Saat ini media semakin menunjukkan taringnya. Orang dengan mudah menjadi marah, tegang, gelisah atau ketakutan hanya dengan mendengarkan berita di televisi ataupun membacanya di internet. Bahkan jargon berita buruk bagi insan media adalah berita baik, rasa-rasanya sulit untuk dibantah sedikitpun. Maka penghakiman oleh pers dan media kini menjadi lumrah luar biasa, begitu pula sebaliknya pendewaan dan pemalaikatan juga bisa dilakukan dengan mudah melalui kaki tangan media.
Amerika yang pernah menuduh stasiun AlJazeera sebagai stasiun propaganda milik teroris -karena menayangkan berita-berita Afghanistan dan Iraq secara lebih berimbang- , pura pura lupa atau tidak tahu bahwa mereka sendiri memiliki ratusan channel televisi berbahasa Arab untuk menghembuskan propagandanya tiap hari di dunia Arab. Di Indonesia pun sudah bukan rahasia lagi, dan di forum mana-mana sudah dibahas tanpa tedeng aling-aling, bagaimana Metro TV yang senantiasa heboh saat memberitakan kiprah Nasional Demokrat dimana-mana, sebagaimana bungkamnya TV one saat pengungsi Lapindo di Sidoarjo mengerang setiap saat. Sungguh, ini bukan rahasia lagi dan kasat mata diyakini oleh separuh lebih penduduk negeri ini.
Mendengar berita tentang penginjakan bendera, saya juga geram sedemikian rupa. Darah nasionalisme yang mengalir dari kakek saya yang seorang veteran pejuang mendidih seketika. Apalagi semasa SMA saya berlangganan ikut pasukan pengibar bendera di event 17 agustus, saya tahu persis betapa berharganya sang merah putih tersebut dalam dada setiap warga negara Indonesia. Judul yang saya terima mentah-mentah membuat saya merana, “Di Tasikmalaya, Milad PKS Diisi Aksi Injak-injak Bendera Merah Putih “.
Dari judul di atas saya membayangkan demonstrasi anti Amerika dan Israel yang pernah saya ikuti, dimana sekelompok orang dengan gagah menginjak bahkan membakar penuh kemarahan bendera kedua negara tersebut. Dari judul di atas orang dengan mudah menyimpulkan bahwa hal tersebut adalah Acara inti dan diagendakan dalam kegiatan tersebut. Maka dengan segaralah komentar-komentar berdatangan, mencaci-maki, menyamakan PKS dengan komunis, menuduh sebagai NII, pengkhianat negara, tidak tahu terima kasih kepada pahlawan bangsa. Bahkan hingga hari ini komentar dan cacian itu masih terus berlangsung, sementara pihak kepolisian sendiri telah menganggapnya selesai. Saya tidak tahu apakah yang berkomentar tidak membaca perkembangan berita lanjutannya, ataukah benar-benar kemarahan warga kita mudah tersulut karena beberapa judul kalimat di Media ?
Mari kita lebih jernih melihat, berdasarkan perkembangan berita terbaru, baik kronologis dari pihak penyelenggara acara, maupun kepolisian resort kota Tasikmalaya, ada beberapa fakta yang semestinya membuat kita lebih luas melihat persoalan. Berikut fakta-fakta seputar kasus Insiden Tasikmalaya.
1. Bahwa insiden itu terjadi di luar gedung. Acara inti Milad sendiri berlangsung di dalam gedung Olahraga Sukapura, bahkan dihadiri oleh Kapolres dan jajaran pemerintahan lainnya. Acara luar gedung adalah acara hiburan, untuk menyemarakkan suasana bukan inti acara Milad. Ini fakta, jadi salah jika dikatakan “ diisi aksi” seolah-olah merupakan bagian inti acara. Masih lebih halus jika disebutkan “diwarnai”
2. Bahwa acara hiburan di luar gedung yang disebut “ performance art” ini dilakukan oleh tim seni professional yang dibayar oleh panitia dan mereka adalah siswa dan siswi SMA Al-Muttaqin Kota Tasikmalaya (Group Bangsal Percussion). Ini fakta, jadi salah jika dikatakan itu dilakukan oleh Kader PKS.
3. Pihak penyelenggara acara PKS menyerahkan sepenuhnya kepada penanggung jawab performance art dengan memberikan tema berjuta cinta untuk Indonesia. Dan memang ada kesalahan yaitu koordinator acara tidak menyelenggarakan Gladi Resik sebagaimana lazimnya, mungkin karena memang acara ini adalah acara sampingan dan hiburan. Namun tidak adanya Gladi Resik adalah sebuah fakta, jadi salah jika dikatakan pihak penyelenggara PKS mengetahui sejak awal hal ini dan membiarkan begitu saja.
4. Bahwa acara hiburan tersebut adalah berisi tarian budaya Indonesia yang beragam, dan dihamparkan kain merah putih menjadi alas dimaksudkan melambangkan satu untuk Indonesia. Ini adalah fakta, sementara media mengatakan penginjakan dan diinjak-injak seolah menunjukkan kebencian yang begitu besar terhadap bangsa dan negara Indonesia. Bagaimana mungkin anak-anak SMA yang dengan semangat menarikan tarian budaya Indonesia lalu pada detik yang sama ingin melecehkan simbol bendera Indonesia ?
5. Adalah fakta bahwa ukuran kain merah putih yang terinjak tersebut adalah 2x6 meter, dan tidak masuk kategori bendera sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No 24 tahun 2009, yang mensyaratkan berskala 2:3. Pakar hukum dan saksi ahli pun telah menyatakan tidak ada unsur pidana dalam insiden tersebut. Jika ada yang mengatakan bahwa esensinya itu adalah bendera merah putih karena berwarna merah putih, maka saya katakan jika demikian maka tarian budaya Indonesia tadi esensinya juga adalah mencintai Indonesia bukann melecehkan simbol negara. Orang bisa menghunus pedang, tapi niatnya bisa membunuh orang di depannya, atau sebaliknya membelanya sekuat tenaga.
6. Adalah fakta bahwa seluruh pemain teatrikal tersebut telah dibebaskan oleh polisi dan masing-masing kembali ke rumahnya. Lalu untuk apa kita terus menerus menjadikan PKS sebagai tersangka tanpa dalih hukum dan hanya praduga semata ?
Akhirnya, marilah sama-sama kita berinstropeksi diri sejauh mana kita telah berusaha mencintai dan membela bangsa Indonesia. Jujurlah pada hati kita dan jika perlu tanyakan pada para pejuang veteran dan para pahlawan kemerdekaan, apakah yang mereka perjuangkan adalah selembar kain bendera, dan apakah yang mereka inginkan dari kita adalah menghormati dan menyanjung kain merah putih begitu rupa, ataukah berbuat nyata bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ? Mari bersama berusaha mewujudkan impian para pahlawan sebenarnya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar