jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Selasa, 18 November 2008
Mendorong Partai Islam ke Tengah
IKLAN Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di televisi baru-baru ini yang menampilkan Bung Karno merupakan babak penting dalam perkembangan partai itu. Dengan mengangkat tema kebangsaan, PKS ingin menampilkan citra baru ke tengah masyarakat, yakni sebagai partai terbuka yang ingin merangkul semua orang.
Bukan sekali ini PKS melakukan langkah cerdik. Di antara partai-partai Islam, saya kira, PKS-lah yang paling pintar berpolitik. Sejak tak lulus electoral threshold pada Pemilu 1999, PKS terus berbenah diri, tak hanya dengan mengganti nama dari PK menjadi PKS, tapi juga mengubah strategi kampanyenya.
Politik adalah seni mengolah kemungkinan. PKS telah mempertunjukkan seni tertinggi dalam mengolah kemungkinan-kemungkinan itu. Ketika semua partai Islam bersikeras mengembalikan Piagam Jakarta pada Sidang Istimewa MPR 2002, PKS memutuskan sesuatu yang tak populer di kalangan pendukung partai Islam, yakni menolaknya.
Bersama PAN, dengan cerdik PKS mengajukan usul baru yang lebih pluralis, tapi tak menghilangkan unsur keislaman, yakni Piagam Madinah. Usul itu tampak setengah main-main dan karenanya tak lolos. Tapi, PKS selamat dari stigma pengusung Piagam Jakarta, usul yang akhirnya dimentahkan mayoritas anggota parlemen.
Isu Piagam Jakarta dalam Sidang Istimewa MPR 2002 itu merupakan modal awal bagi PKS untuk terus berbenah diri. Menjelang Pemilu 2004, Hidayat Nur Wahid dan jajaran pimpinan partai mewanti-wanti anggotanya agar tidak memainkan isu agama (misalnya, syariat Islam). Sebagai gantinya, selama masa kampanye, partai itu lebih sering mengangkat isu-isu umum seperti pemerintahan yang bersih, antikorupsi, pemberantasan kemiskinan, dan kesejahteraan rakyat.
Perubahan strategi itu pun membuahkan hasil. Pada Pemilu 2004, PKS mendulang suara hampir empat kali lipat dari perolehan sebelumnya. Partai ini juga mendominasi Jakarta. Dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah, PKS juga sukses memenangi beberapa pilkada di daerah-daerah penting. Dan jangan lupa, PKS hampir memenangi kursi gubernur dalam pilkada DKI Jakarta tahun lalu.
Kanan-tengah
PKS tampaknya memang sedang bergeser ke tengah. Perlahan tapi pasti, partai ini berusaha mengurangi beban ideologisnya. Pada munas di Bali, Februari silam, PKS mengeluarkan keputusan kontroversial dengan menjadi partai terbuka bagi semua golongan: muslim dan nonmuslim. Meski sempat mendapat kritik dari beberapa anggota dewan syuro-nya yang kebanyakan konservatif, PKS dapat meredam isu itu.
Para pengurus PKS tampaknya sadar betul bahwa tidak mungkin menjadi partai besar jika mereka selalu berada di pinggir. Porsi terbesar pemilih berada di tengah. Kaum ekstrem selalu mewakili minoritas, baik yang berada di 'kiri' maupun di 'kanan'. Untuk menjadi besar, sebuah partai harus menyesuaikan diri, menjadi partai 'tengah', atau paling tidak menjadi 'kanan-tengah' atau 'kiri-tengah'.
Di negara-negara yang demokrasinya maju, istilah 'kiri' dan 'kanan' biasanya merujuk kepada sikap dan program politik sebuah partai, bukan pada namanya. Di Eropa, kelompok 'kiri' biasanya merujuk pada partai-partai yang berhaluan sosialis atau komunis, sementara kelompok 'kanan' adalah partai-partai yang merujuk pada nilai-nilai konservatif atau kekristenan.
Kelompok yang berusaha memoderatkan dirinya kerap disebut sebagai 'kiri-tengah' atau 'kanan-tengah'. Banyak partai yang semula cenderung ke kiri atau kanan beralih menjadi moderat (tengah) dan mampu memenangi pemilu. Di Jerman ada Partai Kristen Demokrat (CDU/CSU) yang kerap disebut sebagai partai 'kanan-tengah'. Kendati menggunakan kata Kristen dalam namanya, CDU/CSU beraliran moderat. Pada Pemilu terakhir (2005), partai ini mendapatkan 35,2% suara dan berhasil memimpin pemerintahan koalisi besar dengan partai 'kiri-tengah' (SPD).
AKP di Turki adalah contoh lain dari partai 'kanan-tengah' yang berhasil. Pada Pemilu 2007, AKP keluar sebagai pemenang dengan meraih 46,6% suara. AKP bukanlah partai Islam (kanan), seperti secara keliru dianggap banyak orang selama ini. AKP adalah partai moderat (kanan-tengah) yang dalam platformnya jelas-jelas mendukung demokrasi liberal, hak kepemilikan, dan ekonomi pasar.
Orang-orang Eropa lebih bisa menerima AKP ketimbang partai-partai Kemalis-Sekular (seperti CHP) atau partai Islam (seperti Refah) karena platformnya yang tegas menyuarakan aspirasi demokrasi dan kebebasan. Turki di bawah AKP memiliki prospek lebih cerah untuk bergabung dalam Uni Eropa ketimbang di bawah partai-partai ultrasekuler maupun Islam.
Sementara itu, partai-partai Islam yang ada di Indonesia lebih mewakili aspirasi pinggiran (kanan) ketimbang merangkul segmen terbesar yang berada di tengah. PPP dan PBB sampai hari ini masih terus menggumuli isu pinggiran, yakni penerapan syariat Islam dan Piagam Jakarta. Hanya PKS yang tampaknya menyadari itu dan berusaha keluar dari sana.
Di tengah konflik berkepanjangan di antara sesama partai Islam (PPP vs PBR) atau partai berbasis umat Islam (PAN vs PMB) dan (PKB vs PKNU), PKS terus menjaga soliditasnya. Satu-satunya saingan solid PKS di kantong Islam adalah PBB, tapi PBB tampaknya masih beromantisme dengan 1950-an. Jika tidak mau mengubah strateginya, bisa dipastikan PBB juga bakal kesulitan mencari dukungan.
Masa depan politik di Indonesia ada di tengah. Partai apa saja yang ingin menjadi partai besar haruslah berorientasi ke tengah dan memainkan isu-isu yang didengar orang-orang yang berada di sana (kebangsaan, demokrasi, kebebasan, dan lain-lain).
Isu syariat Islam adalah isu pinggiran yang tak menguntungkan. Kecuali jika partai-partai Islam merasa puas hanya mendapat 2% atau 3% suara, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali berbenah diri.
Penulis: Luthfi Assyaukanie, Deputi Direktur Freedom Institute Jakarta
Dimuat : Media Indonesia (27 Juli 200)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar