi sekarang Rp 600 miliar. Saya barangkali tidak perlu meneruskan ke pemilihan presiden, karena itu amanat konstitusi. Namun pilkada langsung itu benar-benar mutaghoyyirot, ikhtiyarot, opsional. Jadi tampaknya perlu direnungkan untuk direkayasa ulang biar tidak kebablasan.

Harus diakui, bahwa ketidaknyamanan ukhuwah di antara kita pun bermula dari pilpres yang lalu. Sangat terasa dari atas ke bawah. Bahkan hubungan kita terkoyak dengan salah satu ormas Islam besar di Indonesia pun gara-gara momentum itu. Tentu termasuk keretakan hubungan dengan para tokohnya. Sangat dirasakan sampai sekarang.

Ditambah pemahaman dan persepsi yang tidak cepat seragam antar kita dalam menyikapi pilkada. Itupun berdampak hingga sekarang meski cenderung membaik. Belum lagi kecaman publik ketika kita harus menentukan pilihan. Jadi double cover kita mesti kuat.

Kita masuk wilayah rebut-merebut pengaruh. Kita terlibat dalam merayah kue jabatan. Bahkan kita dituduh turut serta dalam politik dagang sapi. Meskipun secara internal, kita punya alasan memberikan kemaslahatan. Namum kapan kita mulai diskusi tentang hal yang subtansial? Tentang pendidikan, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain. Karena yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia pun itu.

Bukankah kita sepakat bahwa kita harus menang pemilu untuk mereduksi, bahkan menghilangkan hambatan-hambatan dalam merealisasikan semua sektor kehidupan sesuai konsep kita? Yakni konsep yang sesuai dengan dasar keyakinan kita, Islam. Atau dengan bahasa lain kita harus menang lantaran liyudzhirahu ’aladdiini kullih.

Nah karenanya bagi yang tidak berkenan menikmati tontonan akrobat politik di panggung yang terlanjur digelar ini, mulailah membuka produk pemikiran prima dan hasil syuro yang produktif yang sudah tertuang dalam Falsafah Dasar Perjuangan PKS. Atau lebih rinci bila dikunyah obat penentram hati yang tertuang dalam Platform Pembangunan PKS. Dua produk itulah yang oleh kader senior di Jawa Tengah disebut ”Inilah Ruh Baru”, inilah yang sekarang kita butuhkan. Wallahu a’lam.


Oleh: Drs. Abdul Fikri Faqih, MM. (Ketua MPW PKS Jateng)
Sumber: http://pks-jateng.or.id/new/index.php?option=com_content&task=view&id=93&Itemid=33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar