Tidak salah jika seseorang mendekat kepada Tuhan di kala duka, ketika tertimpa musibah berat.
Bukankah Tuhan Maha Pengasih, Maha Penggembira, dan Maha Penolong? Namun pantaskah seseorang ingat dan mengiba kepada Tuhan hanya di kala duka, sementara di waktu senang tidak pernah mengingat, memuji, dan berterima kasih? Coba saja bayangkan dan analogikan dengan kehidupan sehari-hari.
Seorang ibu yang penuh kasih tentu selalu berlapang dada menerima anak-anaknya yang dirundung masalah. Namun sungguh anak itu tidak bermoral dan akan dinilai durhaka ketika hidupnya senang lalu melupakan cinta dan hormatnya kepada ibu.
Demikianlah, dalam kehidupan beragama banyak terjadi perilaku serupa. Mereka rajin berdoa, bersembahyang, berumrah, dan bersedekah ketika dirundung masalah. Padahal, menurut sabda Rasulullah, doa yang didengar dan dikabulkan Tuhan itu adalah doa yang selalu dipanjatkan baik di kala suka maupun duka.
Jadi, jangan keburu mengeluh Tuhan tidak peduli terhadap doa seseorang jika dia berdoa hanya di waktu duka. Di situlah salah satu rahasia kekuatan doa dan sembahyang yang dianjurkan agar dilakukan setiap hari. Bahkan perintah ingat kepada Tuhan adalah agar dilakukan kapan saja, di mana saja. Tuhan tidak mengenal birokrasi, baik yang menyangkut ruang maupun waktu, sehingga siapa pun dan dalam situasi apa pun bisa menjumpai Tuhan untuk mengadukan segala persoalan hidupnya.
Siapa pun bebas menjumpai Tuhan sebagaimana mereka juga bebas untuk berpaling dari Tuhan, bahkan mengingkari Tuhan. Di sinilah keunikan beragama dan di sini pula keluhuran serta kesucian kualitas manusia akan teruji. Dalam menghayati iman dan cinta kepada Tuhan, sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya agar diganti dengan sifat-sifat Ilahi.
Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam doa: “Datanglah Kerajaan-Mu di hati ini dan berlakulah kerajaan-Mu di muka bumi.” Mengapa menghayati iman merupakan pembebasan diri? Sebab, pilihan untuk mencinta serta pasrah kepada Tuhan sebagai sumber segala kebaikan merupakan pilihan bebas, hasil sebuah pergulatan spiritual dan akal budi yang tak seorang pun bisa memaksa ataupun melarang.
Oleh karenanya saat dialog dengan Tuhan, sesungguhnya pada waktu yang sama seseorang juga melakukan dialog dengan diri sendiri. Adakah dialog itu dijiwai rasa syukur, rasa penyesalan, penuh permintaan ataukah datar-datar saja, semuanya itu akan berpulang pada kesadaran dan situasi batin seseorang. Dengan demikian, ketika seseorang berdoa atau tengah melakukan pengakuan dosa, semestinya juga disertai keinginan kuat untuk melakukan perbaikan diri karena kehendak dan karya Tuhan hanya berlaku pada mereka yang membuka dirinya bagi kehadiran Tuhan.
Maka ketika makna dan fungsi agama dipahami dan dihayati tak lebih sebagai himpunan dogma tentang surga-neraka, atau ketika ritual agama diyakini hanya sebagai ritus pemutihan dosa, bisa dipastikan agama akan kehilangan etos dan spiritnya bagi pembinaan pribadi dan perilaku sosial yang mendukung bagi terwujudnya peradaban unggul.
Doa-doa lalu berubah bagaikan mantra-mantra untuk mengobati frustrasi ataupun untuk mengejar pangkat dan mengawetkan jabatan. Tuhan lalu diposisikan sebagai pesuruh manusia, bukan ekspresi cinta dan kepasrahan. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika para pejabat tinggi negara senang berkonsultasi kepada dukun ketimbang kepada psikiater, karena ingin cepat naik pangkat dan tanpa kerja keras. Cukup dengan mantra-mantra. Dalam bentuknya yang lain, mantra-mantra itu berubah menjadi suap. Sebab, dengan keberagamaan kita yang seperti itu, nilai agama tidak banyak berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa. (oke)
Oleh: Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar