Oleh: Ustadz Dr Saeful Bahri MA.
Surat al-Mudatsir diturunkan Allah di Makkah, setelah surat al-Muzammil sebagaimana urutannya dalam al-mushaf al-utsmâny [1].
Surat ini secara umum memiliki isi yang serupa dengan surat
sebelumnya. Yaitu tentang perintah langsung Allah kepada Nabi Muhammad
saw untuk menyerukan dakwahnya. Menyampaikan dakwah kepada kaum beliau.
Selain itu, juga membicarakan tentang kondisi neraka dan orang-orang
musyrik yang mengingkari dakwah Rasulullah saw [2].
Jika
dalam surat al-Muzammil Allah lebih menitikberatkan pada persiapan
mental dan bekal seorang dai atau nabi yang akan mengemban risalah
dakwah-Nya, maka dalam surat ini Allah memberitahukan langkah praktis
yang mesti diambil seorang pengemban risalah.
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan!”(QS.74: 1-2)
Ini
adalah sebuah seruan langsung. Untuk menanggalkan kemalasan dan melawat
tabiat serta sesuatu yang disukai oleh manusia, yaitu bersantai-santai,
tidur atau menjahui resiko dan bekerja keras. “Bangunlah. Lakukan sesuatu yang berarti. Peringatkan kaummu selagi masih ada kesempatan.” Kira-kira seperti itulah pesan Allah pada kekasih-Nya.
Inilah
saatnya segera bangkit. Menyampaikan risalah Allah, karena yang
memerintahkannya adalah Zat yang kekuasaan-Nya tanpa batas dan sudah
memiliki semua jaminan.
Pertama, “Dan Tuhanmu agungkanlah!” (QS.74:3)
Seorang
penyampai risalah, baik dia seorang dai atau nabi sekalipun, dia harus
mengagungkan Allah yang mengutusnya. Jika ia memahami hal ini dan
benar- benar ia jiwai maka segala bentuk kemegahan, kebesaran dan
kemewahan dunia akan kecil di matanya. Ia takkan tergiur oleh
gemerlapnya dunia. Juga tidak akan silau dengan tipu kekuasaan dunia.
Tidak pula takut oleh segala bentuk ancaman yang datang dari selain
Allah. Siapapun dia, raja atau penguasa dari belahan dunia manapun.
Kekuasaan dan kesombongannya tak akan ada yang bisa mengalahkan Yang
Maha Perkasa dan Agung. Dan kelak Allah akan menghukum hamba-hamba-Nya
yang berani menyombongkan diri. Sehingga tak akan ada kebesaran yang
tersisa di dunia ini selain kebesaran dan keagungan-Nya [3].
Kedua, “Dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS.74: 4)
Setelah itu, ia perlu memperhatikan penampilan fisiknya, bersih dan menarik. Karena ini merupakan salah satu strategi marketing, dengan performance
yang meyakinkan setidaknya kesan pertama akan dikenali oleh masyarakat
saat berhadapan dengan kita. Karena itulah risalah yang dibawa Nabi
Muhammad saw selalu sarat dengan kebersihan. Makin dalam dan matang
keimanan seseorang maka ia akan semakin memelihara kebersihan. Pakaian
yang suci menjadi syarat sahnya shalat.
Ketiga, “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”. (QS.74: 5)
Setelah
ia memelihara kebersihan fisik, maka ia menyempurnakannya dengan
kebersihan batin. Yaitu dengan menjauhi serta meninggalkan segala macam
bentuk dosa. Ini adalah bentuk penaggalan hal-hal yang negatif dari
dalam diri seorang dai. Dosa dan maksiat akan mengakibatkan hati
seseorang terkotori sehingga kata-katanya juga tak akan lagi memiliki
kekuatan. Penafsiran ini senada dengan apa yang dikatakan Ikrimah dan
Ibrahim an-Nakha’iy [4].
Dan idealnya memang penampilan fisik yang bagus dibarengi dengan
kebersihan hati dan kejernihan jiwa. Hal tersebut akan mengundang pesona
dan kharisma yang sangat kuat.
Keempat, “Dan Jangan kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. (QS.74: 6)
Keikhlasan
merupakan penyempurnaan hati yang sudah dijauhkan dari dosa dan
maksiat. Akhlak ini juga akan membuat seorang dai kuat dan tangguh.
Kerja tanpa pamrih, dan kemurnian dakwah pun terjaga dengan jernihnya
hati pelakunya. Larangan ini bertujuan agar para dai penerus dakwah para
nabi terus berbuat dan berbuat, lebih gigih berusaha dan ringan
berkorban serta mudah melupakannya setelah itu[5].
Juga tak terlalu menganggap dirinya sudah berbuat banyak sehingga ia
merasa hebat dan berjasa bagi orang banyak. Karena hanya orang berjiwa
kerdillah yang selalu merasa besar. Sehingga satu-satunya harapan yang
ia inginkan hanya dari Zat yang tak pernah habis kedermawanannya serta
kepemilikannya tiada batas.
Kelima, “Dan untuk (memenuhi) perintah Tuhanmu, bersabarlah”.(QS.74: 7)
Pesan
terakhir ini mengindikasikan dan memberi isyarat bahwa dakwah
Rasulullah saw tidaklah berjalan mulus dan otomatis mendapat penerimaan
yang baik. Kesabaran dan persiapan mental yang telah disinggung dalam
surat al-Muzammil setidaknya diharapkan membuat Rasul makin siap
menerima reaksi apapun terhadap dakwah yang diserunya. Dan benar, Rasul
pun mendapat reaksi yang sangat berat. Teror fisik dan psikis
dihadapinya. Juga para pengikutnya tak henti-hentinya menerima acaman
dan teror.
Sekilas
tujuh ayat pertama ini terkesan sederhana. Tapi kandungan pesannya
sangat luar biasa. Berangkat dari pijakan normatif inilah Rasulullah
semakin kuat dan gigih dalam berdakwah. Tak takut lagi atas ancaman
apapun yang akan menimpa atau diarahkan pada beliau, karena beliau
memiliki Sang Penolong yang sangat hebat dan tak terkalahkan.
Hari yang Dijanjikan
Salah
satu misi mengingatkan yang dibawa Rasul saw adalah dengan selalu dan
terus mengingatkan kaumnya akan adanya hari kehancuran dan kebangkitan.
Supaya orang–orang yang berbuat zhalim mau kembali kepada Allah.
Setidaknya selama masih ada kesempatan untuk memperbaiki sebelum hari
kepastian yang sudah ditentukan Allah itu datang.
“Apabila ditiup sangkala. Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit. Bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah”. (QS. 74: 8-10)
Dan
hari yang paling sulit bagi siapa saja. Karena setiap orang memikirkan
nasibnya di depan pengadilan Sang Maha Adil. Pengadilan yang sangat
transparan. Tak akan ada yang bisa disembunyikan. Dan orang-orang kafir
akan memenuhi kesulitan yang berlipat-lipat.
Seperti
halnya al-Wahid bin Mughirah yang akan mendapatkan pembalasan Allah
kelak. Firman Allah berikut membicarakannya, sebagaimana pendapat Ibnu
Abbas dan Mujahid serta sebagian besar para ahli tafsir [6]. “Biarkan aku bertindak terhadap orang yang aku telah menciptakannya sendiri”.
(QS.74: 11). Ibnu Katsir menafsirkan, sendirian artinya saat ia
dilahirkan. Tak ada harta, anak dan kekuasaan. Kemudian Allah
memberikannya berbagai kenikmatan. “Dan Aku jadikan baginya harta
benda yang banyak. Dan anak-anak yang selalu bersamanya. Dan kulapangkan
baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang – lapangnya.”
(QS.74: 12-14). Al-Walid bin Mughirah memiliki sepuluh anak. Tiga
diantaranya masuk Islam, yaitu sang panglima Khalid bin Walid, kemudian
dua adiknya Hisyam dan Ammarah[7].
Allah
mengaruniakannya harta yang berlimpah. Juga anak-anak yang selalu dekat
dengannya. Tapi hal ini tak membuatnya bersyukur dan lupa akan asal
kejadiannya. Ia selalu tamak, “Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya.” (QS.74: 15). Tapi itu takakan pernah dikabulkan oleh Allah, “Sekali-kali tidak (akan aku tambah), Karena Sesungguhnya dia menetang ayat-ayat kami (Al-Qur’an)”. (QS.74: 16)
Kelak, akan Allah memberikan hukuman yang setimpal atas dosa dan kesombongannya. “Aku akan membenahinya mendaki pendakian yang memayahkan”. (QS.74: 17). Sebuah kiasan akan beratnya beban yang ia tanggung di akhirat kelak. Siksa yang tak terbayangkan beratnya.
Kebohongan dan Kesombongan yang tak Terampuni
Sebelumnya
selama di dunia al-Walid -juga orang–orang kafir- tak mengindahkan
peringatan yang dibawa para nabi dan para dai. “Kemudian dia berpaling
(dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, ‘(Al-Qur’an)
ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang
dahulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.’” (QS.74: 23-25).
Dan sebagai balasannya, Allah akan memberikannya sejelek-jelek hunian di dalam neraka. “Aku
akan memasukkannya ke dalam (neraka) saqar. Tahukah kamu apakah
(neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan,
(Neraka saqar) adalah pembakar kulit manusia”. (QS.74: 26-29)
Selain
panasnya yang tak tertahankan, neraka–neraka itu dijaga oleh para
malaikat yang takakan membiarkan mereka sedikitpun beristirahat dan
mengambil nafas.
“Dan
diatasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Dan tiada kami
jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah kami
menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi
orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi
yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya
orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak
ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan
orang-orang kafir (mengatakan), ‘Apakah yang dikehendaki Allah
dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikian Allah
membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk
pada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara
Tuhanmu melaikan Dia sediri, dan saqar itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi manusia”.(QS.74: 30-31)
Golongan Kanan
Jika
orang-orang kafir di atas harus mempertanggun jawabkan semua
perbuatannya, maka Allah akan memberi keleluasaan bagi orang-orang yang
mengimani dakwah Rasulullah saw.
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan”. (QS.74: 38-39)
Bahkan
mereka bisa menanyakan kondisi orang-orang yang diazab Allah. Hal
demikian akan semakin membuat mereka bersyukur. Betapa beruntungnya
orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Simaklah saat mereka bertanya
kepada para penghuni neraka Saqar, “Apakah yang memasukkan kamu ke
dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk
orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan
orang miskin. Dan kami membicarakan yang bathil, bersama dengan
orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari
pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian.’ Maka tidak berguna lagi
bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.’” (QS. 74: 42-48)
Hal di atas bisa kita ambil pelajaran. Bahwa para penghuni Saqar tersebut setidaknya memiliki empat kesalahan fatal.
Pertama, tidak
mengerjakan shalat. Merupakan simbol keenganan untuk menundukan hati
kepada Allah. Sebuah simbol keangkuhan. Simbol kesombongan yang sangat
dimurkai oleh Allah, karena kebesaran hanya milik-Nya.
Kedua,
tidak menunaikan zakat dan tidak menyayangi fakir miskin. Ini
merupakan simbol kejahatan sosial. Menjadi sebuah akumulasi keburukan,
setelah tak mampu menundukan kepala kepada Allah karena memusuhi fakir
miskin dan kaum lemah berarti memusuhi Allah, Sang Pengasih yang sangat
menyayangi mereka.
Ketiga, selalu
membicarakan dan menggunjingkan kebatilan. Jika membicarakan sebuah
kebatilan saja sudah dicela, apalagi kebatilan itu kemudian
dipergunjingkan, disebarluaskan, dibisniskan. Maka merugi dan celakalah
mereka yang mengambil keungtungan dibalik pergunjingan kebatilan ini.
Keempat, mengingkari
adanya Hari Pembalasan. Jika Hari Pembalasan diingkari, maka
orang-orang zhalim itu semakin menjadi–jadi. Tak ada lagi yang mereka
takuti. Jika sangkaan mereka dibenarkan, maka berapa banyak orang-orang
terzhalimi dan tertindas tak terlindungi. Lantas siapa yang akan
membalas mereka? Kaum tertindas yang dijanjikan kemenangan dan
pertolongan. Jika tak di dunia, mereka sangat mengharapkannya di
akhirat. Sementara orang-orang zhalim itu ditangguhkan oleh Allah sampai
datangnya Hari Pembalasan.
Di
samping itu, hal ini menjadi dalil dan bukti bahwa ada dialog dan
perbincangan yang terjadi pada penghuni surga dan neraka. Jika di surat
ini penghuni surga menanyai penghuni neraka. Maka dalam surat lain
para penghuni neraka meminta belas kasihan para penghuni surga yang sarat dengan berbagai kenikmatan.
“Dan
penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka
(dengan mengatakan), “Sesunguhnya kami dengan sebenarnya telah
memperoleh apa yang Tuhan kami janjikannya kepada kami. Maka apakah
kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu
menjanjikannya (kepadamu)?’ Mereka (penduduk neraka) menjawab, ‘Betul.’
Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumunkan di antara kedua
golongan itu, ‘Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
zhalim.’” [8].
Keterlambatan
Sangat aneh. Peringatan yang demikian jelas seperti di atas justru didustakan. “Maka mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah).”
(QS.74: 49). Padahal jika mereka mau menggunakan akalnya mereka takakan
melakukan kebodohan itu. Karena hal tersebut hanya akan mendatangkan
penyesalan kelak.
Kita telaah sejenak penggambaran Allah tentang kedunguan mereka,“Seakan-akan mereka itu keledai liar yang lari terkejut. Lari dari pada singa.”
(QS.74: 50-51). Bukankah keledai adalah perumpamaan yang menghinakan?
Binatang yang dungu, namun itu lebih baik karena ia tak memiliki akal
untuk berpikir. Sementara orang-orang kafir itu diberi akal oleh Allah,
tapi mereka tak mau menggunakannya. Jadi mereka lebih buruk dari
keledai.
Peringatan
yang diberikan Allah seharusnya mereka terima dengan lapang dada dan
terbuka. Karena peringatan itu membuat dan menstimulus mereka untuk
memperbaiki kualitas hidup dengan penghambaan yang benar kepada Allah.
Tapi justru mereka lari menghindar, seperti menghindarnya keledai dari
kejaran singa. Jika keledai tak mampu lari dari kejaran singa.
Sanggupkah mereka lari dari takdir Allah? Menghindari keputusan dan
ketentuan yang telah digariskan oleh Allah? Atau dapakah mereka
bersembunyi dari siksaan Allah yang telah menunggu mereka setelah Hari
Perhitungan? Takakan ada yang bisa melarikan diri dari keputusan Allah!
Sebaik-baik Peringatan
“….Sesunguhnya
al-Qur’an itu adalah peringatan. Maka barang siapa menghendaki,
niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (Al-Qur’an). Dan mereka
tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah
menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan yang patut (kita) bertakwa
kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS.74: 54-56)
Al-Qur’an
yang dibawa Rasulullah saw merupakan pengingat terutama bagi mereka
yang mau membacanya dan mau berusaha memahaminya serta menginginkan
kebaikan darinya. Beruntunglah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh
Allah serta dimudahkan untuk berinteraksi dan memahami al-Qur’an dengan
baik.
Karena
al-Qur’an adalah pedoman langgeng serta aturan yang berlaku untuk
manusia dimana saja, sepanjang masa. Ia merupakan salah satu mukjizat
terbesar Nabi Muhammad saw. Dan hingga sekarang kemurnian al-Qur’an
masih tetap terjaga, berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Hal ini
dikarenakan Allah menjaganya dari segala macam perubahan, penggantian,
dan pengurangan isinya [9].
Sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw, al-Qur’an memiliki
berbagai karakteristik yang mampu menunjukkan keagungannya. Di antaranya
al-Qur’an sebagai kitab ilahy (wahyu dari Allah), kitab yang
dijaga Allah, Mukjizat, jelas dan mudah dipahami, kitab agama yang
integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), kitab yang berlaku untuk
sepanjang masa, dan kitab yang memiliki muatan humanisme [10].
Dan
barang siapa yang mau berpegang teguh pada al-Qur’an maka ia akan
lapang dalam menjalani hidup yang sarat dengan berbagai macam rintangan.
Apalagi jika seorang nabi atau dai. Maka kedekatannya dengan Al-Qur’an
menjadi spirit tersendiri yang akan menjadi ruh dan motivasi
dakwahhnya. Wallâhu al-Musta’ân.
—
Catatan Kaki:
[1] Imam
Jalaluddin as-Suyuthi, al-itqân fi ‘Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hal.21, Imam Badruddin
az-Zarkasyi, al_Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, Cet.I,
1988 M/1408 H, Vol.I, hal 249
[2] Syeikh Muhammad Ali ash-Shabuny, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali ash-Shabuny, 1986 M/1406 H, hal 267-268
[3] Lihat
Shafiurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahîq al-Makhtûm, edisi terjemah,
Jakarta Pustaka al-Kautsar, Cet.II, Januari 2009, hal.65
[4] Imam
Ibnu Jarir at-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats
a-Araby, Cet.I, 2001 M/1421 H, Vol.29, hal.176, juga Imam Ibnu Katsir,
Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Cairo: al-Maktabah al-Qayyimah Vol.IV,
hal.572
[5] Shafiurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahîq al-Makhtûm, Op.Cit, hal.66
[6] Tesis
penulis, Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’any
al-Qur’an li al-Ma’iny, Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas Al-Azhar,
2006 M, Vol.II, hal.738
[7] Ibid. Hal, 739
[8] Lihat QS. Al-A’raf: 44
[9] Lihat QS. Al-Hijr: 09
[10] Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Kaifa Nata’ âmal ma’a al-Qur’an, Beirut: Darusysyuruq, Cet.I, 1999 M/1419 H, hal 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar