Banyak yang terperangah mendengar salah satu hasil Munas ke-2 PKS yang menyatakan PKS sebagai partai terbuka; terbuka untuk segala suku, latar belakang, bahkan agama. Selama ini, PKS dikenal sebagai partai Islam, bahkan partai dakwah. Sulit membayangkan suatu hari nanti PKS akan dipimpin oleh orang-orang Non-Muslim.
Orang bisa larut dalam imajinasinya sendiri-sendiri. Struktur PKS memang kental dengan 'aroma’ Islam. Entah apa jadinya jika suatu hari nanti posisi ust. Surahman Hidayat sebagai Ketua Dewan Syariah Pusat (DSP) digantikan oleh seseorang yang nama depannya Fransiscus Xaverius, atau seorang doktor lulusan sekolah teologi. Entah bagaimana menjelaskan kepada publik jika Majelis Syuro diisi dengan orang-orang Non-Muslim, sementara ”syuro” itu sendiri merupakan istilah yang tak mungkin dipahami tanpa menggunakan worldview Islam.
Paling tidak ada dua 'tikungan' yang telah diambil oleh PKS sebelumnya, yang harus kita pahami bersama sebelum mencerna hasil Munas yang satu ini. Pertama, ketika dakwah mengambil bentuknya dalam wujud sebuah partai politik. Ketika hal itu terjadi, maka para da’i harus benar-benar siap mengurus negara, mulai dari level tertinggi hingga yang paling rendah, baik urusan Muslim maupun Non-Muslim. Kedua, ketika parpol ini dijadikan entitas yang menyeluruh yang dapat mewakili dakwah itu sendiri. Dengan demikian, bukan dakwah yang dibatasi oleh bentuk sebuah parpol, melainkan batasan-batasan parpol itulah yang kita tarik seluas-luasnya sehingga memiliki daya jangkau yang sesuai dengan tabiat dakwah. Tabiat dakwah, sebagaimana penjelasan ust. Surahman Hidayat dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, adalah "mengakses semua dan untuk semua!"
Tidak mudah mengejawantahkan prinsip rahmatan lil ’aalamiin, yang merupakan inti dari pesan yang ingin disampaikan oleh ust. Surahman di atas. Rasulullah saw. adalah rahmatan lil 'aalamiin, demikian juga agama ini, namun umatnya belum tentu. Jangankan untuk membawa kebaikan bagi umat lain, mencukupi kebutuhan sendiri pun masih banyak yang belum mampu.
Kita belum sampai pada masa-masa seperti ketika orang-orang Nasrani dan Yahudi berbondong-bondong datang ke universitas di Spanyol untuk menuntut ilmu. Kita belum tiba pada masa-masa ketika orang Yahudi meminta agar pasukan Islam memasuki negerinya dan menumbangkan pemerintahan yang 100% Yahudi, karena mereka tahu bahwa orang akan hidup lebih sejahtera di bawah pemerintahan Islam. Berapakah di antara para da'i masa kini yang mau menyuapi orang tua Yahudi yang buta, renta dan bermulut kotor sebagaimana Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. melakukannya dahulu?
Banyak yang bicara soal rahmatan lil ’aalamiin namun pola pikirnya masih diliputi dendam. Ketika bicara soal Yahudi dan Nasrani, maka landasan berpikirnya adalah Q.S. 2:120, sehingga ia memandang mereka dengan tatapan curiga, bahkan benci. Padahal golongan Ahli Kitab adalah objek dakwah Rasulullah saw. yang paling utama, karena mereka mewarisi sebagian dari ajaran-ajaran para Nabi terdahulu. Baik di Mekkah maupun Madinah, Rasulullah saw. tak pernah canggung bergaul dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka pun mengenalnya sebagai Al-Amin (orang yang dipercaya). Sebutan ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. telah benar-benar berhasil menjadi rahmat Allah kepada seluruh alam.
Hal berikutnya yang harus kita pahami adalah bahwa dakwah itu sendiri sangat luas spektrumnya, sebagaimana syariat Islam pun sangatlah luas. Seorang Non-Muslim yang berbuat baik tidak bisa dikatakan berdakwah, namun sama sekali tidak ada larangan untuk mengajak mereka melakukan tugas-tugas tertentu dalam proyek dakwah tersebut. Misalnya dalam hal penanganan bencana dan pemberian pertolongan terhadap korban-korbannya, maka hal ini pun termasuk dalam kerja dakwah, dan juga termasuk dalam tugas-tugas yang bisa diemban oleh orang-orang Non-Muslim.
Meski demikian, kita juga harus ingat bahwa sisi lain dari masalah ini adalah adanya ketegasan mengenai hal-hal tertentu yang tak boleh ditangani oleh Non-Muslim. Batasan ini tentu dapat kita pahami dengan jelas. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh ust. Hilmi Aminuddin, Islam adalah identitas PKS, dan identitas ini takkan diganti untuk selamanya. Adapun dalam kerja membangun negeri, maka sudah sewajarnya umat Non-Muslim turut serta.
Seputar 'keterbukaan' PKS ini, paling tidak ada dua hal yang sangat menarik untuk kita dalami bersama, yaitu:
Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bukanlah PKS yang mencari-cari suara, melainkan kalangan Non-Muslim itulah yang tertarik pada PKS. Laman situs Gatra telah memuat sebuah artikel menarik yang perlu kita cermati bersama, menceritakan tentang beberapa orang yang memutuskan untuk bergabung dalam gerbong PKS, meskipun mereka tahu betul bahwa PKS adalah partai Islam, sedangkan mereka tidak beragama Islam. Dari sisi ini, dapat kita katakan bahwa PKS telah berhasil mengejawantahkan dirinya sebagai rahmatan lil 'aalamiin (tentunya dengan segala kekurangan dan keterbatasannya) sehingga umat Non-Muslim pun bisa merasakan manfaat dari keberadaannya, bahkan mereka ingin terlibat di dalamnya.
Jika orang mengatakan bahwa sejak Munas ke-2 ini PKS telah berubah, maka itu artinya ia telah menyatakan bahwa keterbukaan PKS tidak menjadikannya berubah. Sebab, PKS sebenarnya telah terbuka sejak dulu, bahkan kader Non-Muslim telah eksis sejak jamannya PK dahulu. Jika orang-orang baru ribut sekarang, setelah keberadaan kader-kader Non-Muslim diatur (dan dibatasi) dalam AD/ART PKS yang terbaru, maka itu artinya mereka tidak merasakan perubahan pada periode 1998-2009 yang lalu, padahal sejak masa-masa itu, PK dan PKS telah memiliki kader-kader Non-Muslim. Kekagetan yang dialami oleh sebagian pihak membuktikan bahwa selama ini PKS tetap mampu menjalankan agenda dakwah meskipun ada kader-kader Non-Muslim, sekaligus juga membuktikan bahwa mereka yang kaget sebelumnya tidak memahami seluk-beluk struktur dan jenjang kaderisasi PKS yang sebenarnya.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Sumber: akmal.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar