Ini pengalaman pribadi. Pertengahan tahun 1984, saya berkesempatan mengikuti kursus jurnalistik dari Ashadi Siregar di Yogyakarta. Namanya kerja belum jelas, hidup sebagai penulis lepas dengan honor pas-pasan, maka semuanya kudu cari yang murah, tapi megah. Makan di warung minta kuahnya banyak.
Saat harus pangkas rambut, cari murah juga. Yang namanya murah, tentu, risiko tidak dijamin. Baru separuh rambut kepala dipangkas, malapetaka menimpa. Tukang cukur terserempet becak, roboh. Itu pak tua tukang cukur jatuh terjengkang. Jangankan melanjutkan pekerjaannya, berdiri pun harus dibantu. Masih menggunakan kain pelindung rambut, mirip jubah Superman yang posisi terbalik (bukan di belakang) dan kepala separo botak, saya harus menolong pak tukang cukur.
Itu peristiwa di dekat Alun-alun Yogyakarta, tukang pangkas rambut DPR alias Di bawah Pohon Rindang. Jadi, sebetulnya, DPR itu tidak mutlak harus berarti Dewan Perwakilan Rakyat. Bisa juga Dalam Pengaruh Ranjang, seperti kata Permadi, tembok gedung parlemen itu saksi bisu terhadap anggota Dewan yang suka berpacaran.
Kalau dikaitkan dengan Organisasi Dagelan Srimulat, maka DPR bisa berarti Dagelan Penghibur Rakyat. Faktanya, sampai sekarang pengibaratan bahwa pabrik tertawa Srimulat bubar karena kalah lucu sama gedung sebelahnya, belum pernah diprotes dan disangkal secara nasional.
Kini, Gedung Senayan sebelah markas Srimulat itu memang seperti tidak mau kalah kualitas dengan Srimulat dengan merekrut sejumlah komedian ke sana. Makin lucu lagi dengan merayapnya bintang film senior Pong Harjatmo sampai ke atas atap kantor parlemen yang dijaga petugas profesional, Jumat pekan kemarin.
Lepas terjadi pro-kontra kelakuan Pong tersebut, banyak orang geli mendengar kabar tersebut. Pong secara ndagel dan cerdas melakukan protes terhadap kinerja para wakil rakyat yang suka bolos itu. Lewat talkshow di Studio Radio Trijaya, Senin pagi, Pong mengaku sudah kesal sama sejumlah anggota Dewan. Saking kesalnya, pria berusia 67 tahun ini nekat naik lewat steger yang sedang ditinggalkan tukang cat dinding Gedung DPR.
Tak urung, cerita Pong, begitu sampai atap dia ketar-ketir juga karena anginnya ternyata kencang sekali. Tapi dia sukses mengolok-olok anggota Dewan yang terhormat. Akan halnya Pong, sebagian besar masyarakat tidak asing lagi terhadapnya sebagai bintang film dan sinetron.
Tapi banyak yang tidak tahu bahwa sejatinya Pong juga simpatisan Partai Demokrat dan sempat menjadi bagian humas saat partai ini berkongres di Bali dulu. Patriotisme Pong pun tak perlu diragukan, sebab saat menikah mas kawinnya adalah bendera Merah Putih dan lambang Burung Garuda. Ini langka!
Rumah Aspirasi
DPR yang dalam hal ini adalah parlemen Senayan, bukan yang tukang cukur itu, kalau selalu ndagel memang bukan perkara baru. Bahkan, bukan cuma itu, tetapi juga nekat. Asli, ndagel dan nekat. Memang kita tidak gebyah uyah atau semuanya. Sebab sejujurnya ada yang masih punya idealisme dan sadar akan perannya.
Misalnya anggota DPR asal Kalimantan Barat (Kalbar) Zulfadhli yang mengaku terbengong-bengong melihat kursi ruang rapat banyak kosong, padahal di daerahnya, DPRD Kalbar, kalau rapat selalu penuh. Yang merasa malu seperti Zulfadhli memang ada. Tapi yang ndagel dan nekat itu jumlahnya lebih banyak. Simak saja, belum lagi selesai polemik dengan topik membolos, secara ndagel terbetik berita ada anggota DPR mengusulkan dana rumah aspirasi sebesar Rp 122 miliar.
Itu setara dengan sekitar 25 ton beras murah. Alasannya, tujuan rumah aspirasi untuk mempererat hubungan dan komunikasi antara anggota Dewan dengan konstituen. Pertanyaannya, apakah kalau reses mereka mengunjungi konstituen? Tentu, ada yang ke daerah pemilihan (dapil) atau ke konstituen. Tapi, kenyataannya, banyak yang senang memilih studi banding ke luar negeri.
Lantas, apakah nanti rumah aspirasi yang dibangun miliaran rupiah tersebut bermanfaat? Jangan-jangan hanya akan jadi tempat main petak umpet anak-anak sekitarnya. Kondisi yang tampak dan jadi bahan perbincangan rakyat, para wakil mereka itu kalau kerja malas, membolos, tapi minta uang tambahan ngotot.
Sampai mesin cuci pun jadi pembahasan. Ke kantor saja jarang, tapi minta mobil bagus. Karena jarang ngantor berarti tidak ada di kantor, tapi minta dibangunkan kantor mewah senilai Rp 1,6 triliun. Urusan seperti kasus Bank Century begitu ramai, heboh, ujungnya sepi. Pokoknya, ndagel!
Sejujurnya, begitu besar harapan rakyat terhadap anggota Dewan dalam memperjuangkan nasib mereka. Sebab, seorang anggota Dewan semestinya harus menjalankan “perintah” dari rakyat yang mewakilinya di parlemen. Tapi harapan itu jauh dari kenyataan. Rakyat berteriak keras, megap-megap kerendem lumpur Lapindo seperti tidak terdengar oleh wakilnya di Senayan.
Tetap kelelep dan sudah empat tahun belum beres. Kini, cobalah “Gedung DPR” melepaskan diri dari istilah lebih lucu dari tetangganya “Gedung Srimulat” yang bubar karena kalah lucu. Kalau tidak bisa, sekalian saja rekrut anggota Srimulat yang hidupnya tidak mendapat perhatian pemerintah seperti Tarzan, Nunung, Tesy, Gogon, Kadir, Mamik, Eko.
Ketua fraksinya serahkan kepada Ibu Jujuk istri almarhum Teguh Srimulat. Jadi, nantinya, lewat tayangan televisi, kalau anggota Dewan membolos yang penting Tarzan dan kawan-kawan tetap hadir sehingga dapat menghibur rakyat. Ini bisa menghibur rakyat yang sedang susah dengan kenaikan harga Sembako dan kecut, ketakutan tabung elpiji meledak. Dagelan Penghibur Rakyat beneran. Pasti top! (oke)
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar