Musyawarah Nasional (Munas) II Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta beberapa waktu lalu diwarnai gagasan pentingnya keterbukaan partai. Walau kedua istilah itu saling kontras, PKS seolah digiring untuk menentukan pilihan apakah menjadi partai eksklusif atau inklusif. Tidak disangkal lagi bahwa PKS selama ini dikenal sebagai partai berbasis muslim dan tentunya berasas Islam. PKS identik dengan partai kader, ideologis, militan, loyal, dan solid, corak kepemimpinan “tak terbantah”. Antara pimpinan dan anggota partai seiya sekata.
Gagasan keterbukaan PKS perlu menilik lebih jauh arti dan maksud keterbukaan itu sendiri. Sebuah arti yang tidak simplistis dan melulu berorientasi pada kebutuhan pragmatisme politik. Keterbukaan bukan berarti “buka-bukaan” sebagaimana ditunjukkan oleh dipilihnya Hotel Ritz Carlton sebagai tempat pesta demokrasi PKS. Terang benderang PKS membuka diri untuk tidak sinis lagi terhadap Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Hotel yang disinggahi PKS untuk dijadikan tempat Munas II merupakan simbol kekuatan ekonomi AS. Padahal selama ini PKS kerap menolak keras simbol-simbol AS bahkan politik hegemoninya.
Simplifikasi makna keterbukaan demikian dikhawatirkan dapat membuka pintu lebar hengkangnya kader-kader PKS. Tidak salah kiranya jika sebagian kalangan menilai PKS kian pragmatis. Keterkenalan PKS sebagai partai kader tergantikan oleh pragmatisme PKS untuk bermain di ranah konstruksi citra. Bisa jadi gagasan keterbukaan PKS di mata dunia Barat dengan langgam yang cenderung vulgar dan terkesan “buka-bukaan” lebih dilatari oleh keterpojokan citra Islam fundamentalis yang selama ini dicitrakan Barat sebagai “teroris”.
Revivalis
Ada semacam kebutuhan menangkis serangan-serangan konstruksi citra itu agar PKS tidak dilihat sebelah mata oleh publik. Sehingga, pengaruh PKS ke tengah jagat politik dapat berjalan elegan tanpa hambatan. PKS akan dipandang tidak fundamentalis, tapi berpaham inklusif dan pluralis(me). Dengan demikian di Pemilu 2014 PKS akan dapat memperluas pengaruhnya tidak hanya di kalangan santri dan muslim kota, tapi juga muslim abangan atau priyayi yang selama ini cenderung diabaikan.
Seperti jamak dipahami, kekuatan konstituen PKS tidak lepas dari jerih payah anak-anak muda “muslim santri” kota dan terpelajar, khususnya mahasiswa, yang memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan jawaban atas persoalan bangsa. Militansi kader-kader PKS yang mendengungkan pengaruhnya di tengah masyarakat bersemangatkan Islam.
Bagi PKS, politik dan dakwah adalah berkait. Karenanya, aktivitas politik dipandang sebagai aktivitas dakwah agar Islam mewarnai wajah bangsa dalam segala lini dan aspek kehidupan. Manifestasinya, yakni bagaimana Indonesia dapat mengenakan baju syariat Islam dan kerudung formalisasi Islam yang skriptural.
Dakwah Islam yang mewarnai aktivitas simpatisan PKS terlihat dari, di kampus-kampus misalnya, kajian rutin keagamaan mulai dari wawasan ibadah, akidah, muamalah, bahkan pandangan-pandangan Islam tentang politik hingga masalah-masalah kepemimpinan. Di level kepengurusan partai pun tidak sulit ditemui berbagai aktivitas keagamaan yang konsisten dengan tema-tema keislaman. Tak cuma itu, kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan juga rajin dilakoni pegiat-pegiat PKS yang selalu diselingi dengan pengajian atau tablig. Simbol Islam menjadi pengikat solidaritas dan soliditas (ukhuwah islamiyah) antaranggota, kader, dan pengurus partai.
Di ranah pemikiran keagamaan keislaman dengan warna kebarat-baratan hampir-hampir tidak ditemui. Tema-tema pembaruan Islam dengan slogan liberalisasi tidak mendapat tempat. Bahkan bagi sebagian kader atau simpatisan PKS, pembaruan Islam dengan bungkus liberalisasi menjurus pada sekularisasi atau sekularisme. Pembaruan Islam ala PKS lebih menitik beratkan pada perjuangan politik dan sosial revivalis. Yakni, menggairahkan kembali vitalitas Islam di tengah kehidupan bangsa.
Mengawal gagasan keterbukaan PKS dalam relasinya dengan Barat, khususnya AS, memberi konsekuensi pada komitmen keterbukaan di setiap level aktivitas internal PKS. Lebih-lebih keterbukaan di level akar rumput untuk menerima gagasan keterbukaan PKS, yakni keterbukaan mulai dari pemikiran hingga praktik. Di level praktis, terbangunnya relasi keterbukaan dan dialog dengan elemen lain, seperti perbedaan agama, meniscayakan sebuah paradigma baru dalam melihat teks dan konteks. Teks-teks sebagai asas partai Islam perlu didekati dengan ragam perspektif yang tidak monolitik serta berpijak pada akar konteks bangsa, yakni keberagaman mulai dari politik, agama, bahasa, dan budaya.
Sementara di ranah pemikiran keagamaan, PKS perlu membuka diri terhadap wacana keagamaan Islam yang tidak lagi menutup diri dari pemikiran-pemikiran berbau Barat atau tokoh-tokoh muslim berpendidikan Barat. Sebab, cara pandang yang eksklusif terhadap produk-produk Barat akan menyulitkan terbukanya relasi dialog yang konstruktif. Hambatan akan tetap ditemui jika PKS sinis terhadap gerakan pembaruan pemikiran keagamaan Islam yang selama ini terbantu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dari Barat.
Membuka diri terhadap pemikiran keislaman berarti menerima cara pandang baru terhadap Islam yang meniscayakan ijtihadiyah. Dengan demikian terbuka bagi PKS untuk memunculkan gagasan atau tema-tema universal seperti demokratisasi, hak asasi manusia, pluralisme, dialog antaragama, gender, kemiskinan, korupsi dan lain-lain. Sebagai partai berbasis Islam, tema-tema di atas tentu menjadi tugas PKS mencari akar kesepadanan konsep dan praktik antara tradisi Barat dan Islam sendiri.
Eksklusivitas PKS dalam arti militansi kader, Islam sebagai asas partai, soliditas sebagai kekuatan politik ideologis patut dipertahankan tanpa tergoyah oleh wacana inklusivitas. Namun demikian, Islam selayaknya tidak dibungkus dengan jubah eksklusivitas atau ideologisasi Islam, tapi Islam dakwah yang terbuka terhadap apa dan siapa saja. Dari Islam dakwah demikianlah akan muncul gagasan-gagasan universal yang vitalitasnya menjangkau segala zaman, beragam kepentingan, dan lintas aspirasi. Islam dakwah harus lebih inklusif, dan mengedepankan pandangan-pandangan yang toleran dan berdiri di atas pluralitas bangsa.
Oleh: Agung Suseno Seto, Peneliti Religion and Social Change Institute (RESCI), tinggal Sukoharjo.
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar