jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 17 Oktober 2010

Ngguyu Ora Payu, Ngentut Ora Patut

 Mohon maaf jika judul yang saya gunakan agak seronok yang membuat Anda akan sedikit tersenyum kecut. Saya agak kesulitan menggunakan beberapa idiom Bahasa Jawa untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dari kalimat tersebut. Karena ungkapan tersebut menjadi kehilangan keindahannya dari segi susastra karena ungkapan-ungkapan yang njawani mampu memberi rasa bagi kita yang berbicara dalam bahasa Jawa jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Alkisah di negeri antah berantah ada seorang ayah dan anak yang berjalan sambil menuntut seekor kuda. Orang pada heran mengapa kuda tersebut tidak dinaiki cuma dituntun. Maka, sang anak naik kuda tersebut. Melihat anak naik kuda sedangkan sang bapak berjalan kaki, orang yang bertemu mereka heran dan bertanya juga. Maka, si anak turun gantian si ayah yang naik kuda. Melihat ayah naik kuda, sementara itu anak berjalan kaki, orang pun berkomentar mengapa orangtua tidak mau mengalah pada anak?. Ayah dan anak tadi bingung lalu mereka berdua naik kuda. Orang-orang juga usil mengapa satu kuda dinaiki oleh dua orang?. Akhirnya, mereka berdua turun dari kuda dan menggotong kuda itu. Sampai di sini orang-orang masih bersuara bahwa kedua orang itu tidak waras karena kuda yang masih hidup digotong.

Serba salah atau salah tingkah adalah fitrah manusia. Dan itu dialami oleh pemimpin kita dari bupati/walikota, gubernur, hingga presiden. Penyakit atau sindrom serba salah tersebut dinamakan penyakit ngguyu ora payu, (maaf) ngentut ora patut atau tertawa (berbuat baik) tidak laku, kentut (berbuat hal-hal buruk) tidak pantas. Jika manusia tersebut memiliki predikat pemimpin, maka fitrah serba salahnya akan menjadi bahan sorotan baik kawan maupun lawan. Ibarat sebatang pohon semakin besar dan tinggi, maka semakin besar dan tinggi pula terpaan angin.

Kalau Anda seorang lurah atau camat, maka terpaan angin tidak sedahsyat yang menimpa bupati, walikota, gubernur, menteri hingga presiden. Namun kita semua juga tahu bahwa pohon yang paling tinggi selain paling merasakan kuatnya terpaan angin, juga sebaliknya sangat beruntung karena kedudukannya yang tinggi memungkinkan ia menerima sinar matahari lebih banyak yang mengakibatkan tumbuh lebih subur dan menghasilkan lebih banyak serta mampu mematikan tumbuhan kecil di bawahnya.

Ketika ada seorang presiden yang hati-hati menyikapi sebuah hal, akan dikatakan sebagai pemimpin yang lambat dan peragu, sementara kalau cepat melaksanakan sesuatu dikatakan terlalu reaktif. Kalau ada presiden yang berani menurunkan harga BBM akan dikatakan mencari simpati menjelang pemilu, tetapi kalau tidak menurunkannya akan divonis sebagai tidak peka dan tidak memahami penderitaan rakyatnya. Kalau seorang pemimpin mengambil kebijakan pro rakyat akan dikatakan sok populis dan seterusnya dan seterusnya. Nguyu ora payu, ngentut ora patut adalah ungkapan atau unen-unen dari tersanderanya seorang pemimpin (Indonesia) akibat riuhnya jagad politik kita akibat dari semua orang rumangsa bisa tapi ora bisa rumangsa. Mereka akan menggunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan. Andai seorang presiden bisa berjalan di atas air,maka oleh lawan politiknya dikatakan bahwa sang presiden tidak bisa berenang.

Kepemimpinan dalam sebuah kekuasaan harus terus dikontrol. Idiom ngguyu ora payu, ngentut ora patut adalah wujud dari kontrol publik, maka jangan disikapi dengan apriori. Mengontrol sebuah kekuasaan bukanlah menebar kebencian. Kekuasaan ibarat sebuah rumah yang tetap terus diperhatikan dan dijaga kebersihannya agar tidak menjadi sarang tikus atau penyakit yang lain. Rumah yang kotor menjadi surga tikus beranak pinak. Mereka yang tidak menyukai kontrol publik dan cenderung apriori terhadap kritik ibarat sedang memelihara tikus yang lambat laun akan menjadi ganas.

Ada sebuah kisah tentang ditangkapnya dua orang pengembara oleh seorang kepala suku yang sangat kejam. Mereka berdua akan dilepas jika mampu mencari buah-buahan yang tidak ada di dalam hutan. Orang pertama datang menghadap dengan membawa buah nanas dan sang kepala suku marah karena buah nanas ada dalam hutan. Lalu menggosok-gosokkan buah nanas itu ke punggung namun ia malah tertawa terbahak-bahak waktu digosok dengan buah nanas. Kepala suku heran dan bertanya mengapa ia tertawa bukannya kesakitan?. Dijawab mengapa ia tertawa karena melihat temannya membawa buah durian. Artinya masih ada yang lebih menderita, susah dari dirinya.

Terkadang seorang manusia,ketika sedang sakit di rumah akan merasa dirinya paling menderita. Namun ketika oleh keluarganya dibawa ke rumah sakit dan bertemu dengan orang sakit yang lain, maka ia baru sadar bahwa ternyata tidak hanya saya saja yang sedang sakit. Jadi seandainya ada seorang Presiden (RI) yang cengeng karena menganggap dirinya terus dikritik, diawasi lalu merasa dizalimi lawan, teraniaya dan paling menderita maka sudah sepatutnya dibawa ke tempat penyembuhan yakni menjadi presiden Afghanistan, Palestina, Somalia atau Sudan. Maka ia akan merasa bahwa menjadi presiden (RI) sangat enak dan tidak menderita apalagi teraniaya.

Tipologi manusia umumnya merasa paling menderita jika tertimpa musibah. Jika hal itu terjadi dalam diri seorang pemimpin dan ia lalu curhat di depan rakyatnya maka ia telah menistakan diri sendiri di depan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan. Rakyat menginginkan seorang pemimpin terus bekerja dan rakyat juga yang menilai. Jika ada seorang menteri yang merasa aman dan nyaman dengan posisinya hanya karena presiden tidak pernah menegur dia yang diartikan bahwa presiden puas, seharusnya yang menilai itu rakyat bukan presiden atau atasannya.

Jika karena ngguyu ora payu tidak ada gunanya dan ngentut ora patut juga tidak pantas, menjadikan diri seorang pemimpin menjadi kerdil sebab gemar mengeluh, sejatinya ia lupa bahwa menjadi pemimpin ibarat menjadi matahari yang selalu bersinar meskipun orang mengeluh karena panasnya. Sebab matahari selalu setia terbit tiap pagi memancarkan sinar (kebaikan) tak peduli ada atau tiadanya orang mengeluh. Sebab kala matahari tenggelam dan orang dalam kegelapan maka mereka yang kegelapan akan mendamba datangnya cahaya.

Tetaplah ngguyu (tertawa) meski ora payu (tidak laku) karena ngguyu atau berbuat baik sudah menjadi kewajiban seorang pemimpin. Pemimpin jangan ngguyu atau berbuat kebaikan kepada rakyat saat kampanye saja. Ngentut ora patut sebab pemimpin tidak boleh berbuat nista, terutama kepada rakyatnya misalnya melakukan korupsi, memanipulasi hak rakyat. Hanya kentut Semar Bodronoyo yang mampu menyembuhkan dan membawa kebajikan serta membinasakan para pemimpin berwatak begundal. Jadi ...tuut!. Maaf rakyat kecil (Semar) boleh kentut agar mampu menyembuhkan penyakit rakyat besar (pemimpin).

Oleh: Rumongso, Guru Djama’atul Ichwan Sala dan Aktisis di Komunitas Pemikiran Sosial Sapu Lidi Sala.
Sumber: Harian Joglosemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar