jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 07 Mei 2009

PKS Undang Jimly Asshiddiqie


Peluang Jimly cukup terbuka dari aspek wilayah.

JAKARTA. Di saat mencuatnya wacana cawapres SBY akan berasal dari kalangan profesional, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengundang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie. Kedatangan Jimly memunculkan sejumlah spekulasi politik.

Jimly datang ke Markas PKS di Jalan TB Simatupang, Rabu (6/5), untuk memenuhi undangan PKS. Ia diminta PKS untuk memberikan pengarahan kepada 30 advokat PKS terkait kiat-kiat beperkara di MK.Meski begitu, kedatangan Jimly ke PKS memunculkan spekulasi PKS akan dijadikannya Jimly sebagai jalan tengah cawapres bagi parpol di koalisi Demokrat. Hal ini mengingat figur Jimly relatif diterima semua kalangan.

Tapi, spekulasi ini dibantah Sekjen DPP PKS, Anis Matta. Undangan ke Jimly semata-mata untuk memberikan konsultasi guna menyelamatkan hasil pemilu legislatif. ''Kedatangan Pak Jimly tak ada kaitan sama sekali dengan cawapres,'' tegas Anis. Bagi PKS, kata Anis, cawapres SBY yang diinginkan partai adalah salah satu dari tiga nama yang diajukan PKS kepada SBY.

Jimly membenarkan keterangan Anis. Menurut Jimly, dia datang untuk menghormati undangan PKS yang memintanya memberi pengarahan dan kiat-kiat beperkara di MK. ''Namanya diundang tentu saya senang, lagian saya kan memang dekat dengan semua partai. Kemarin kan sudah di Demokrat.''Jimly enggan berkomentar banyak saat ditanya soal kemungkinan dirinya terpilih sebagai cawapres SBY dari kalangan nonparpol. ''Waduh, kalau soal cawapres itu tanya pengamat saja ya. Jangan tanya saya,'' ucap Jimly.

Direktur Indo-Barometer, M Qodari, mengatakan, berdasarkan penetrasi wilayah, Jimly cukup kuat untuk mendampingi SBY. Dijelaskannya, salah satu kriteria SBY dalam menentukan cawapresnya adalah berdasarkan penetrasi wilayah luar Jawa, yakni wilayah timur dan wilayah barat.''Sebelumnya, Pak JK (Jusuf Kalla) dari wilayah timur, maka kemungkinan besar cawapres SBY saat ini dari wilayah barat,'' ungkapnya.

Dengan pendekatan wilayah itu, tokoh-tokoh dari Pulau Sumatra cukup kuat, dan Jimly yang asli Palembang, Sumatra Selatan, akan bersaing dengan tokoh Sumatra lainnya, seperti Hatta Radjasa dan Akbar Tandjung yang juga berpeluang menjadi cawapres SBY.Sebelumnya, Jaring Muda Indonesia (JMI), menyatakan dukungan terhadap pencalonan Jimly Asshiddiqie sebagai cawapres SBY karena dianggap yang paling rasional dari kandidat yang ada dan memiliki basis hukum yang kuat.

JMI memiliki lima kriteria yang harus dimiliki pendamping SBY, yakni tidak berpihak pada neoliberalisme, profesional, mampu menjadi sharing partner(rekan berbagi) presiden. Jimly juga tidak punya cacat secara politik di masa lalu, dan diterima di kalangan mana pun.

Posisi Boediono

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif CIDES, Umar Juoro, menilai, Boediono bersama Sri Mulyani lebih baik tetap pada posisinya, yaitu gubernur Bank Indonesia dan menteri keuangan. Keduanya lebih berkontribusi dalam perekonomian di jabatan itu.Menurut Umar, keduanya bisa diterima oleh pasar. Namun, menurut dia, untuk wakil presiden diperlukan dukungan dari partai politik guna mendukung pemerintah di parlemen.


Sumber: smsplus.blogspot.com

Adu kuat Boediono lawan Hatta


Nama Boediono menyodok di antara calon-calon wakil presiden SBY. Dia kini bersaing dengan Hatta Rajasa, politisi PAN yang juga Menteri Sekretaris Negara. Siapa lebih berpeluang jadi RI-2 jika SBY memenangkan Pilpres?

Boediono yang kini Gubernur Bank Sentral, sudah lama dibina oleh IMF, ADB, dan Bank Dunia, melalui jaringan mafia Berkeley. Tujuannya tentu, untuk memancangkan ekonomi neoliberal di Indonesia.

Sebagai akademisi, Buoediono yang ramah dan murah senyum serta jujur itu bekerja dengan taat asas. Dia bertopang padatextbook thinking. Amat jarang dia berpikir alternatif out of the box, untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan kemiskinan di negeri ini.

Boediono adalah ilmuwan yang sangat percaya bahwa pasar sangat vital dalam menentukan kesejahteraan rakyat. Bicara neoliberalisme sama artinya bicara tentang ekspansi kepentingan pemodal negara-negara kaya.

Padahal, demokrasi ekonomi berbeda secara diametral dari neoliberalisme. Sebab, neoliberalisme mengagungkan persaingan dan kebebasan individu. Sedangkan demokrasi ekonomi lebih mementingkan kerja sama dan persaudaraan sosial.

Para pemodal negara-negara kaya inilah terutama yang menjadi sponsor globalisasi. Sebab itu, mudah dimengerti bila penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme.

Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Revrisond Baswir, mengungkapkan kebijakan ekonomi neolib itu diusung Mafia Berkeley, mengadopsi kebijakan yang dirancang IMF maupun Bank Dunia. Kebijakan itu dikenal dengan sebutan Konsensus Washington.

"Tema besarnya adalah apa yang sekarang dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Kegagalan perekonomian Orde Baru adalah utang luar negeri yang sangat besar dan ketergantungan Indonesia atas utang luar negeri," kata Revrisond.

Globalisasi yang sering didengungkan Boediono sesungguhnya hanya kedok. Di balik itu, bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dimotori para pemodal negara-negara kaya. Mereka diusung ke Indonesia oleh para teknokrat Mafia Berkeley yang menolak paradigma baru, jalan baru, dan agenda baru bagi Indonesia.

Boediono dinilai pengamat termasuk neoliberalis yang konservatif. Jika dia menjadi pilihan SBY, bisa jadi akan menyulitkan SBY jika menang dalam pilpres mendatang. Sebab, selain tak diajukan parpol dari koalisi SBY seperti PKS, PAN dan PKB, sangat mungkin Budiono menuai resistensi dari kaum nasionalis dan Islamis di negeri ini. Presiden Soekarno ketika memimpin Indonesia selalu mengecam dan mencela neokolonialisme (neoliberalisme).

Itu sebabnya, peluang Hatta Rajasa yang berasal dari PAN, sebuah partai nasionalis yang berbasis Muslim modernis dan merupakan teknokrat ITB, lebih menjamin sustainabilitas kubu Demokrat ke depan. Apalagi, PKS lebih memberikan preferensi ke Hatta Rajasa ketimbang Boediono.

PKS, salah satu rekan koalisi Demokrat dengan dukungan suara besar, merasa tak ada masalah dengan Hatta. "Sejauh ini komunikasi PKS dengan Pak Hatta baik. Kita sudah berhubungan dalam kapasitas Pak Hatta sebagai Mensesneg, bukan fungsionaris PAN. Hatta itu teman kongkownya PKS. Kalau dia dicalonkan Demokrat jadi cawapres SBY, boleh saja," ujar Mahfudz Shiddiq, salah seorang petinggi PKS.
(amr/inilah)


Sumber: smsplus.blogspot.com

Kontrak Politik Demokrat-PKS Segera Dideklarasikan


JAKARTA, KOMPAS.com — Kontrak politik antara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan segera diresmikan. Anggota Tim 9 Demokrat Sjarief Hasan mengatakan, kesepakatan ini akan dideklarasikan sekitar tanggal 10 atau 11 Mei mendatang. "Setelah pengumuman KPU definitif," ujar Sjarief dalam pertemuan dengan Tim 5 PKS di Jakarta, Selasa (5/5).

Sjarief maupun Presiden PKS Tifatul Sembiring sendiri mengaku, dalam pertemuan terakhir ini, keduanya sudah menyepakati sejumlah poin dalam kerja sama politik ke depannya. Tifatul mengatakan, pertemuan ini bertujuan mematangkan substansi kerja sama yang sudah dibangun dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. "Secara substantif tidak ada perbedaan mendasar. Tinggal cek akhir, mudah-mudahan bisa sign sama-sama," tutur Tifatul pada kesempatan yang sama.

Namun, Tifatul menegaskan, kontrak politik tidak memuat poin calon wakil presiden yang akan ditawarkan PKS untuk mendampingi SBY. Kontrak politik hanya membahas format pemerintahan ke depan berdasarkan platform. "Tentunya akan dituangkan dalam format kabinet. Tapi kita tidak berangkat dalam orang. Tidak ada pembicaraan (tentang orang), tapi kami ingin perkokoh dasar," lanjut Tifatul.

Substansi yang dibicarakan antara lain soal situasi politik nasional, otonomi daerah, masalah enggan masuknya investor, serta agenda kepemimpinan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kesepakatan dalam pertemuan hari ini akan dibawa ke masing-masing partai, PKS ke Majelis Syuro dan Demokrat ke SBY, untuk dilaporkan.

Edukasi Politik Artis


Dari (mungkin puluhan) trilyunan rupiah yang dibanjirkan para caleg, parpol, pemerintah, dan berbagai pihak lainnya dalam fiesta demokrasi belakangan ini, siapa saja sebenarnya yang mengambil keuntungan material terbanyak? Jawaban cepat menyebut para pengusaha iklan, desain, cetak, dan jasa publikasi lain sebagai pihak pertama. Ada juga yang bilang, para "pengusaha" survei, penasihat kampanye, dan sebagainya.

Tak ketinggalan, tentu avonturir politik, para manipulator suara, pengerah massa, penyewaan panggung, tenda, sound system, dan seterusnya. Yang tak bisa ditolak adalah para penghibur (entertainer), khususnya para pemusik (dan penyanyi), yang menerima hujan rezeki. Mereka tampil sebagai pelengkap mimbar-mimbar politik, dari sekadar rapat, musyawarah, hingga panggung kampanye.

"Sebagai pelengkap"? Tampaknya tidak juga. Dalam sebuah temu publik, panggung kampanye, misalnya, para penghibur ini sebenarnya menjadi daya tarik utama massa yang berhimpun (di samping tentu daya tarik "uang tempel"). Bukan hanya hiburan gratis, kesempatan berjumpa dengan selebriti nasional juga mendorong masyarakat banyak datang, lebih dari sekadar mendengarkan pidato/janji politik yang menjemukan.

Karenanya, tak mengherankan bila caleg atau parpol berani membayar mahal selebriti utama, seperti grup band Changcuters, Ungu, Peterpan, Dewa, hingga penyanyi macam Kris Dayanti dan sederet penyanyi dangdut ternama. Tak mengherankan pula bila semua partai utama menjaring artis untuk menarik massa, memperebutkan suara, lebih kuat ketimbang visi partai atau platform politik mereka.

Dan apa yang terjadi kemudian? Setidaknya sebuah gambaran psikologis: partai politik mengalami krisis kepercayaan diri sebagai institusi politik dalam merebut perhatian dan perolehan suara konstituen. Visi, sejarah, ideologi, atau cita-cita politik kini menjadi begitu minor, bahkan sudah lama kalah oleh setumpuk uang, dan kini begitu inferior di hadapan para selebriti. Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipelesetkan menjadi "Partai Artis Nasional" menjadi preseden sukses pendulangan suara berdasarkan rekrutmen para calegnya dari kalangan artis.

Di sisi lain, fenomena ini pun menunjukkan bagaimana institusi politik utama kita, cq parpol, yang menjadi ujung tombak pendidikan politik masyarakat, tampaknya tidak cukup sukses melaksanakan peran dan tugasnya. Hingga penyelenggaraan hari ini, setengah abad lebih sejak 1955, rakyat negeri ini ternyata belum juga memiliki komprehensi yang cukup adekuat tentang makna, tujuan, hingga prosedur-prosedur politik yang seharusnya mereka dapatkan.

Kontestasi politik yang masih didominasi hal-hal yang selebratikal juga memperlihatkan, bukan hanya pendidikan politik yang gagal. Pendidikan dalam pengertian luas juga tidak berhasil mencapai idealnya. Setidaknya ideal yang dititipkan konstitusi, para pembangun negeri (founding fathers), atau sekurangnya para tokoh pendidik semacam Ki Hadjar Dewantara.

Secara kultural, kegagalan pendidikan kita dalam menanamkan dan menumbuhkan daya dan kekuatan apresiasi artistik publik terlihat mencolok. Penempatan karya-karya musik pop, dangdut, yang bahkan "berselera keremajaan", bukan hanya berpotensi merendahkan, melainkan juga mementahkan bobot idealisme politik itu sendiri. Itu tak terelak ketika pendidikan kita memang menjauhkan diri dari relasi-relasi apresiatifnya dengan karya-karya seni bermutu. Terlebih yang bergenre "kontemporer".

Hal itu bisa dilihat pada tingkat apresiasi para elite politik sendiri. Dalam diskursus formal dan informal mereka, terlihat jauh sekali jarak pengenalan mereka pada karya-karya seni yang secara kualitatif ?baik? atau ?bermutu?. Bahkan, pada tingkat lokal, mereka tidak akrab dengan karya-karya seniman unggul, seperti Nasirun, Heri Dono, Tony Prabowo, Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur, Sardono W. Kusumo, Boedi S. Otong, Dindon W.S., Afrizal Malna, dan Gus Tf.

Apa yang mereka ketahui umumnya adalah karya dan nama-nama artis pengisi tabloid gosip atau infotainment. Sebuah kondisi yang secara lebih lapang sesungguhnya menciptakan ancaman tidak remeh bagi kelanjutan dan perkembangan adab dan budaya negeri ini. Ketika selera dan apresiasi makin dangkal, artifisial, dan pragmatis, tingkat adab dan budaya kita, yang selama dua milenium menciptakan kekaguman dunia, perlahan akan terkelupas hingga ke intinya.

Di sinilah pendidikan, yang dilakukan secara semesta oleh semua institusi sosio-politik-kultural, terlihat perannya yang krusial dan strategis. Di tengah kritik tiada habisnya yang dilancarkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, sebagai lembaga utama pemegang obligasi historis ini, ketidakpedulian stakeholder pendidikan lainnya, termasuk institusi politik, bukan hanya memperlemah kemampuan kita beradaptasi dengan masa kini. Melainkan juga akan menjerumuskan kita pada ketidakberdayaan dalam persaingan yang kian anomalik belakangan ini.


Radhar Panca Dahana
Pekerja seni [Perspektif, Gatra Edisi Khusus Beredar 30 April 2009]

Suripto: Harus Lebih Hati-Hati Seleksi KPK


VIVAnews. Wakil Ketua Komisi 3 DPR Suripto mengatakan bahwa peristiwa penahanan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar menjadi pelajaran berharga untuk lebih berhati-hati dalam menyeleksi anggota komisi itu.

"Dengan adanya peristiwa ini, tentu kita harus lebih berhati-hati lagi dalam menyeleksi calon anggota KPK," ujar Suripto saat hendak menjenguk Antasari di markas Polda Metro Jaya, Minggu 3 Mei 2009.

Suripto sendiri mengaku mulai mengenal Antasari saat komisi 3 DPR menyeleksi Antasari sebagai Ketua KPK. Saya kenal Pak Antasari sejak melakukan fit & proper test," kata Suripto.

Saat itu, menurut Suripto, dirinya mengaku telah menekankan bahwa seluruh anggota KPK yg lolos agar betul independen dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun, baik lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, dan maupun lembaga legislatif. "Beliau semua sudah berjanji, termasuk pak Antasari."

Namun Suripto menolak anggapan bahwa ini merupakan kesalahan fatal dari DPR karena telah meloloskan Antasari sebagai Ketua KPK. "Sekarang kan masih dalam pemeriksaan. Kalau memang ternyata betul, bagi komisi, ini merupakan pembalajaran dalam hal menseleksi," ujar Suripto.

Andaikan Suripto ditetapkan sebagai tersangka, Suripto menambahkan, perlu ditambah anggota baru. Maka perlu dilakukan fit & proper test ulangan, dengan usulan anggota baru. Namun komisinya belum membicarakan hal itu karena peristiwa tersebut baru saja terjadi.

Selain itu, menurut dia, untuk sebagai langkah pengamanan dan menjaga nama baik lembaga, Antasari memang sebaiknya dinonaktifkan. "Bila ada seseorang diindikasikan sedang dalam penyidikan atau pemeriksaan, memang sebaiknya dinonaktifkan dan bila perlu dilakukan pencekalan."

Selama ketua KPK non aktif, anggota-anggota KPK lain bisa diberi tugas dan tanggung jawab sebagai ketua KPK secara bergilirian.

Selain telah mengenal Antasari, Suripto juga mengaku mengenal Sigid. "Selama ini saya tidak menyangka beliau..." kata Suripto. Suripto mengaku ia hanya mendapat informasi sepotong-sepotong.

Namun, Suripto tidak ingin melakukan praduga tak bersalah. Perlu penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui motif sebenarnya, apakah sekedar urusan rebutan perempuan, atau memang ada latar belakang lain. "Artinya kita lihat dulu dari bukti-bukti yang dikumpulkan polisi."

Suripto sendiri gagal menjenguk karena penyidikan polisi sendiri masih berlangsung. Suripto masih menunggu kesempatan untuk menjenguk kawan lamanya itu di kesempatan lain.


Sumber: http://politik.vivanews.com/news/read/54431-suripto__harus_lebih_hati_hati_seleksi_kpk

Rabu, 06 Mei 2009

Menuju Koalisi Strategis


Dengan segala karut-marut dan aneka bentuk manipulasi, pemilu legislatif sesungguhnya tidak menghasilkan sesuatu yang mengejutkan, terutama bagi posisi tiga besar. Raihan 20% Partai Demokrat (PD) berdasarkan quick count tidaklah mengindikasikan mesin partai yang kuat. Tingkat kesolidan partai ini di retail politics bisa dilihat dari kinerjanya dalam pemilihan kepala daerah.

PD hanya menang di tiga kabupaten/kota secara tunggal dan 66 kali lewat koalisi. Bandingkan dengan Partai Golkar yang menang 64 kali secara tunggal dan 126 kali lewat koalisi atau PDI Perjuangan yang menang 41 kali secara tunggal dan 116 kali lewat koalisi. Pengungkit utama kemenangannya, di luar magma Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan iklan politik secara jorjoran, adalah ''kecerdikan'' incumbent menjadikan kebijakan pemerintah sebagai instrumen kampanye serta tingginya belanja iklan politik.

Hal ini bisa dilihat dari kenaikan gaji guru, peluncuran program PNPM dan pembagian raskin tepat waktu, penurunan harga BBM secara berulang, dan terutama pembagian BLT menjelang pemilihan. Banyak orang yang terikat dan diuntungkan dengan berbagai kebijakan ini merasa takut kehilangan jika terjadi perubahan pemerintahan.

Kemerosotan perolehan Golkar merupakan konsekuensi dari ketidakmampuannya mengapitalisasi program-program pemerintah untuk kepentingan kampanye politiknya. Tiada lain karena posisi ketua umumnya sebagai wakil presiden (wapres) yang selalu dalam bayang-bayang citra presiden. Pada mulanya, Jusuf Kalla (JK) berusaha menempatkan diri sebagai wapres yang baik, yang tidak dalam posisi etis untuk mengklaim berbagai prestasinya dalam memimpin pemerintahan. Akibatnya, rakyat di akar rumput lebih mengidentifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah kepada SBY dan PD.

Penurunan PDI Perjuangan lebih banyak karena kelemahan strategi berkampanye, terutama iklan politiknya. Survei Reform Institute pada Februari-Maret 2009 mengecek faktor eksternal yang mempengaruhi pilihan atas partai politik. Hasilnya, faktor iklan di televisi menduduki tempat pertama (35,11%). Malangnya, dalam kasus iklan televisi, iklan-iklan PDI Perjuangan hanya disukai oleh 6,41%. Iklan yang paling konyol dalam persepsi publik adalah iklan BLT, yang dipandang tidak konsisten dengan sikap oposisi PDI Perjuangan terhadap kebijakan ini.

Betapapun, dengan hasil yang tidak terlampau mengejutkan itu, partai-partai besar di luar PD tidak perlu mengalami demoralisasi. Pilihan atas presiden tidak linear dengan hasil pemilu legislatif. Menurut jajak pendapat Reform Institute (Februari-Maret), hanya 9,01% responden yang menyatakan akan memilih presiden berdasarkan pilihan partai. Sebagian besar (73,55%) akan memilih presiden berdasarkan pertimbangan sendiri. Masalah popularitas SBY merupakan warisan lama, yang mestinya sudah lama diantisipasi dan tak perlu membuat partai-partai lain tiba-tiba kehilangan semangat. Kuncinya adalah merancang koalisi strategis dengan menyatukan kekuatan figur dan jaringan partai.

Dengan pragmatismenya yang kuat, Partai Golkar adalah partai besar yang paling cepat kehilangan nyali. Arus utama partai ini mendambakan koalisi dengan PD. Masalahnya, tidak mudah bagi JK untuk berbalik badan. Selain faktor ketidaknyamanan secara personal dalam hubungan antara lingkaran SBY dan JK, harkat Partai Golkar juga dipertaruhkan. Jika koalisi dua partai ini ingin dilanjutkan, nama lain perlu diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan JK tak diinginkan. Jika demikian situasinya, pilihan JK tinggal dua: konsisten mengusung dirinya sebagai presiden dengan peluang kemenangan sangat kecil atau melanjutkan rancangan koalisinya dengan PDI Perjuangan.

Bagi PDI Perjuangan, tantangan utamanya adalah melengkapi mesin partainya yang relatif kuat dengan kekuatan figur yang mampu meraih massa mengambang. Jika PDI Perjuangan berkoalisi dengan Golkar, JK bisa dijadikan pilihan sebagai wapres Megawati. Di luar skenario ini, dua nama lain yang potensial diusung adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hidayat Nurwahid, dan Prabowo Subianto. Dari tiga nama itu, yang paling krusial posisinya adalah Prabowo Subianto. Kegagalan PDI Perjuangan bernegosiasi dengan nama ini mengandung implikasi munculnya koalisi altenatif.

Prabowo Subianto dan Gerindra-nya diperkirakan mampu menggalang koalisi dengan PAN, PPP, bisa jadi Hanura dan partai-partai kecil. Bahkan bukan mustahil dengan PKS, jika hasratnya berkoalisi dengan PD terganjal oleh faktor Golkar.

Jika realitas politik memunculkan tiga pasang calon presiden/calon wapres, pertarungan bisa berlangsung lama. Segala hal masih bisa terjadi seiring dengan perubahan alun kebatinan (mood) publik. Apalagi setelah kebatinan publik dikecewakan oleh pelaksanaan pemilu legislatif. Dalam kemampuan memadukan kuatan figur dan mesin partai, serta keterampilan memadukan strategi kampanye above the line dan retail politics, yang kuat bisa saja jadi lemah, sedangkan yang lemah bisa seketika menguat. Masih terlalu dini untuk lempar handuk!


Oleh:
Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[Perspektif, Gatra Nomor 24 Beredar 23 April 2009]

HNW: Koalisi Bukan Hanya Bicara Kekuasaan


Anggota Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, menyatakan tidak ingin mencampuri keputusan partai.

Hidayat berharap keputusan koalisi atau tidak maupun membentuk koalisi baru, betul-betul untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan pemilu.

Menurutnya, koalisi bukan hanya bagi-bagi kekuasaan, tetapi etika berpolitik. Pecahnya kongsi SBY-JK, menurut Ketua MPR ini bukan berbicara untung atau rugi bagi PKS.

Akan tetapi, lebih melihat pemilihan presiden 8 Juli mendatang, apakah akan meningkatkan kualitas demokrasi atau malah akan ada bayang-bayang boikot pemilu.

Hidayat menegaskan bahwa koalisi itu amanah rakyat bukan hanya berbicara kekuasaan.


Sumber: smsplus.blogspot.com

Hidayat Kenalkan PKS ke Tionghoa


JAKARTA. Anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, mempromosikan partainya di kalangan pengusaha etnis Tionghoa. Para pengusaha itu bertanya beragam hal, mulai dari peluang Hidayat menjadi calon wakil presiden, hingga apakah PKS ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.

''Pemilu di Indonesia tidak seharusnya membuat pilu. Tidak boleh ada diskriminasi suku, agama, maupun ras,'' kata Hidayat, Ahad (3/4) siang dalam acara Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia (Sakti).

Hidayat menyampaikan pidatonya selama 30 menit di depan ratusan pengusaha. Usai berpidato, sejumlah pengusaha mengangkat tangannya, ingin bertanya pada mantan presiden PKS itu.

Seorang tetua komunitas Tionghoa lantas menanyakan apakah PKS akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam jika PKS menang Pemilu. Hidayat tegas menjawab, ''Tidak''.

''PKS adalah organisasi politik yang bersifat nasional. Kami mengikuti hukum di Indonesia yaitu UU Partai Politik dan UUD 1945,'' sambungnya.

Hidayat lalu menceritakan perjumpaannya dengan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew beberapa waktu lalu. Lee ternyata menanyakan hal serupa pada Hidayat.

Hidayat menjawab, apakah Lee melihat ada hal-hal diskriminatif di DKI Jakarta sejak 2004 - 2009? Sebab di lima tahun lalu PKS menang Pemilu Legislatif di DKI Jakarta.

''Apakah pemprov menerbitkan perda yang membuat masyarakat Islam menjadi eksklusif? Tidak! Apakah pemprov menerbitkan perda yang membuat seluruh pengusaha etnis Tionghoa tak boleh berusaha di Jakarta? Tidak!'' evy


Sumber: smsplus.blogspot.com

Hidayat: Jangan Pilih Saya Karena Survei


Hidayat berharap SBY memilih calon wakil presiden berdasarkan nilai atau bobotnya.

VIVAnews. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, meminta Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono memilih calon wakil presiden berdasarkan nilai atau bobot. Jangan memilih calon wakil presiden berdasarkan hasil survei.

"Survei itu, bukan Tuhan dan bukan hantu," kata Hidayat di ruang pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Senayan, Jakarta, Kamis 30 April 2009. "Dia itu hanya alat untuk memahami apa yang terjadi di dalam masyarakat, dia hanya memetakan apa yang terjadi di masyarakat," kata Ketua MPR itu.

Karena itu, Hidayat tidak mau mendahului kehendak Tuhan. "Kalau pun nanti Pak SBY terpilih (jadi calon presiden), pilihlah (calon wakil presiden) jangan sekadar berdasarkan survei, tapi berdasarkan nilai sebagai tolak ukurnya. Nanti silakan Pak SBY yang menilainya," kata Hidayat.

Meski begitu, Hidayat menyatakan diri siap menjadi calon wakil presiden bahkan calon presiden. "Kami di PKS memang sudah dipersiapkan. Mungkin nanti menjadi presiden atau wakil presiden," katanya.

Dan pembicaraan menuju penunjukan calon wakil presiden ini sedang dilobi oleh Tim Lima yang dipimpin Presiden PKS Tifatul Sembiring. Tim tersebut telah menyerahkan draf kontrak politik pada Partai Demokrat. "Dan kemarin sudah bertemu, sinyal (Demokrat) bagus dan menilai positif," kata Hidayat.

Survei termutakhir dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menemukan Hidayat sebagai pendamping paling tepat untuk Yudhoyono. "Dari 1.118 responden, 37,9 persen memilih Hidayat Nur Wahid," kata Kepala Divisi Penelitian LP3ES, Fajar Nursahid, di Audiotorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta, Kamis 30 April 2009.

Di urutan dua, muncul nama mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung yang dipilih 13,2 persen responden. "Sebanyak 12,5 persen memilih Sri Mulyani, 7,7 persen memilih Hatta Rajasa, dan 3,6 persen memilih Soetrisno Bachir," ujar Fajar.

Teratas Sebagai Cawapres SBY, HNW Tak Geer


Jakarta, RMonline. Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diingatkan untuk tidak memilih cawapres berdasarkan hasil survei.

Hal ini dikatakan capres PKS, Hidayat Nur Wahid, Kamis (30/4) di gedung DPR menyikapi hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang menempatkan dirinya pada peringkat teratas dibandingkan capres lainnya.

Hidayat menyikapi biasa-biasanya hasil survei LP3ES tersebut. "Menurut saya, silahkan Pak SBY dan rakyat membuat keputusannya dan jangan keputusan itu dipengaruhi oleh hasil survei," katanya.

Dia mengatakan hasil survei bukan Tuhan yang hasilnya harus diamini dan bukan hantu yang harus ditakuti.

Terkait dengan pencawapresan dirinya, Hidayat mengatakan dirinya belum menyatakan sebagai cawapres karena dia sendiri tidak tahu apakah namanya dimasukkan PKS sebagai salah satu cawapres yang diajukan partainya.

"Sewaktu diserahkan ke Pak SBY amplopnya kan tertutup. Saya sendiri tidak bisa memastikan apakah nama saya ada di dalam amplop tersebut," kata Hidayat.

Menurut dia, survei hanya upaya memahami apa yang ada dalam masyarakat. Diakuinya, terlepas seperti apa hasilnya, orang masih bisa mempercayai karena selain membantu untuk memetakan masalah juga dapat meningkatkan kualitas berdemokrasi.