jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 18 November 2008

Kucing Keluar Karung


Sejumlah partai politik memutuskan untuk menggunakan suara terbanyak dalam mekanisme menentukan anggota legislatif terpilih.

Keputusan ini paling tidak diambil oleh Partai Amanat Nasional, Partai Bintang Reformasi,Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Partai politik lain seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan,Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera belum menunjukkan sikap serupa.

Terlepas dari masalah yuridisnya, keputusan ini membuka lembaran baru dalam mekanisme dan sistem politik Indonesia. Dengan nomor urut masyarakat menilai betapa yang dibeli oleh pemilih selama ini adalah kucing di dalam karung.

Sekarang kucing sudah dikeluarkan dari karungnya, tetapi di lehernya masih terlihat identitas partai politik. Kucing yang terlalu lama di dalam karung akan kesulitan menangkap tikus.Tikus,dalam kategori politik, bisa disebut sebagai persoalan-persoalan kemasyarakatan yang harus ditangkap oleh politikus.

Ketakutan berlebihan kepada partai politik menyebabkan kucing-kucing ini kehilangan kemampuan menangkap tikus. Namun, sudah cukupkah sematamata menggunakan sistem suara terbanyak? Bagi proses liberalisasi politik, sistem ini jelas membawa kemajuan. Hanya,bila dikaitkan dengan kaderisasi internal, sistem ini jelas akan membawa pengaruh kepada ketidakbergunaan parameter-parameter penilaian terhadap calon legislatif (caleg).

Betapa tidak, seseorang yang sudah telanjur populer,katakanlah sebagai seorang artis atau juru khotbah agama, bisa terpilih ketimbang kader yang mempersiapkan diri dengan baik untuk menjadi anggota legislatif. Begitu pula partai politik akan kesulitan untuk memastikan siapa-siapa saja nama-nama yang didorong untuk memperbaiki kinerja parlemen nasional dan lokal yang telanjur dinilai negatif.

Inovasi Mekanisme

Masyarakat pemilih adalah pihak yang paling diuntungkan dengan mekanisme suara terbanyak ini.Pemilih dimanjakan dengan tingkat kehadiran yang tinggi dari para caleg. Selain itu, ketika menjabat, para anggota legislatif ini, mau tidak mau, akan lebih memperhatikan kebijakan-kebijakan populis, kalau tidak ingin kehilangan dukungan dalam pemilu berikutnya.

Politisi ini benar-benar akan berumah di tengah rakyat, serta menyediakan waktu lebih banyak untuk mengunjungi daerah pemilihannya. Keliru jika menilai mekanisme suara terbanyak ini sebagai upaya menghancurkan partai politik. Bagaimanapun, hak pencalonan tetap beradaditanganpartai- partaipolitik.

Bagi partai-partai politik yang hanya berupaya mengejar kemenangan, tentu tidak peduli dengan kualitas calonnya. Popularitas dijadikan sebagai satusatunya pegangan.Apabila di kemudian hari kinerja para anggota legislatif terpilih sama sekali buruk,partai politik bisa berlepas tangan dengan mengatakan bahwa para legislator yang dimiliki itu adalah pilihan murni rakyat.

Sementara bagi parpol yang mengedepankan kualitas, para caleg yang dimajukan tentu memenuhi standar kualifikasi yang baik. Walau begitu, kalau memang mekanisme suara terbanyak diarahkan kepada kepentingan publik, setidaknya harus disusun regulasi lanjutan.

Pertama,pemberian hak kepada pemilih di satu daerah pemilihan untuk melakukan mosi tidak percaya kepada anggota legislatif yang sedang menjabat. Mekanisme ini sekaligus menutupi celah dalam undang-undang yang semata-mata menggunakan nomor urut.Persoalan terbesar muncul ketika caleg pada nomor urut terbawah yang mendapatkan suara terbanyak.

Caleg lain,lewat mekanisme internal parpol, diharuskan mengundurkan diri.Padahal, mestinya tidak mengundurkan diri, melainkan disusun berdasarkan tingkatan suara terbanyak berikutnya, guna mengantisipasi pergantian antarwaktu (PAW). Partai X tentu tidak ingin kehilangan kursi apabila PAW justru diberikan kepada Partai Y, karena seluruh caleg Partai X sudah mengundurkan diri.

Sekalipun hanya satu atau dua orang yang mengundurkan diri, sementara caleg lain tidak mundur guna mengantisipasi PAW, persoalan lain juga muncul kalau yang mengundurkan diri suaranya lebih banyak daripada yang tidak mengundurkan diri. Apabila PAW terjadi, caleg yang menggantikan lebih kecil suaranya daripada yang telah telanjur mengundurkan diri.

Pemberian mosi tidak percaya oleh publik adalah kelanjutan dari gagasan betapa kedaulatan berada di tangan pemilih,bukan di tangan partai politik. Partai politik hanya menjalankan prosesadministrasinya saja,sementara ikatan antara konstituen dengan anggota legislator tetap terpelihara.Akan menjadi persoalan apabila partai politik menggunakan kewenangan mutlak dalam memecat legislator terpilih guna kepentingan parpol.

Kedua,mekanisme PAW tidak bisa hanya menjadi kewenangan parpol, melainkan lewat pemilu sela.Pemilu sela ini diadakan secara khusus untuk memilih anggota legislator baru. Terdapat persoalan, apakah pemilu sela hanya diikuti oleh kandidat dari satu parpol saja ataukah melibatkan kandidat parpol yang lain. Kalau masih menggunakan UU No 10/2008, pemilu sela hanyalah mekanisme internal satu parpol saja.Pemilu sela bisa diadakan dalam beragam bentuk, mulai dari pemberian hak suara kepada seluruh anggota parpol yang memiliki kartu anggota, sampai hanya perwakilan pengurus saja di satu daerah pemilihan.

Menimbang Konsekuensi

Permasalahan lanjutan dari penggunaan suara terbanyak ini tidak semudah hanya sekadar kesepakatan menyuruh mundur para kandidat yang tidak mencapai suara terbanyak. Konsekuensi yuridis dan politik berikutnya perlu tetap dipikirkan. Partai politik harus menyepakati ketentuan- ketentuan yang lain guna menghindari masalah-masalah hukum di kemudian hari.

Penulis masih berkeyakinan,apabila UU No 10/2008 dipertahankan,maka di tingkat pengadilan apa pun,para legislator terpilih yang berada di nomor urut atas pasti memenangkan sengketa pemilu.Keputusan internal partai politik tidaklah berada di atas undang-undang. Hanya ada satu cara agar cacat hukum tidak terjadi, yakni merevisiUU No 10/2008.Tetapi langkah ini secara politik tidak etis. Bagaimana bisa sebuah undang-undang yang sedang dijalankan lantas direvisi oleh para pelaksana dari undang-undang itu?

Partai politik hanyalah bagian kecil dari materi perundang-undangan itu.Apabila undang-undang itu diubah,bagaimana kalau partai-partai politik di luar DPR menolaknya, lantas mengajukan judicial reviewke Mahkamah Konstitusi? Kucing memang sudah dikeluarkan dari karungnya, tapi tikus masih berkeliaran di rumah Indonesia.Yang terjadi, kucing-kucing itu masih terbebani dengan banyak regulasi.

Kaki, tangan, sampai taringnya dibelit oleh beragam kepentingan. Kini, apakah kita akan membiarkan kucing-kucing itu terus kebingungan di tengah upaya memperbaiki kualitas partai politik, parlemen, bangsa,dan negara?

Sumber: Sindo, Monday, 18 August 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar