jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 11 November 2008

Kenapa Takut Iklan PKS ?


INILAH.COM, Jakarta. Siapa sebenarnya pemilik KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan? Jika dia tokoh nasional, kenapa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dilarang menampilkan dan memujinya? “Mereka bukan milik satu golongan saja,” kata Anis Matta.
Empat tahun lalu, situasi politik Indonesia hampir sama panasnya dengan saat ini. Pemilihan Presiden akan berlangsung. Pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang diusung PDI Perjuangan menampilkan foto Hasyim Asyari dalam iklan kampanyenya.
Dalam konstelasi politik praktis, Hasyim bukan mewakili parpol mana-mana. Dia Ketua Umum PBNU dan secara struktural tak ada kaitannya dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB sendiri menyodorkan Solahuddin Wahid sebagai calon wapres mendampingi Wiranto yang diusung Partai Golar.
Keluarga Hasyim Asyari marah karena Mega-Muzadi mengusung foto Hasyim Asyari. KH Yusuf Hasyim, salah satu putra pendiri NU itu bahkan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, itu menuntut ganti rugi materiil Rp 500 juta dan immateriil Rp 9 miliar.
Hingga kini, tak jelas bagaimana kelanjutan laporan tersebut. Pun, secara legal, pasangan Mega-Hasyim juga tak pernah membayarkan ganti rugi sebesar yang dituntut Pak Ud, panggilan akrab Yusuf Hasyim.
Bukan berarti persoalannya sudah selesai. Pertanyaannya adalah Hasyim Asyari punya siapa? Pertanyaan serupa kembali membuncah saat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengudarakan iklan mereka seputar peringatan Sumpah Pemuda belum lama ini.
PKS menampilkan Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, dan proklamator Soekarno. “Jelas, itu iklan politik PKS. Iklan itu akan berpengaruh kepada pemilih yang berasal dari NU, Muhammadiyah dan nasionalis,” kata pakar komunikasi politik UI, Dedi Nur Hidayat.
Keyakinan serupa juga diakui pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH Solahuddin Wahid. Cucu Hasyim Asyari itu berpendapat, tidak mungkin PKS menampilkan iklan tersebut tanpa tendensi politik. “Tidak mungkin PKS tidak bertendensi politik. PKS kan partai politik,” katanya.
Lain lagi reaksi dari kalangan Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin menilai iklan PKS tidak etis. “Iklan itu sebenarnya tidak etis. Walaupun KH Ahmad Dahlan adalah milik ummat dan bangsa sebagai pahlawan nasional, dia juga adalah pendiri dan tidak bisa dilupakan dari Muhammadiyah,” kata Din.
Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan dan Bung Karno adalah pahlawan nasional milik bangsa ini. Argumen ini pula yang meyakini PKS untuk memasang gambar tiga tokoh kemerdekaan tersebut.
“Harusnya masyarakat NU merasa bangga. Sebagai generasi baru, kami memberikan apresiasi kepada guru bangsa,” ujar Sekjen PKS, Anis Matta.
Karena itu, PKS pun tak berniat mencabut iklan tersebut, sebagaimana desakan sejumlah tokoh NU. “Tak ada rencana kita mencabut iklan itu. Iklan itu tujuannya untuk mengangkat nilai kepemimpinan di mata masyarakat,” tambah Anis.
Dalam pandangan Sosiolog Islam dan Guru Besar IAIN Sumut, Nur Ahmad Fadhil Lubis, sikap penolakan yang ditunjukkan NU dan Muhammadiyah bahkan bisa berbahaya buat Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan. Sikap itu, menurutnya, bisa dibaca pula sebagai upaya memperkecil ketokohan Ahmad Dahlan karena dianggap semata hanya milik warga Muhammadiyah.
Dalam kaitan Muhammadiyah, penyesalan yang disampaikan Din Syamsuddin juga bisa merugikan organisasi umat itu. “Muhammadiyah seolah-olah terjebak dengan perbuatan yang selama ini selalu dihindarinya, yakni pengkultusan terhadap seseorang,” katanya.
Jika saja keberatan Din karena iklan PKS dianggap sebagai iklan politik, tidak pulakah langkah Ketua Umum PP Muhammadiyah itu bisa dibaca sebagai langkah politik. Pasalnya, Din pun bakal maju ke panggung politik 2009. Tidakkah majunya Din bakal menyeret-nyeret warga Muhammadiyah, sebuah organisasi nonpolitik, yang dipimpinnya ke wilayah politik?
Maka, tidaklah bisa dipungkiri pula, bahwa keberatan yang dilakukan orang-perorang di NU dan Muhammadiyah adalah keberatan politis pula. Artinya, muncul ketakutan-ketakutan bahwa pengaruh PKS sebagai sebuah parpol terhadap warga mereka yang nantinya diniatkan menjadi komoditas politik pula.
Lalu, kalau orang-orang NU bisa memanfaatkan Hasyim Asyari sebagai pendiri NU, kenapa PKS tak bisa dalam kapasitas ulama itu sebagai tokoh nasional? Jika orang-orang Muhammadiyah bisa mendompleng Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, kenapa PKS tak bisa dalam kapasitas tokoh karismatik itu sebagai figur milik nasional?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar