jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Rabu, 19 Oktober 2011

Jangan Terlambat!

Oleh: Abdullah Haidir, Lc (Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah PKS Arab Saudi)

Akhir-akhir ini kita disuguhkan sebuah dinamika sejarah yang begitu cepat, dahsyat dan tak terduga. Kekuatan-kekuatan yang selama ini begitu jumawa karena merasa dapat berbuat apa saja, satu persatu rontok, jatuh tersungkur. Bukan oleh jet tempur dan tank baja milik kekuatan asing yang selalu mereka peringatkan ancamannya, bukan pula oleh pihak oposisi yang selalu mereka jadikan seteru kekuasaannya, bukan pula oleh kudeta orang dalam yang tak sabar terlalu lama menanti gilirannya. Tapi oleh rakyatnya sendiri yang datang tanpa senjata, mengetuk dan menggedor pintu-pintu kesombongannya .

Peristiwa yang sungguh-sunguh memberikan begitu banyak pelajaran berharga bagi kita sekalian. Salah satunya dapat diungkapkan dalam satu kalimat pendek; Jangan Terlambat!

Ya, keterlambatan menyadari keinginan dan penderitaan rakyatnyalah yang menyebabkan para penguasa itu terjungkal. Sebab, kesadarannya baru muncul ketika rakyat dengan segenap kemarahannya sudah tiba di halaman istananya. Ketika janji-janji manis sudah tidak dapat dipercaya kebenarannya.

Keterlambatan seperti ini tentu tidak berdiri sendiri, tapi merupakan buah dari keterlambatan yang lebih besar sebelumnya, yaitu keterlambatan memahami hakikat kepemimpinan yang merupakan amanah amat besar di pundaknya. Itupun juga buah dari keterlambatan yang lebih besar lagi, yaitu terlambat memahami hakekat kehidupan yang harus tunduk dan menghamba kepada Allah apapun kedudukan dan jabatannya.

Seandainya dia benar-benar memahami dan menghayati posisinya sebagai hamba Allah, maka firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi, "Wahai hamba-Ku, sungguh aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan (kezaliman itu) di antara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zalim." (HR. Muslim) cukuplah akan mengingatkan dirinya dari kezaliman yang paling kecil, apalagi yang paling besar.

Cukup pulalah sebagai pemimpin, kalau keimanannya benar, dirinya akan merinding manakala ingat pesan baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

"Siapapun hamba yang Allah berikan jabatan untuk mengatur urusan rakyatnya, namun ketika mati dia berada dalam keadaan mengkhianati rakyat, niscaya Allah haramkan surga baginya." (HR. Muslim)

Keterlambatan inilah yang dialami Fir'aun. Ketika dirinya sudah 'megap-megap' menjelang tenggelam di laut merah, dia baru sadar akan kekhilafannya, lalu berkata, "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang diimani oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Yunus: 90)

Maka Allah menjawab tegas, "Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dulu…" (QS. Yunus: 91)

Seakan tidak ingin ketinggalan untuk mengikuti jejak 'seniornya', para diktator itupun baru sadar dengan keinginan rakyatnya seraya menjanjikan berbagai perubahan disaat segala sesuatunya telah terlambat. Sekian puluh tahun kesempatan tersedia baginya untuk melakukan apa yang sekarang dia ucapkan dan janjikan, namun tidak ada realisasinya. Maka rakyat pun tidak percaya lagi janji-janji manisnya. Seandainya hal tersebut diucapkan dan dilaksanakan 5-10 tahun lalu, niscaya mereka akan jadi pahlawan yang dielu-elukan rakyatnya. Namun ketika terlambat, caci maki dan kehinaan menjadi balasannya.

Inipun pelajaran bagi kita dalam wilayah pribadi, agar jangan terlambat menyadari dan mengambil tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kehidupan ini selalu bergulir dan mengalir seiring bergulir dan mengalirnya waktu yang tidak pernah menunggu.

Banyak fenomena keterlambatan yang sering mendera kehidupan kita. Terlambat menunaikan kewajiban hingga menumpuk satu demi satu. Terlambat membangun kematangan pribadi, baik dalam urusan agama maupun dunia. Terlambat menangkap sinyal keinginan atau kekecewaan pihak lain, apakah suami atau isteri, orang tua atau anak-anak, tetangga atau teman sejawat. Terlambat memperkirakan berbagai tantangan yang ada di depan, mencari solusi sebelum permasalahan tak dapat teratasi, mengurai problem satu persatu sebelum liar tak menentu. Lambat pula menumbuhkan kesadaran untuk melakukan antisipasi atau merespon berbagai tuntutan yang menghampiri. Maka, dampaknya adalah kekecewaan, kegagalan, penolakan, sikap tidak terkendali, dan tidak jarang berujung pada jatuhnya harga diri.

Jadi, terlambat bisa jadi merupakan kata kunci dari serangkaian problem yang kita hadapi. Bukan karena kemampuan atau kepandaian tidak dimiliki, bukan pula karena minimnya fasitilitas yang ada pada diri sendiri, bukan pula karena tiadanya kecerdasan dan berbagai teori.


Ibarat seorang pengendara, manakala sejak awal dia sudah dapat mengantisipai berbagai kejadian di depan, lalu mengambil ancang-ancang dalam jarak yang masih luang, maka pada saatnya dia dapat menghindar dengan aman. Lain halnya kalau ancang-ancang tersebut baru diambil beberapa meter saja sebelum menghindar, akibatnya akan fatal. Walaupun mobilnya mewah dengan berbagai fasilitas tersedia, jalan mulus dan lurus serta fisik yang prima.

Akan tetapi, selama kita masih diberi kesempatan hidup di dunia ini, peluang untuk memperbaiki segala keterlambatan yang pernah kita lalui masih terbuka, selagi kita masih mau memperbaiki, jujur terhadap kekurangan diri, dan optimis dengan masa depan yang lebih berarti. Maka, kalau kita pernah merasa terlambat dalam kehidupan ini, hendaknya jangan lagi terlambat untuk kedua kali. Tidak ada kata terlambat selagi masih ada kesempatan memperbaiki.

Keterlambatan yang sesungguhnya sekaligus mengerikan adalah jika dia baru disadari ketika tidak ada lagi kesempatan untuk kembali….

"Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, 'Ya Tuhanku, kembalikan aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja." (QS. Al-Mu'minun: 99-100)

Ya Allah, jangan jadikan kami orang-orang yang terlambat memperbaiki diri dan menata hidup kembali. Amin.

Riyadh, Rabi'ul Awal, 1432H

Sumber: PKS Piyungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar