jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Minggu, 08 Mei 2011

Soliditas Tim dan Sikap Pluralis

PEMILIHAN Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwakot) Salatiga baru saja usai. Sudah diprediksi sebelumnya, gelaran ini bakal dimenangi pasangan Yuliyanto-Muh Haris (Yaris) yang berlatarbelakang pengusaha-politikus intelektualis sebagaimana survei LPSI pada 4 Mei lalu, yang memosisikan perolehan suara tertinggi pasangan itu 39,4%.
Yaris terbukti justru meraup elektabilitas lebih tinggi, yakni 34.019 suara sementara atau 44%, sementara Dihati 28.905 (37%), Poros 10.254 (13%) dan Basis 4.227 (6%).

Pasangan Yaris memiliki beberapa kelebihan fenomenal yang telah dijualnya selama kampanye, yakni sebagai putra asli daerah, santun, dan muda. Hal ini sejalan dengan ekspektasi masyarakat Salatiga ketika memilih berargumen ingin ada perubahan ke arah yang lebih baik, mencari pemimpin muda dan berperilaku elegan, sehingga kurang tertarik pada figur incumbent selama ini. Harapan tersebut tidak lain ditemukan pada figur Yaris.

Di samping itu, meski sejak awal Yaris digempur isu agama yang radikal dan menakutkan bagi kondisi pluralitas Salatiga, ternyata dapat dikalahkan sikap dewasa dan pluralis masyarakatnya sendiri. Buktinya, survei LPSI September 2010 menunjukkan 60% warga Salatiga tidak mempersoalkan komposisi ideal pasangan calon wali kota berdasar agama.

Bukan Utama

Artinya, keyakinan agama calon (meskipun seagama) bukan faktor utama yang dijadikan pertimbangan dalam memilih. Apalagi figur Yaris yang santun berucap, rajin menyambangi mushola dan gereja serta ”blusukan” ke daerah pinggiran Salatiga dan lapisan masyarakat kaum papa yang diekspose media secara intensif, semakin memperkuat asumsi tersebut. Bahkan sampai dengan H-3 pencoblosan, terdapat warga Kristen sebesar 13,6%, Katolik 14,7%, dan Hindu 50% yang dipastikan bakal memilih pasangan nomor urut tiga ini. Tingkat akseptabilitas yang demikian plural menunjukkan bahwa Salatiga layak dijuluki ”Indonesia Mini yang Ideal”.

Fenomena putra daerah asli yang berhasil dijual Yaris menunjukkan terdapat pergeseran psikologi politik warga Salatiga yang sejatinya lama merindukan wali kota yang betul-betul lahir dan besar di kota ini. Juga diperkuat gaya berkomunikasi Yaris yang santun, tampan dan terkesan murah senyum  dianggap cukup merepresentasikan perilaku warga kota singgahan antara Semarang dan Solo tersebut. Demam harapan terdapat wali kota putra asli daerah inilah sumber utama terbangunnya loyalitas pendukung dan soliditas tim yang sebagian besar berlatarbelakang tokoh masyarakat di RW/RT dan kader PKS, PPP, dan Partai Demokrat yang amat berpengaruh di wilayahnya.

Faktor kehadiran Prof Haryoko, ketua tim pemenangan Yaris, pantas diperhitungkan sebagai ”magnet politik” untuk vote getter bagi  elektabilitas Yaris yang terus melaju sejak dideklarasikan Februari lalu. Semangat sosialisasi diri sejak tampil pada akhir 2010 dengan rajin menemui beragam kalangan masyarakat, baik di pusat kota maupun wilayah pinggiran dengan santai dan informal, dinilai sebagai kelebihan tersendiri dari anak muda yang sukses jadi pengusaha.

Konsep tawaran kepemimpinan ala ”Piagam Madinah” dari pasangan Yaris yang berarti memimpin dengan menjaga pluralitas, keharmonisan, dan toleransi seperti diajarkan agama mereka, ternyata sejalan pula dengan perilaku politik warga Salatiga yang sudah ”lintas batas” keyakinan. Hal seperti ini layak dijadikan percontohan bagi masa depan berpolitik di era demokratisasi ini.

Survei LPSI pada H-3 menunjukkan seandainya terjadi pemberian materi ataupun uang dalam konteks Pilwakot, maka 78,3% menyatakan tidak akan mengubah pilihan yang telah diputuskannya. Kristalisasi putusan pilihan individual ini menunjukkan pemilih kota Salatiga telah lama merenungi dan menimbang-nimbang figur dengan logika ekspektasi yang rasional, visioner dan tidak sekadar pragmatisme sesaat dengan menggadaikan masa depan kotanya.

Konsistensi kerja tim pemenangan Yaris dan sikap pluralis yang semakin merasuk di benak masyarakat terbukti sampai H-3. Survei menunjukkan Yaris hanya kalah di enam kelurahan dan satu kecamatan, yakni Sidomukti, serta dalam waktu dua hari berhasil diselesaikan timnya.

Kecuali itu, soliditas konstituen parpol pengusung menunjukkan klimaksnya sejak H-2 pencoblosan sebagai implikasi positif gaya berkomunikasi Yaris yang sabar dan menunjukkan komitmen jelas pada masa depan pluralitas masyarakat, serta janji untuk menjadi pasangan rukun selama 5 tahun memimpin kota Salatiga, sehingga semakin menggaransi kepastian kehidupan masyarakat dan pemerintahan kota Salatiga.

Terakhir mentalitas politik Yaris yang sebenarnya new comer dalam belantika politik di Salatiga merupakan modal strategis yang menjadi daya tarik bagi sebagian besar tokoh masyarakat, yang pada H-3 menunjukkan dukungan memilih sebesar 43,2% dan tokoh agama 50%. Keberhasilan Yaris menjanjikan stabilitas ekonomi dan semangat memajukan Salatiga melalui kebijakan pro investasi juga semakin memperkuat elektabilitas pasangan ini di hadapan pengusaha, di mana 50% akan memilihnya pada Minggu 8 Mei kemarin. Namun demikian, tantangan besar menghadang Yaris, yakni harus mampu mengembalikan ”Indonesia mini” itu dari runyamnya citra akibat kasus korupsi yang merebak beberapa waktu lalu, ketimpangan pembangunan kota dan pinggiran serta kemampuan mempertahankan situasi kondusif pemerintahan saat ini. (43)

Penulis: Staf pengajar FISIP Undip serta Analis Komunikasi Politik dan Peneliti LPSI Jateng.

Sumber: Suara Merdeka CyberNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar