jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 23 Maret 2010

Rokok, Mubah atau Haram?

Di saat masyarakat Indonesia kian gandrung terhadap rokok, Muhammadiyah tampil dengan fatwa kontroversialnya, yakni keharaman rokok yang sebelumnya bertengger di peringkat mubah. Di internal Muhammadiyah, fatwa haram rokok itu menuai pro dan kontra. Mantan orang nomor satu di Muhammadiyah, Amien Rais, satu di antara orang yang menyayangkan fatwa tersebut. Sementara di luar Muhammadiyah, bisa dipastikan berbagai kecaman sulit dihindari, khususnya pegiat industri rokok.

Sesekali fatwa itu dikaitkan dengan tradisi di organisasi “tandingan” Muhammadiyah, NU, yang masih teguh pada pendirian bahwa rokok hukumnya tidak haram, melainkan mubah. Satu alasannya, tidak ada keterangan tegas dan jelas yang menjatuhkan vonis haram terhadap rokok. Oleh karenanya, statusnya dikembalikan pada hukum asal, yakni diperbolehkan. Artinya, segala sesuatu yang tidak ada larangan maka hukumnya adalah mubah alias boleh. Kendati demikian, jika sesuatu tanpa aturan itu mendatangkan mudarat atau membahayakan, tak bisa tidak, tanpa titah ilahi secara tersurat pun statusnya adalah haram.

Dalam konteks fatwa haram Muhammadiyah, walau belum disepakati secara nasional, sedikit mengundang pertanyaan yakni penalaran logika atau runtutan metodologi-sitematis yang dikedepankan Muhammadiyah. Bagaimana metodologi yang digunakan Muhammadiyah dalam kasus ini? Sejauh manakah Muhammadiyah mempertimbangkan aspek sosiologis atau pembacaan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai sandaran menarik hukum atau fatwa haram rokok? Pertanyaan di atas penting. Sebab, konsistensi metodologi ijtihad sejatinya menjadi pertimbangan, bukan alasan-alasan lainnya yang mengaburkan kemuliaan fatwa. Jika benang merah fatwa itu dapat ditarik, berbagai tuduhan dependen atau intervensi terhadap fatwa secara tidak langsung tertolak.

Fathurrahman Djamil (1995) dalam buku Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, menemukan bahwa metode ijtihad yang digunakan Muhammadiyah dalam kasus-kasus hukum adalah menggunakan Alquran dan Sunah sebagai sumber utamanya. Di samping juga meniktikberatkan pada peran akal. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, akal mendominasi nash (Alquran dan Sunah). Akal digunakan untuk menemukan tujuan hukum Islam yaitu kemaslahatan. Kemaslahatan inilah yang menjadi inti dari maqashid syari’ah (maksud dan tujuan ditetapkannya hukum atau syariat). Artinya, tanpa akal, sulit ditelusuri motif kemaslahatan dibalik hukum Islam.

Selain itu, metode ijtihad seperti qiyas, istihsan, al-mashlahah al-mursalat, maupun saddu al-zari’ah juga dipegangi Muhammadiyah. Namun, penggunaan metode di atas dipandang berjalan mulus dan bisa diterima jika tidak bertentangan maqashid syari’ah. Pada hakikatnya, maqaashid syar’ah melingkupi jaminan kemaslahatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka, segala sesuatu, apapun itu, jika tidak mengindahkan dan menyalahi kelima unsur-unsur di atas, hukumnya adalah haram. Sebab bukan lagi maslahat, tapi mafsadat (kerusakan/kemudataratan).

Jika sebaliknya, yakni perbuatan yang tertentu mendatangkan kemaslahatan, tidak ada alasan untuk melarangnya, yaitu halal. Kalaupun diindikasikan tidak ada maslahat juga tak tampak kerusakannya, hukumannya adalah mubah. Lalu, bagaimana dengan hukum rokok?

Tanpa sadar, vonis mubah terhadap rokok oleh sebagian kalangan selama ini sebenarnya bersandar pada pertimbangan kemaslahatan. Yakni kemaslahatan yang tidak lagi berpijak pada pandangan kesehatan, tapi sosiologis, politik, ekonomi, bahkan psikologis. Banyak penelitian menuturkan, rokok jelas-jelas merusak kesehatan dan berbahaya bagi tubuh, otak, menyebabkan kanker, bahaya bagi ibu yang sedang mengandung, dan sebagainya. Dari perspektif kesehatan ini, seorang ahli medis atau dokter memiliki otoritas lebih menentukan vonis haram atau tidak. Maka, dokter adalah referensi utama untuk menilai apakah rokok masuk dalam kategori kerusakan (mafsadat) atau maslahatan (kebaikan).

Bila dikembalikan pada wewenang dokter di atas, sudah barang tentu hukumnya adalah haram. Ditambah lagi penggalan-penggalan nash (sumber hukum Islam) baik Alquran maupun Sunah yang melarang keras melakukan sesuatu yang menimbulkan bahaya sekaligus membahayakan orang lain. Jelas, dari perspektif moral-agama maupun medis, rokok adalah haram. Seperti hadis laa dhiror wa laa dhiror (jangan kamu membuat sesuatu yang berbahaya dan membahayakan orang lain). Rokok selain menyebabkan kerusakan bagi penghisapnya (perokok aktif), juga berbahaya buat orang lain yang bukan perokok (perokok pasif).
Bahkan setiap kemasan rokok yang mencantumkan pesan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, dan gangguan kehamilan dan janin,” adalah pesan yang juga menyiratkan pesan akan keharaman rokok. Mengapa masih banyak penduduk negeri ini tidak juga jera dan kian banyak saja yang merokok?

Saya melihat, fatwa haram rokok Muhammadiyah memiliki aspek positif. Muslim di seluruh Tanah Air khususnya warga Muhammadiyah tentu yakin, bahwa memalingkan fatwa rokok dari mubah ke haram tentu berdasarkan pada pertimbangan matang mulai dari sosiologis, ekonomi, politik, bahkan psikologis. Semoga saja Muhammadiyah siap menanggung konsekuensi logis fatwa haram rokok.

Sudah saatnya memang Muhammadiyah bersikap tegas dan berani mengajukan gagasan radikal demi kemaslahatan masyarakat dan bangsa. Hanya saja, keberanian di atas perlu diimbangi dengan keberanian menangkal problem lanjutan sebagai dampak fatwa haram rokok. Saatnya Muhammadiyah rajin menyambangi masyarakat untuk melakukan sosialisasi antirokok dan membangun kesadaran menjaga kesehatan. Misal, secara massif dan intensif lembaga pendidikan Muhammadiyah melakukan sosialisasi menggalakkan pendidikan antirokok.

Lebih dari itu, Muhammadiyah dituntut perannya mencari jalan alternatif bagi sebagian masyarakat yang hidupnya bergantung pada pucuk daun tembakau atau bahan-bahan pokok lainnya yang berkaitan dengan produksi rokok. Sentra-sentra pemberdayaan Muhammadiyah perlu merevitalisasi eksistensinya agar tingkat kesejahteraan sebagian masyarakat tidak melorot jika saja fatwa haram rokok Muhammadiyah menginspirasi pemerintah untuk lebih ketat dalam pengaturan rokok, dan mampu menyadarkan umat muslim untuk tidak lagi menghisap rokok.

Oleh: Agung Suseno Seto, Alumnus pondok perkaderan Muhammadiyah Shobron UMS, peneliti muda di Religion and Social Change Insitute (RESCI)


Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar