JAKARTA. Guna membangun kesadaran akan pentingnya kehalalan produk dan bisnis bagi pelaku ekonomi di dalam dan luar negeri, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI akan menggelar World Halal Summit dan The 1st Indonesia Int'l Halal Business & Foof Expo 2010. Dijadwalkan akan berlangsung pada tanggal 23-25 Juli 2010. Mengangkat tema "New Paradigm of Int'l Halal Business"."Nantinya diskusi dan seminar akan membahas semua yang berbau kehalalan dan syariah. Mulai dari produk pangan, industri, finance dan sebagainya. Kita juga ingin menyoliasisakan standardisasi halal di Indonesia kepada pelaku bisnis di dalam dan luar negeri," ujar Ketua MUI Pusat, Amidan kepada wartawan, Kamis (19/11), kemarin.
Penyelenggaraan World Halal Summit dan The 1st Indonesia Int'l Halal Business & Foof Expo 2010 juga diharapkan membuka akses bagi pelaku bisnis di Indonesia terjun ke dalam pasar halal dunia. Pasalnya, selama ini hanya segilintir pelaku bisnis dalam negeri yang ikut di dalamnya. Tidak heran jika Indonesia tertinggal dibandingkan negara lainnya dalam persaingan pasar halal.
"Pasar halal dunia justru dikuasai oleh pelaku bisnis dari negara non-muslim. Kita sangat ketinggalan. Oleh karena itu kerja sama antara swasta dan pemerintah bermain dalam pasar halal dunia perlu dilakukan ke depannya," tegas Amidan.
Pelaku bisnis dari berbagai negara di dunia dipastikan akan menghadiri World Halal Summit dan The 1st Indonesia Int'l Halal Business & Foof Expo 2010 di Jakarta Convention Center. Setidaknya ada 30 negara yang akan ikut serta. Mereka diantaranya negara ASEAN, kawasan Timur Tengah, Amerika Serikat dan Eropa. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI akan bekerja sama dengan Deplu dan pihak lain untuk mengundang pelaku bisnis dari luar negeri.
Ditambahkan Presiden World Halal Council, Lukmanul Hakim. Menurutnya, para pelaku bisnis di Indonesia sudah memahami standardisasi kehalalan produk dan bisnis, sayangnya hanya sebagian kecil saja yang ikut berpartisipasi. Menurut pengakuan Lukman, sejauh ini baru 10 ribu perusahaan yang bersertifikasi halal.
"Dibandingkan negara ASEAN lainnya, Indonesia bisa dikatakan tertinggal. Pelaku bisnis di sini sebetulnya menerima aturan standardisasi halal, tetapi masih sedikit yang ikut. Ironisnya, negara non-muslim justru yang lebih banyak menerapkan bisnis berbasis kehalalan," lugas Lukmanul.
Berbisnis menggunakan standardisasi halal sekarang ini telah menjadi tren di negara-negara maju. Mereka benar-benar membedakan mana produk yang tergolong halal dan haram. Pencantuman label halal mereka lakukan dalam bisnisnya. Misalnya, di Jepang yang beberapa restorannya menerapkan sistem kehalalan.
"Pasar perdagangan dunia itu sekarang prinsipnya free trade. Dimana segala produk halal dan non-halal bercampur. Untuk melindungi konsumen, sebisa mungkin free trade itu menjadi fair trade. Maksudya, konsumen terlindung dari produk non-halal. Kendati demikian bukan berarti kita menolak produk non-halal mentah-mentah," tukas Lukmanul.
Untuk terciptanya fair trade yang memprioritaskan produk halal, Lukmanul berharap semua pihak baik swasta dan pemerintah gencar melakukan sosialisasi standardisasi kehalalan bisnis dan produk. Namun, Lukmanul menampik jika standardisasi halal Indonesia justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
"Mengingat Indonesia terdapat jutaan produk halal, maka peluang atau potensi untuk menjadi pemain di pasar halal dunia cukup besar ke depannya. Sebisa mungkin pelaku bisnis kita arahkan ke sana," Lukmanul menandaskan. (c08/taq)
Sumber: Republika Newsroom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar