jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Senin, 24 November 2008
Survei Politik Pesanan Muncul Lagi?
Jakarta. Menjelang Pemilu 2009 surrvei-survei tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kehadirannya ikut mewarnai proses demokratisasi yang terjadi di ranah politik nasional. Sayangnya tak semua survei politik bisa dipercaya kesahihannya. Mengapa?
Survei politik menjadi tak lapuk oleh krisis karena pasarnya memang sedang ranum-ranumnya. Sebentar lagi, bakal berlangsung pesta demokrasi, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden. Partai politik dan politisi papan atas membutuhkan hasil survei untuk mengukur diri.
Persoalannya adalah sejauh mana kredibilitas dan akurasi hasil survei? Sejauh mana pula independensi lembaga survei? Bagaimana pula mereka menyingkirkan kecurigaan bahwa parpol dan politisi ikut berperan secara finansial untuk membuahkan hasil survei.
Tak ada yang memastikan hitam-putih, peran parpol dan politisi papan atas terhadap hasil akhir sebuah survei. Tapi, gelagat tak sedap bisa terlihat dari tanda-tanda yang dengan gampang dibaca. Apa itu? Hasil survei para lembaga tersebut tak lagi memiliki akurasi yang meyakinkan. Itulah yang membuat lembaga survei mendapat kritik dan gugatan dari publik, media, konsumen survei, hingga masyarakat madani.
Tengoklah hasil Pilkada Jawa Timur. Hasil Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, Lembaga Survei Nasional, dan Puskaptis, terbukti meragukan dan membingungkan masyarakat.Banyak yang mempertanyakan dan menggugat.
Buktinya, penetapan KPUD Jatim mengenai kemenangan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf berbeda dengan hasil prediksi quick count LSI Saiful Mujani maupun Denny JA. Jika lembaga survei memperhitungkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono yang menang tipis, KPUD menentukan lain.
Tentu, ini menyisakan persoalan besar bagi eksistensi penyelenggaraan survei di negeri ini. Kualitas survei mereka patut dipertanyakan. Demikian halnya kualitas survei LSN dan Puskaptis. Semua digugat dan dipertanyakan publik.
Di tahun 2008, publik juga mencatat keberhasilan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf memenangkan Pilkada Jawa Barat. Ini membuat ‘pucat’ wajah LSI Mujani maupun Denny. Pasalnya, sebelumnya mereka mengunggulkan Agum Gumelar atau Denny Setiawan.
Ada kecenderungan sosial yang kuat bahwa survei sudah tak layak dipercaya. Apalagi, survei-survei itu menelan biaya milyaran rupiah. Sehingga, tentu saja, akurasi survei itu pantas digugat. Dan, layak juga diusung tanda tanya, sejauh mana tanggung jawab moral lembaga-lembaga survei itu tatkala pasangan yang diusungnya kalah dan merasa dipermalukan.
Belakangan, hasil survei LSI Saiful Mujani soal kemungkinan naiknya suara Partai Demokrat di luar perhitungan banyak orang. Katanya, Partai Demokrat berpeluang menang Pemilu 2009 karena menangguk swing voter. Persoalannya, dari mana hitung-hitungan itu?
Padahal LSI Mujani punya slogan: akurat, terpercaya, berpengaruh. Demikian halnya lembaga-lembaga survei lainnya juga punya slogan serupa tapi tak sama. “Jangan terlalu percaya survei LSI,” kata Presiden PKS, Tifatul Sembiring.
Swing voter bisa saja berpindah ke berbagai parpol, tak hanya ke PD. Bisa juga ke Hanura, PKS, Gerindra, PDI-P, Partai Golkar dan lain-lain. Mereka yang kemarin berpaham nasionalis, bisa saja lima tahun ini berubah jadi Islamis dan sebaliknya. Banyak faktornya.
Pertanyaan radikalnya: survei LSI itu dananya dari mana? Sebab bukan rahasia lagi, dana juga berpengaruh kepada hasil survei terkait makin langkanya sumber dana akibat krisis finansial global yang menerjang ekonomi nasional.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa survei-survei berbagai lembaga kini sulit mencari sponsor independen. Yang ada dana dari politisi, parpol, atau cukong para politisi.
Jika hasil survei ini melegakan atau memuaskan sang pemesan, biasanya ada bonus, perpanjangan kontrak, menjadi konsultan politik, meraih proyek atau pekerjaan sejenisnya. LSI, Fox Indonesia, dan jaringannya dikenal dekat dengan elit Partai Demokrat dan parpol lain. Sehingga bisa ditebak kecenderungannya.
Kritik tajam dari media semisal Kompas dan Tempo dan media lain terhadap kredibilitas institusi-institusi survei, menunjukkan kekecewaan terhadap kualitas lembaga-lembaga survei yang kadung komersial itu. Baik komersil secara terbuka maupun terselubung.
“Kita khawatir, survei-survei tidak lagi berpengaruh dan tidak lagi terpercaya. Ini pelajaran berharga,” kata Arbi Sanit, pakar politik UI..
Institusi survei telah mengenyam banyak sekali pengalaman dalam kurun waktu 1999-2008. Jika beragam kegagalan terus berlanjut, patut dipertanyakan, ada apa dengan institusi survei di negeri ini? Kepercayaan publik nyaris hilang sama sekali.
http://smsplus.blogspot.com/2008/11/survei-politik-pesanan-muncul-lagi.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar