Oleh Salim A. Fillah
AlhamduliLlah; tunai sudah Jumat kemarin (21/12) tugas 10 hari kami di Ardhur Ribath; Gaza. Kini, saya & Kak Bimo Sang Pendongeng berada di Kairo; menunaikan beberapa agenda dengan rakan-rakan mahasiswa Malaysia & Indonesia; insyaaLlah berangkat kembali pulang Senin petang waktu Mesir (24/12). Tapi 5 rekan relawan lain masih berada di Gaza menyelesaikan beberapa urusan yang tersisa. MasyaaLlah; hari-hari itu akan membekas sepanjang hidup kami; semoga menjadi nyala ilham, pengokoh iman, & pelecut 'amal tuk diri kami & siapa jua. Berikut ini adalah rangkaian beberapa catatan kecil di antara berjuta kesan kami terhadap Gaza; semoga bermanfaat. InsyaaLlah akan kami sampaikan sedikit demi sedikit; nasaluLlahash shawab.
Catatan Gaza-1: Sang Perdana Menteri
Di antara selezat-lezat nikmat bagi orang beriman adalah berjumpa Allah; kemudian berjumpa orang-orang shalih..
Seorang yang berjumpa RasuluLlah, walau hanya sekali, dan beriman kepada
beliau ShallaLlahu 'Alaihi wa Sallam mendapatkan gelar SAHABAT. Dengan
gelar ini mereka disifati para 'Ulama Hadits sebagai Kulluhum 'Udul
(semuanya adil) & didoakan oleh muslimin sepanjang zaman
"RadhiyaLlahu 'Anhum" tanpa henti hingga hari kiamat.
Perlukah kita menyesal karena tak berjumpa RasuluLlah? Jikapun iya; yang
paling besar sesalnya mungkin adalah para Tabi'in. Betapa tidak; mereka
berjarak amat dekat; mungkin hanya beberapa kejap saja dari perjumpaan
dengan Sang Nabi. Kata orang Jawa "kepancal sak thumlik". Dan mereka
terluput. Aduhai kasihan. Dan kita menjumpai riwayat; pada mereka yang
dicekam sesal itu Abud Darda' RadhiyaLlahu 'Anhu mengatakan, "Janganlah
kalian berduka; sebab begitu banyak orang berjumpa Muhammad ShallaLlahu
'Alaihi wa Sallam lalu mereka dijungkalkan ke neraka karena keingkaran
& keraguannya. Lebih utama bagi kalian untuk mensyukuri karunia
Islam dan persaudaraan imani yang kalian rasakan."
Kita memang tak berjumpa RasuluLlah; tak beroleh gelar Sahabat; &
tak didoakan insan secara khusus dengan "RadhiyaLlahu 'Anh". Tapi kita
masih bisa berjumpa dengan orang-orang Shalih & kekasih-kekasihNya.
Kebanyakan di antara para Wali Allah itu memang disembunyikanNya di
antara ramai orang. Meraka adalah Atqiyaul Akhfiya'; yang datangnya tak
disadari & perginya tak dirasakan; rekomendasinya tak dipakai &
lamarannya ditolak; wujudnya tak menarik & penampilannya tak
meyakinkan; tapi jika bersumpah dengan asma Allah, maka Allah pasti
mengijabah doa mereka.
Para 'ulama bersepakat dari banyaknya keterangan dalam hadits; para Wali
Abdal ummat ini yang berjumlah 30 atau 40 orang; yang dicinta Allah
seperti Ibrahim; yang dengan sebab mereka Allah turunkan hujan &
datangkan pertolongan; serta yang jika satu meninggal diganti oleh yang
lain; mayoritas dari mereka adalah penduduk Negeri Syam. Mereka ada di
antara orang-orang yang terpuji dalam hadits riwayat Muslim, "Akan
senantiasa ada di kalangan ummatku segolongan orang yang senantiasa
menzhahirkan kebenaran. Takkan membahayakan mereka orang-orang yang
abai, tak peduli, & tak membantu; hingga datanglah hari kiamat."
Kami mengunjungi Gaza; satu bagian kecil di sudut selatan bentangan
pantai timur Laut Tengah yang disebut Negeri Syam (Lebanon, Suriah,
Palestina, Yordania) & berharap berjumpa dengan para kekasih Allah.
Sebab jika perjumpaan dengan Nabi walau sekali begitu agung maknanya;
perjumpaan dengan orang shalih pun insyaaLlah membersihkan hati kita,
menyemangatkan 'amal kita, & membuat kita senantiasa berdzikir pada
Allah. Ya; kami sadar; kebanyakan para kekasih Allah itu tersembunyi;
kecuali sedikit. Tapi kamipun berharap-duga dari segala zhahirnya;
Perdana Menteri Isma'il Haniyah yang akrab dipanggil Abul 'Abd termasuk
yang sedikit; kekasih Allah yang ditampilkan di pentas dunia.
Kami hanya rombongan sederhana; tak dibersamai utusan resmi negara; tak
jua punya jejaring yang memungkinkan bisa menghadap beliau dengan mudah.
Harapan kami tak muluk. Berjumpa sekelebatan dan saling melambai dalam
senyum pun cukuplah. Tapi Allah mengaruniai kami 3 kali pertemuan dengan
beliau. Tiga-tiganya indah.
Kami memasuki Gaza pada hari Rabu petang 12 Desember. Kamis pagi kami
bergegas menuju TK Bintang Al Quran yang menjadi amanah Sahabat Al Aqsha
di Jabaliya Al Balad hingga Zhuhr pun tiba. Tiba-tiba pemandu kami
mengatakan bahwa kakak dari besannya mengundang untuk makan siang.
Kamipun datang ke sebuah rumah bersahaja namun kokoh berlantai dua.
Bincang-berbincang sejenak, mengudap kue & kopi; lalu tiba-tiba
berserilah wajah tuan rumah, "Abul 'Abd memenuhi undangan kita. Ini
beliau datang!" Inilah perjumpaan kami pertama kali. Dia datang, memeluk
& mencium kening kami dengan ramah, sapaannya penuh doa
bertubi-tubi. Dan kamipun duduk untuk makan bersama beliau. Satu meja. Speechless.
Sampai-sampai yang terfasih Bahasa Arabnya di antara rombongan pun tak
bisa banyak berucap. Hanya berkaca-kaca. Sementara beliau terus
tersenyum, menjawab tanya, & dari lisannya beruntaian asma Allah
dalam puja-puji serta doa.
"Jalan menuju Masjidil Aqsha adalah ridha Allah Ta'ala. Dan ridha Allah dijemput dengan berjihad di jalanNya."
Hanya itu taujihnya. Ringkas dan jelas. Amat membekas.
Hari berikutnya Jumat, kami menyengaja menunaikannya di Masjid dekat
rumah beliau. Ternyata beliau terjadwal Khathib & Imam di daerah
lain. Usai shalat kamipun keluar dan berjalan menyusur kampung beliau
yang padat & riuh. Mengamati sejenak aneka wajah yang memancarkan
ketegaran, perjuangan, & pengorbanan; tiba-tiba sebuah rombongan
bergerak dengan duyunan orang menyalami. Lagi-lagi. Itu Abu 'Abd! Dan
beliau menuju ke arah kami. lagi-lagi bersalam & berpeluk dalam doa
yang syahdu. Ternyata menurut seorang rekan relawan yang telah sebulan
di Gaza; insyaaLlah kita akan jumpa Abu 'Abd di lorong-lorong sempit,
pasar yang riuh, atau tepian pantai saat dia berolahraga pagi. Ah,
betapa rawan keamanan seorang Perdana Menteri yang ditakuti Zionis ini
jika begitu kesehariannya. Ketika kami sampaikan ini pada pemandu kami,
dia tersenyum & berkata, "Bukankah memang syahid yang dicarinya?"
Kami lalu sadar; tentu para pengawalnya tetap menunaikan tugas dengan
disiplin & berkualitas. Itu tampak jelas. Tapi tak ada keangkeran
dalam semuanya; senyum & keramahan Abul 'Abd mencairkan aura kental
pengamanan ketatnya, tawakkalnya kepada Allah mengalahkan penyandaran
keselamatannya pada manusia & benda-benda. Apakah Allah memang
hendak menunjukkan pada kami bahwa pemimpin macam ini belum punah? Bahwa
ia bukan hanya penghias halaman buku-buku sejarah & nostalgi para
Khalifah.
Dan berikutnya kami diterima di rumahnya yang disulap jadi kantor sebab
Gedung Kabinet telah rata dengan tanah. Sekali lagi hanya merinding dan
berkaca-kaca mendengar sambutan & ungkapan terimakasihnya untuk
"Saudara dari negeri yang paling jauh tempatnya; tapi salah-satu yang
paling dekat di dalam hatinya.."
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar