jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 22 Mei 2011

Kerja Ikhlas, Keras, Cerdas, Tuntas dan Mawas (Nasihat Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh) oleh Afifah Afra Satu pada 21 Mei 2011

Bergetar jemari ini ketika mengetik di atas laptop. Ini tulisan obituary ketiga yang saya angkat dalam bentuk catatan. Setelah almarhum ayahanda, Mbak Nurul F Huda, dan kini, seorang guru, da'iyah, ibunda, sosok yang sangat menginspirasi hidup saya, kembali Dipanggil menghadap-Nya. Sabtu ini, dini hari tadi karena kecelakaan di Cirebon. Allah, Engkau Maha Tahu atas segalanya...

Masih terngiang di telinga saya, tausiah yang meluncur dari wajah yang selalu bersinar, dengan bibir yang selalu tersenyum itu. Tausiah yang diberikan para aktivis LKIP (Lembaga Kajian dan Informasi Pemilu) yang beliau dirikan bersama beberapa tokoh ummahat, antara lain Ibu Sri Rahayu Tifatul Sembiring. Beberapa muslimah dari berbagai daerah, Banda Aceh, Padang, Solo, Ambon, Jakarta, Tangerang, Bekasi dan sebagainya berkumpul di rumah beliau, di sebuah waktu di awal tahun 2004.

"Bekerja itu dengan prinsip lima as," kata beliau. Suaranya jernih. "Pertama, ikhlas. Jadikan semua itu bermuara kepada Allah. Lalu kerja keras. Kita optimalkan seluruh kemampuan fisik kita. Mujahadah. Lalu, cerdas. Kerja harus menggunakan siasat, perencanaan, kemampuan otak. Jangan lupa, kerja harus tuntas. Dan akhirnya, tutup dengan evaluasi, atau mawas."


Penuturan beliau tentu tak sependek yang saya tuliskan. Panjang, dan berdenting-denting di hati saya, hingga sekarang. Bukankah ucapan seorang muslimah yang shalihah, sesungguhnya adalah perpanjangan dari perkataan Yang Maha Benar?


Saya memang tak sering berjumpa dengan beliau. Tetapi, setiap perjumpaan selalu meninggalkan kesan. Pernah suatu hari beliau memberikan tausiah di depan para muslimah Semarang. Beliau sangat menganjurkan agar kita, para muslimah, menjaga kesehatan. Mengonsumsi banyak sayur dan buah-buahan, serta meninggalkan segala jenis makanan instan yang berpengawet. Saya berkesempatan membuktikan ucapannya, ketika suatu hari bersama teman-teman LKIP menginap di rumahnya di Depok. Ketika kami dipersilahkan ‘menghabiskan’ isi kulkas, tak ada satupun makanan instan di sana. Yang ada buah-buahan. Belimbing, jeruk, apel …


"Rahim seorang wanita harus dipersiapkan untuk menghasilkan generasi yang terbaik. Jadi, makanlah hanya sesuatu yang halal dan toyib." Beliau mengisahkan, bahwa saat masih remaja, ia sangat ingin memakan mie ayam, bakso, atau makanan ‘sampah’ yang sering diminati para remaja pada umumnya. Tetapi selalu mampu beliau tahan. Sebuah visi telah beliau tancapkan di benak, sejak usia beliau masih beliau. Beliau ingin menjadi seorang ibu yang sehat, yang menjadi lantaran terlahirnya generasi muslim yang tangguh. Salah satu cara, adalah dengan menjaga kebugaran fisik. Maka, 13 putera-puterinya pun terlahir, dan semua memiliki kualitas yang menakjubkan. (Jika membandingkan dengan saya sendiri dalam urusan ini, wah keok deh, saya! Baru punya anak tiga saja rasanya sudah berasa capek).


Beliau juga sering memotivasi untuk belajar bahasa Arab, karena itulah bahasa Al-Qur’an. Beliau pernah bercerita dalam sebuah tausiahnya, bahwa pernah bersama sang suami (Pak Budi Darmawan) ke Timur Tengah, lalu berbicara dengan para ulama nan shalih. Konon, bahasa arab Pak Budi, kurang lancar, sehingga beliau berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Akan tetapi, seorang ulama yang mereka temui tidak bersedia melayani percakapan dengan bahasa Inggris. Bukan karena tak bisa bahasa Inggris, tetapi beliau ingin seorang kader dakwah memahami bahasa Arab. Walhasil, sepanjang pertemuan, Ustadzah Yoyohlah yang menjadi penerjemah.

Ah, begitu banyak hal yang saya pelajari dari beliau, meskipun seringkali tidak secara langsung. Semoga ilmu bermanfaat yang beliau tebarkan di segenap pelosok negeri, amal yang muntijah yang beliau torehkan dan memberi teladan, menjadi pemberat timbangan kebaikan beliau. Selamat jalan, Ibunda Yoyoh Yusroh … saya percaya, para penduduk langit bergembira menyambut kedatanganmu …

Sumber: Facebook @ Irmawati Wardyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar