jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 09 Juni 2009

TSIQOH


Hal yang esensial dalam menegakkan pilar kekokohan jamaah adalah Ats-tsiqotu atau percaya sepenuh hati. Namun dalam praktek berjamaah tidak semudah yang diceramahkan. Buktinya adalah dalam mencapai kemenangan da’wah justeru kendala utamanya adalah tergerusnya tsiqoh dalam diri unsur jamaah itu sendiri. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa PKS mendeklarasikan diri sebagai partai da’wah, berarti logika berjamaah harus selalu menjadi parameter yang dijunjung tinggi dalam setiap langkahnya.

Dalam perjalanan da’wah ini, diantara kita sudah mulai ada yang menggugat kebijakan jamaah secara nasional, wilayah bahkan daerah. Sudah ada yang mulai memproklamirkan diri keluar dari PKS dan membentuk komunitas PKS- watch. Kebijakan partai sudah mulai dicurigai hanya berorientasi jangka dekat, pragmatis. “Ngaji YES, partai NO” , “Jamaah YES, PKS NO”. Begitulah kira-kira yel-yel atau motto yang dihembuskan virus dalam realitas berjamaah ini.

Ala kulli hal, namun semua masih sepakat bahwa kita mesti berda’wah dan kita harus berjamaah. Hanya, riak gelombang penyakit ketidak-tsiqoh-an di tataran nyata dalam kehidupan berjamaah ini harus diwaspadai. Karena kita memang benar-benar sedang praktek berjamaah bukan sekedar berwacana, berteori, mengkhayal apalagi bermimpi.

Padahal kitapun sadar bahwa mekanisme kejamaahan sudah dibangun sejak tahun 1980-an. Sebelum da’wah menemui ujudnya dalam bentuk lembaga partai. Dua puluh tahun tentu usia yang cukup mapan dalam penataan sebuah organisasi. Betapa naif bila lantas kita tiba-tiba berbelok menjadi sangat duniawi, pragmatis bahkan matre. Na’udzubillahi mindzalik.

Tata urutan pengambilan keputusan, meskipun tidak seluruhnya tertulis, sudah sangat kuat. Mungkin kekurangan dalam formalisasi administratif dokumentasi sedang berproses. Namun secara substansial model syuro kita sudah sangat kokoh. Dari Ahlul halli wal ‘aqdi hingga jundi. Dari atas sampai ke bawah. Dari normatif filosofis menuju eksekusi praktis, sangat jelas. Survei manapun telah menunjukkan hingga kini kekuatan kita adalah pada kekokohan dan soliditas internal atas kebijakan yang diambil. Kita tidak atau belum mengenal istilah disersi.

Descenting opinion hanya ada dalam dinamika musyawarah kita dan tidak sampai dibawa pada tataran operasional kerja da’wah. Di lapangan kita masih tauhidul ‘amal. Barangkali lebih pas disebut hanya dalam rangka menegakkan tawashau bilhaq, tawashau bissobri, tawasahau bilmarhamah. Saling mengingatkan dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang. Juga ajang untuk mengekspreikan semboyan qullihaqqo walau kana murron, katakan yang benar meskipun pahit. Alhamdulillah.

Bahkan di era domokratisasi ini, anggota jamaah bisa lebih tenang (aqna’). Lantaran hampir semua keputusan melibatkan semua unsur, meski dengan teknik perwakilan. Apakah itu di Majelis Syuro dan Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) di tingkat Pusat, DPTW di tingkat Wilayah maupun DPTD di tingkat Daerah. Belum lagi forum-forum yang bersifat ad-hoc (sementara) sesuai kepentingannya, seperti Tim Optimalisasi Musyarokah (TOM) maupun Panitia Penjaringan Tingkat (Panjati) dari Pusat hingga Daerah.

Nah, tentu kita semua berharap bangunan yang sudah dibayar dengan darah dan nyawa Akhunal Fadil Sobari di medan laga, Al-Akh Asy-syahid Mudarrib Syarif di Mukhoyyam Tarbawiy. Pengorbanan para awwalun kala itu memang tidak selayaknya begitu saja dirusak oleh generasi sekarang dengan berkembangnya virus ketidak-tsiqoh-an dengan dalih demokratisasi dan kebebasan berpendapat.

Sehingga tatkala keputusan sudah diambil dengan mekanisme jamaah, maka tidak ada lain sikap yang baik bagi kader kecuali, sam’an wa tho’atan. Maka ketika kamu sudah ber’azam maka berserah dirilah kepada Allah, Faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah.

Tentu tidak semua keputusan syuro jamaah selalu bisa memenuhi keinginan dan pendapat kita. Apalagi tidak semua forum kita punya hak atau kesempatan untuk turut serta berpartisipasi di dalamnya. Jadi, sikap yang baik agar tetap bisa mempertahankan ke-tsiqoh-an dan komitmen kita kepada jamaah adalah: tabayyun, sabar dan tabligh.

Tabayyun, artinya atas segala informasi negatif yang memojokkan bahkan yang merugikan jamaah, maka kader yang baik tentu terus mencari kejelasan atau klarifikasi dari sumber yang mu’tamad. Agar kita cukup keterangan atas segala hal yang telah diambil kebijakannya dalam jamaah. Dengan demikian kita tidak goyah atas info miring yang diarahkan kepada kita sebagai kader dari jamaah ini. Kader dari partai ini.

Shabar, maknanya terhadap sanjungan maupun cacian dari luar, kita tidak cepat besar diri atau sakit hati. Sehingga tidak cepat lupa diri atas pujian. Dan kitapun tidak cepat bermusuhan gara-gara masyarakat menilai negatif, mencaci dan menghina kita. Innallaha ma’ashshobirin, sungguh Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.

Tabligh, maksudnya kader seharusnya menjadi agent atau corong untuk menjelaskan dan menyebarluaskan kebijakan jamaah kepada publik. Sehingga tidak ada lagi syak dan ragu dari elemen masyarakat manapun untuk kemudian mendukung dan berafiliasi kepada keputusan kita. Lantaran tidak ada informasi tentang kebijakan jamaah (partai) ini yang menjadi bias.

Nampaknya bila tiga resep untuk menjaga ke-tsiqoh-an kepada jamaah ini kita pegang, insya Allah tidak ada kata lain kecuali kita benar-benar sedang menegakkan pilar utama dalam berjamaah. Dan berarti kita sedang meraup kemenangan da’wah. Dan partai atau PKS inilah lapangan riilnya dalam menabung cicilan kemenangan da’wah itu.

Mari kita terapkan konsep di atas dalam Pilkada, Pilgub, bahkan Pilpres nanti. Apalagi sekarang kita sedang proses menjaring calon anggota legislatif untuk Pileg. Tentu kaidah kejamahan tetap kita junjung tinggi agar kita tetap berkah. Sebab ini semua adalah usaha agar kemenangan yang sesungguhnya di tangan Allah bisa cepat diberikan kepada kita. Wallahu a’lam.


Oleh: Drs. A. Fikri Faqih, MM. (Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PKS Jateng)
Sumber: http://pks-jateng.or.id/new/index.php?option=com_content&task=view&id=102&Itemid=32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar