jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Rabu, 06 Mei 2009
Menuju Koalisi Strategis
Dengan segala karut-marut dan aneka bentuk manipulasi, pemilu legislatif sesungguhnya tidak menghasilkan sesuatu yang mengejutkan, terutama bagi posisi tiga besar. Raihan 20% Partai Demokrat (PD) berdasarkan quick count tidaklah mengindikasikan mesin partai yang kuat. Tingkat kesolidan partai ini di retail politics bisa dilihat dari kinerjanya dalam pemilihan kepala daerah.
PD hanya menang di tiga kabupaten/kota secara tunggal dan 66 kali lewat koalisi. Bandingkan dengan Partai Golkar yang menang 64 kali secara tunggal dan 126 kali lewat koalisi atau PDI Perjuangan yang menang 41 kali secara tunggal dan 116 kali lewat koalisi. Pengungkit utama kemenangannya, di luar magma Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan iklan politik secara jorjoran, adalah ''kecerdikan'' incumbent menjadikan kebijakan pemerintah sebagai instrumen kampanye serta tingginya belanja iklan politik.
Hal ini bisa dilihat dari kenaikan gaji guru, peluncuran program PNPM dan pembagian raskin tepat waktu, penurunan harga BBM secara berulang, dan terutama pembagian BLT menjelang pemilihan. Banyak orang yang terikat dan diuntungkan dengan berbagai kebijakan ini merasa takut kehilangan jika terjadi perubahan pemerintahan.
Kemerosotan perolehan Golkar merupakan konsekuensi dari ketidakmampuannya mengapitalisasi program-program pemerintah untuk kepentingan kampanye politiknya. Tiada lain karena posisi ketua umumnya sebagai wakil presiden (wapres) yang selalu dalam bayang-bayang citra presiden. Pada mulanya, Jusuf Kalla (JK) berusaha menempatkan diri sebagai wapres yang baik, yang tidak dalam posisi etis untuk mengklaim berbagai prestasinya dalam memimpin pemerintahan. Akibatnya, rakyat di akar rumput lebih mengidentifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah kepada SBY dan PD.
Penurunan PDI Perjuangan lebih banyak karena kelemahan strategi berkampanye, terutama iklan politiknya. Survei Reform Institute pada Februari-Maret 2009 mengecek faktor eksternal yang mempengaruhi pilihan atas partai politik. Hasilnya, faktor iklan di televisi menduduki tempat pertama (35,11%). Malangnya, dalam kasus iklan televisi, iklan-iklan PDI Perjuangan hanya disukai oleh 6,41%. Iklan yang paling konyol dalam persepsi publik adalah iklan BLT, yang dipandang tidak konsisten dengan sikap oposisi PDI Perjuangan terhadap kebijakan ini.
Betapapun, dengan hasil yang tidak terlampau mengejutkan itu, partai-partai besar di luar PD tidak perlu mengalami demoralisasi. Pilihan atas presiden tidak linear dengan hasil pemilu legislatif. Menurut jajak pendapat Reform Institute (Februari-Maret), hanya 9,01% responden yang menyatakan akan memilih presiden berdasarkan pilihan partai. Sebagian besar (73,55%) akan memilih presiden berdasarkan pertimbangan sendiri. Masalah popularitas SBY merupakan warisan lama, yang mestinya sudah lama diantisipasi dan tak perlu membuat partai-partai lain tiba-tiba kehilangan semangat. Kuncinya adalah merancang koalisi strategis dengan menyatukan kekuatan figur dan jaringan partai.
Dengan pragmatismenya yang kuat, Partai Golkar adalah partai besar yang paling cepat kehilangan nyali. Arus utama partai ini mendambakan koalisi dengan PD. Masalahnya, tidak mudah bagi JK untuk berbalik badan. Selain faktor ketidaknyamanan secara personal dalam hubungan antara lingkaran SBY dan JK, harkat Partai Golkar juga dipertaruhkan. Jika koalisi dua partai ini ingin dilanjutkan, nama lain perlu diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan JK tak diinginkan. Jika demikian situasinya, pilihan JK tinggal dua: konsisten mengusung dirinya sebagai presiden dengan peluang kemenangan sangat kecil atau melanjutkan rancangan koalisinya dengan PDI Perjuangan.
Bagi PDI Perjuangan, tantangan utamanya adalah melengkapi mesin partainya yang relatif kuat dengan kekuatan figur yang mampu meraih massa mengambang. Jika PDI Perjuangan berkoalisi dengan Golkar, JK bisa dijadikan pilihan sebagai wapres Megawati. Di luar skenario ini, dua nama lain yang potensial diusung adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hidayat Nurwahid, dan Prabowo Subianto. Dari tiga nama itu, yang paling krusial posisinya adalah Prabowo Subianto. Kegagalan PDI Perjuangan bernegosiasi dengan nama ini mengandung implikasi munculnya koalisi altenatif.
Prabowo Subianto dan Gerindra-nya diperkirakan mampu menggalang koalisi dengan PAN, PPP, bisa jadi Hanura dan partai-partai kecil. Bahkan bukan mustahil dengan PKS, jika hasratnya berkoalisi dengan PD terganjal oleh faktor Golkar.
Jika realitas politik memunculkan tiga pasang calon presiden/calon wapres, pertarungan bisa berlangsung lama. Segala hal masih bisa terjadi seiring dengan perubahan alun kebatinan (mood) publik. Apalagi setelah kebatinan publik dikecewakan oleh pelaksanaan pemilu legislatif. Dalam kemampuan memadukan kuatan figur dan mesin partai, serta keterampilan memadukan strategi kampanye above the line dan retail politics, yang kuat bisa saja jadi lemah, sedangkan yang lemah bisa seketika menguat. Masih terlalu dini untuk lempar handuk!
Oleh:
Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[Perspektif, Gatra Nomor 24 Beredar 23 April 2009]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar