jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Kamis, 07 Mei 2009

Edukasi Politik Artis


Dari (mungkin puluhan) trilyunan rupiah yang dibanjirkan para caleg, parpol, pemerintah, dan berbagai pihak lainnya dalam fiesta demokrasi belakangan ini, siapa saja sebenarnya yang mengambil keuntungan material terbanyak? Jawaban cepat menyebut para pengusaha iklan, desain, cetak, dan jasa publikasi lain sebagai pihak pertama. Ada juga yang bilang, para "pengusaha" survei, penasihat kampanye, dan sebagainya.

Tak ketinggalan, tentu avonturir politik, para manipulator suara, pengerah massa, penyewaan panggung, tenda, sound system, dan seterusnya. Yang tak bisa ditolak adalah para penghibur (entertainer), khususnya para pemusik (dan penyanyi), yang menerima hujan rezeki. Mereka tampil sebagai pelengkap mimbar-mimbar politik, dari sekadar rapat, musyawarah, hingga panggung kampanye.

"Sebagai pelengkap"? Tampaknya tidak juga. Dalam sebuah temu publik, panggung kampanye, misalnya, para penghibur ini sebenarnya menjadi daya tarik utama massa yang berhimpun (di samping tentu daya tarik "uang tempel"). Bukan hanya hiburan gratis, kesempatan berjumpa dengan selebriti nasional juga mendorong masyarakat banyak datang, lebih dari sekadar mendengarkan pidato/janji politik yang menjemukan.

Karenanya, tak mengherankan bila caleg atau parpol berani membayar mahal selebriti utama, seperti grup band Changcuters, Ungu, Peterpan, Dewa, hingga penyanyi macam Kris Dayanti dan sederet penyanyi dangdut ternama. Tak mengherankan pula bila semua partai utama menjaring artis untuk menarik massa, memperebutkan suara, lebih kuat ketimbang visi partai atau platform politik mereka.

Dan apa yang terjadi kemudian? Setidaknya sebuah gambaran psikologis: partai politik mengalami krisis kepercayaan diri sebagai institusi politik dalam merebut perhatian dan perolehan suara konstituen. Visi, sejarah, ideologi, atau cita-cita politik kini menjadi begitu minor, bahkan sudah lama kalah oleh setumpuk uang, dan kini begitu inferior di hadapan para selebriti. Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipelesetkan menjadi "Partai Artis Nasional" menjadi preseden sukses pendulangan suara berdasarkan rekrutmen para calegnya dari kalangan artis.

Di sisi lain, fenomena ini pun menunjukkan bagaimana institusi politik utama kita, cq parpol, yang menjadi ujung tombak pendidikan politik masyarakat, tampaknya tidak cukup sukses melaksanakan peran dan tugasnya. Hingga penyelenggaraan hari ini, setengah abad lebih sejak 1955, rakyat negeri ini ternyata belum juga memiliki komprehensi yang cukup adekuat tentang makna, tujuan, hingga prosedur-prosedur politik yang seharusnya mereka dapatkan.

Kontestasi politik yang masih didominasi hal-hal yang selebratikal juga memperlihatkan, bukan hanya pendidikan politik yang gagal. Pendidikan dalam pengertian luas juga tidak berhasil mencapai idealnya. Setidaknya ideal yang dititipkan konstitusi, para pembangun negeri (founding fathers), atau sekurangnya para tokoh pendidik semacam Ki Hadjar Dewantara.

Secara kultural, kegagalan pendidikan kita dalam menanamkan dan menumbuhkan daya dan kekuatan apresiasi artistik publik terlihat mencolok. Penempatan karya-karya musik pop, dangdut, yang bahkan "berselera keremajaan", bukan hanya berpotensi merendahkan, melainkan juga mementahkan bobot idealisme politik itu sendiri. Itu tak terelak ketika pendidikan kita memang menjauhkan diri dari relasi-relasi apresiatifnya dengan karya-karya seni bermutu. Terlebih yang bergenre "kontemporer".

Hal itu bisa dilihat pada tingkat apresiasi para elite politik sendiri. Dalam diskursus formal dan informal mereka, terlihat jauh sekali jarak pengenalan mereka pada karya-karya seni yang secara kualitatif ?baik? atau ?bermutu?. Bahkan, pada tingkat lokal, mereka tidak akrab dengan karya-karya seniman unggul, seperti Nasirun, Heri Dono, Tony Prabowo, Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur, Sardono W. Kusumo, Boedi S. Otong, Dindon W.S., Afrizal Malna, dan Gus Tf.

Apa yang mereka ketahui umumnya adalah karya dan nama-nama artis pengisi tabloid gosip atau infotainment. Sebuah kondisi yang secara lebih lapang sesungguhnya menciptakan ancaman tidak remeh bagi kelanjutan dan perkembangan adab dan budaya negeri ini. Ketika selera dan apresiasi makin dangkal, artifisial, dan pragmatis, tingkat adab dan budaya kita, yang selama dua milenium menciptakan kekaguman dunia, perlahan akan terkelupas hingga ke intinya.

Di sinilah pendidikan, yang dilakukan secara semesta oleh semua institusi sosio-politik-kultural, terlihat perannya yang krusial dan strategis. Di tengah kritik tiada habisnya yang dilancarkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, sebagai lembaga utama pemegang obligasi historis ini, ketidakpedulian stakeholder pendidikan lainnya, termasuk institusi politik, bukan hanya memperlemah kemampuan kita beradaptasi dengan masa kini. Melainkan juga akan menjerumuskan kita pada ketidakberdayaan dalam persaingan yang kian anomalik belakangan ini.


Radhar Panca Dahana
Pekerja seni [Perspektif, Gatra Edisi Khusus Beredar 30 April 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar