jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 17 Oktober 2010

Kunker dengan Laptop Baru

Pagi yang mendung di padepokan Klamis Ireng. Ki Lurah Bodronoyo alias Semar hatinya gundah gulana. Matanya terpejam. Memikirkan kondisi negara Amarta yang carut-marut. Dia tidak habis pikir, kenapa para dewa di Jongringsalaka tidak pernah mau meninggalkan dan mengubah tradisi yang sudah berjalan bertahun-tahun, yaitu kesukaannya anjangsana alias Kunker (kunjungan kerja) melawat ke berbagai daerah dan negara. Kunker seolah menjadi harga mati, merupakan tradisi yang harus dilestarikan.

Dalam hitungan Ki Lurah Semar, sudah satu dasawarsa ini, para dewa disindir dan dikritik habis-habisan oleh kawula marcapada. Namun sepertinya tidak pernah digubris sama sekali. Toh tidak juga bergeming. Maju terus pantang mundur. Kunker tetap berjalan. Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Para dewa di Kayangan selalu punya alasan. Kunker merupakan tugas kenegaraan yang mulia, yaitu menjalankan amanat Undang-Undang. Konon katanya dalam perundang-undangan diatur ada tiga jenis Kunker. Pertama, konsultasi. Kegiatan ini dilakukan ke instansi atau lembaga yang lebih tinggi. Kedua, studi banding dilakukan ke instansi atau lembaga horizontal. Ketiga, kunjungan lapangan yang dilakukan dalam rangka tugas koordinasi atau pengawasan.

Bukankah wajar, bila dalam menjalankan tugas yang mahaberat dan maha penting mendapatkan fasilitas transportasi dan akomodasi? Begitu argumentasi mereka. Bahkan Batara Guru, yang menjadi jubir para dewa, selalu mengalkulasi apa yang dia terima sebenarnya tidak seberapa, masih relatif kecil. Bila dibandingkan dengan besarnya tanggung jawab yang diemban. Transportasi tidak menuntut yang macam-macam. Cukup pesawat udara. Urusan akomodasi cukup disediakan hotel bintang 3 atau 4 saja. Apakah itu berlebihan?

Saat Ki Lurah Semar mempertanyakan kepada para dewa, kenapa harus Kunker? Dengan tangkas dan cekatan para dewa menjelaskan. Masyarakat mestinya paham. Dewa bukanlah seorang ahli (expert). Sudah sepantasnya bila harus ngangsu kawruh sebelum memutuskan atau menggodok suatu keputusan.

Masyarakat tidak perlu khawatir, ungkap Batara Guru. Setiap Kunker pasti akan dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Hasil Kunker akan digunakan untuk referensi pelaksanaan legislasi, penganggaran dan pengawasan. Jadi tidak untuk pelesiran. Tidak untuk bersenang-senang. Tuduhan-tuduhan semacam itu tidak berdasar sama sekali. Bila ke suatu daerah, kemudian tugas utama selesai, lalu diteruskan jalan-jalan, berbelanja, melepas kepenatan, sekaligus menikmati daerah yang baru dikunjungi, apa itu salah? Kesimpulannya, Kunker itu wajar-wajar saja, kenapa selalu diributkan?

Bara dalam Sekam

Kisah di atas bisa jadi cerminan masyarakat kita saat ini. Berkali-kali masyarakat menentang Kunker dengan berbagai macam cara. Ibaratnya suaranya sampai habis, namun tidak pernah digubris sama sekali. Karena bagi para pejabat baik eksekutif dan legislatif, mulai dari pusat sampai daerah, tidak terkecuali di jajaran Pemerintah Kota Solo. Kunker sepertinya telah melembaga. Merupakan agenda kegiatan yang wajib hukumnya. Tidak dapat ditinggalkan dan harus dilaksanakan.

Pada 2010 saja, DPRD Kota Solo mengagendakan dua kali Kunker dengan dana sebesar Rp 2,17 miliar. Jumlah dana yang tidak kecil tentunya. Sebenarnya dana sebesar itu akan lebih bermanfaat bila digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun mereka selalu saja mereka berdalih dan beretorika. Bahwa Kunker sangat bermanfaat untuk menunjang kelancaran tugas Dewan. Tapi fakta berbicara lain. Kinerja DPRD Kota Solo selama 2010 terhitung rendah. Dalam agenda program legislasi daerah (Prolegda) 2010, DPRD Kota Solo ditargetkan dapat menyelesaikan 31 Perda dan permit (persetujuan). Kenyataannya baru 13 Perda dan permit yang selesai dibahas. Sisanya sebanyak lima Perda sedang dalam proses pembahasan dan 10 Perda dipastikan tidak akan terbahas pada 2010.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD Kota Solo, Asih Sunjoto Putro mengaku, melesetnya target pembahasan Raperda disebabkan beberapa faktor. Mepetnya waktu pembahasan menjadi salah satu alasannya.

Jawaban di atas mencerminkan bahwa DPRD Kota Solo dalam sisi perencanaan sangat lemah, khususnya dalam mengalokasi waktu. Rupanya mereka lebih disibukkan mengurusi Kunker daripada menjalankan tugas utamanya. Penyusunan perda bisa ditunda, tapi kalau Kunker harus dijalankan. Memang secara khusus efektivitas Kunker DPRD Kota Solo belum pernah diadakan kajian secara akademis. Namun data berikut mungkin dapat digunakan sebagai acuan sementara. Berdasarkan hasil audit BPK tahun 2009, biaya perjalanan dinas DPR 2007 dan 2008, dinyatakan rawan penyimpangan, sehingga dinyatakan disclamer.

Berdasarkan hal tersebut, pada kesempatan ini penulis mengimbau agar Kunker dilaksanakan secara selektif, diadakan untuk yang betul-betul dibutuhkan. Sehingga tidak menimbulkan kesan menghambur-hamburkan anggaran daerah. Atau apabila ingin studi banding tidak harus berkunjung langsung ke daerah yang bersangkutan. Dicari alternatif lain yang lebih efektif dan efisien.

Apabila DPRD tetap ngotot untuk Kunker, masyarakat akan semakin apriori dan benci terhadap anggota Dewan. Citra dewan di mata masyarakat akan semakin buruk dan terpuruk. Bila tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPRD semakin menurun, akan berdampak buruk bagi dinamika politik di masyarakat. Dalam jangka panjang akan menimbulkan kerawanan politik yang sangat berbahaya. Ibaratnya bara dalam sekam.

Kunker vs Laptop Baru

Sesungguhnya Kunker untuk melakukan studi banding tidak harus selalu berupa kunjungan kerja ke luar daerah atau luar negeri sebagaimana dipraktikkan oleh anggota dewan selama ini. Metode studi banding dapat memanfaatkan teknologi informasi yang ada. Misalnya dengan melakukan kajian via internet ataupun metode lain seperti diskusi, video konferensi dengan pihak yang kompeten atau mengundang para ahli untuk berbicara di depan anggota Dewan. Biayanya dijamin lebih efisien dan hasilnya tidak kalah efektif bila dibandingkan dengan Kunker.

Kita berharap kepada para anggota DPRD Kota Solo pada anggaran tahun depan, sudah tidak lagi memprogramkan Kunker untuk semua anggotanya. Bukankah pada akhir Oktober semuanya sudah mendapat jatah laptop sendiri-sendiri?

Mari tunjukkan kepada masyarakat bahwa laptop Anda yang baru dengan harga Rp 11 juta tersebut memang canggih. Sangat berguna dan bermanfaat dalam menunjang tugas. Salah satu di antaranya dapat dimanfaatkan secara cepat dan optimal untuk mencari bahan-bahan studi banding sebanyak-banyaknya. Murah, meriah dan tidak perlu capek-capek. Tinggal duduk di kursi sambil klik! Kembali ke laptop! Bukankah begitu? Bagaimana pendapat Anda?


Oleh: Suharno, Pemerhati sosial politik, dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen, Unisri, Surakarta.
Sumber: Harian Joglosemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar