Adalah Celalettin Yavuz, deputi direktur Pusat Turki untuk Hubungan Internasional dan Analisis Strategis, yang menjawab pertanyaan Susanne Gusten dari New York Times (15 Juni 2011), mengapa Erdogan demikian populer di kalangan rakyat Arab, tidak lain karena keberhasilannya mengawinkan Islam dengan demokrasi. Sebelumnya, Erdogan sudah menegaskan bahwa Turki di bawah komandonya akan terus berjuang bagi tegaknya hak-hak rakyat di kawasan itu untuk keadilan, pemerintahan berdasar kan hukum, kebebasan, dan demokrasi.
Kemenangan AKP dalam Pemilu 2011, membuka kesempatan kepada Turki untuk langsung mendekati rakyat di Asia Barat Daya dan Afrika Utara untuk tujuan reformasi demokrasi dan ekonomi di wilayah yang penuh gejolak itu. Melalui pendekatan baru ini, tujuan strategis Ankara adalah dalam rangka membantu segala upaya agar kawasan itu menjadi makmur yang sekaligus menawarkan peluang bagi pertumbuhan ekonomi Turki.
Jika itu menjadi kenyataan, peran Iran yang juga ingin berperan sebagai “yang dipertuan” di sana akan berkurang de-ngan sendirinya. Kecurigaan kepada Iran banyak terkait dengan paham Syi’ahnya yang agresif, sementara mayoritas pendu duk Arab adalah penganut Sunni, seperti halnya Turki. Baik Turki maupun Iran dari sisi etnis bukanlah bagian dari bangsa Arab yang berlatar belakang darah Semit itu.
Ibrahim Kalin, penasihat Erdogan untuk urusan politik luar negeri, mengatakan perubahan merupakan kunci bagi stabilitas untuk kawasan itu. Ditegaskannya bahwa Turki akan mendukung proses transisi ke arah demokrasi, sebuah sikap yang tidak membahagiakan penguasa-penguasa dikta tor Arab yang masih saja ingin bertahan. Dengan strategi langsung mendekati rakyat, Ankara berharap agar angin peru bahan akan bertiup lebih cepat, sekalipun pihak Barat tidak otomatis mendukung nya.
Politik langsung mendekati rakyat pasti akan banyak kendalanya, karena para pengua sa masih ingin bertahan di singgasana kekuasaan yang terbukti korup selama ini. Tetapi, Erdogan setelah ke me nangan ketiganya ini sudah menegaskan bahwa politik itu akan menjadi agendanya ke depan. Sekarang tokoh-tokoh independen Arab telah banyak ber kunjung ke Turki untuk mengamati dari dekat mengapa Islam di sana bisa bergaul dengan demokrasi. Turki seka rang telah tampil sebagai pahlawan hak-hak asasi manusia dan demokrasi di kawasan itu.
Demokrasi di Turki tidak hanya berhenti pada tataran serimoni dan prosedur, tetapi juga langsung mengangkat nasib rakyat untuk merasakan kesejahteraan dan kemakmuran, sekalipun belum merata. Cobalah simak fakta ini: sejak AKP memenangi pemilu tahun 2002 GDP (gross domestic product) Turki telah meningkat menjadi tiga kali lipat, dengan pendapatan per kepala tahun 2002 sebesar 3.492 dolar AS menjadi 10.079 dolar AS tahun 2010.
Dibandingkan dengan Turki, perkiraan pendapatan per kepala di Indonesia tahun 2010, menurut Hatta Rajasa, adalah 3.000 dolar AS. Tetapi, orang tidak boleh menutup mata bahwa angka pengangguran secara nasional di Turki masih sekitar 11,5 persen, terutama di pedalaman dan kawasan timur dan tenggara yang sangat kontras dengan wilayah Barat, seperti Istanbul dan Izmir.
Dalam pemilu yang lalu, ada sebuah paradoks dalam politik Turki: para pemilih AKP adalah orang kaya dan sekaligus masyarakat miskin. Profesor Sadir Aybar, ekonom dari Universitas Kadir Has Istanbul, mengatakan, “Inilah paradoks AKP, dan alasan popularitasnya. Ia berhasil memikat orang kaya, kelompok yang dikenal dengan harimau Anatolia dan kalangan miskin.” Aybar bahkan menyindir, “AKP menjadi sebuah partai kaum borjuis yang semakin kaya di Turki.” Kritik-kritik keras semacam ini harus mendapat perhatian dari Erdogan dan AKP agar perkawinan Islam dan demokrasi tidak membuahkan sebuah kesenjangan sosio-ekonomi yang parah.
Masalah krusial lain yang sangat mengganggu adalah konflik antara negara dan PPK (Partai Pekerja Kurdistan) yang belum ada solusi sampai hari ini. Konflik sangat berdarah tahun 1990-an telah merintangi pembangunan ekonomi di belahan tenggara Turki, sebagaimana puluhan tahun berlaku pem ba tas an-pembatasan untuk menembus perdagangan dengan negaranegara tetangga Iran, Irak, dan Suriah.
Oleh sebab itu, Erdogan perlu mempercepat perbaikan hubungan antara Turki dan para tetangganya dengan melonggarkan pembatasan-pembatasan regulasi itu, demi memberi harapan kepada kawasan yang masih terbelakang itu. Juga Ankara perlu mendistribusikan lebih banyak dana untuk kawasan tenggara ini, jangan hanya mengucurkan uang untuk Istanbul sambil membangun jembatan-jembatan baru, kritik Profesor Rahmi Yamak dari Universitas Laut Hitam.
Akhirnya, memang tidak mudah bagi AKP untuk meratakan keadilan bagi seluruh wilayah Turki, tetapi harus dilakukan. Masa depan Turki dan AKP akan sangat bergantung pada keberhasilan atau kegagalan Erdogan mengisi demokrasi yang telah dikawinkan dengan Islam, sebuah agama pembela keadilan.
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar