Jakarta. Keluarga adalah pohon kepemimpinan. Kasih sayang adalah akar penyangganya. Buah manisnya adalah anak-anak yang sehat, cerdas, santun, jujur, hemat, dan sederhana.
Untaian kalimat ini begitu indah dan menggugah bagi siapa saja yang telah menjadi pemimpin di keluarganya. Kasih sayang, rasa kebersamaan, dan tipologi kepemimpinan keluarga semacam ini mulai memudar di rumah-rumah keluarga Indonesia.
Sehat menjadi sesuatu yang menyakitkan. Bukan saja pelayanan kesehatan begitu kelewat mahal tetapi di semua lingkungan dan di sekitar kita hidup penuh dengan perilaku tidak sehat. Baik secara fisik maupun psikis.
Banyak orang menjadi sakit, gila, dan mengakhiri hidupnya karena sudah kelewat lama menahan beban hidup yang menyedihkan dan menderita. Banyak manusia Indonesia semakin gila menumpuk harta dengan segala macam cara melalui kekuasaannya.
Kecerdasan hanya indah diperdengarkan, diseminarkan, dan dipublikasikan. Karena, kecerdasan menjadi barang mahal akibat pendidikan tidak mengembangkan akal budi, sehingga jutaan anak putus sekolah dan malah ada yang nekad gantung diri, guru berani pula mengusir muridnya pergi.
Kita pun sudah lupa dengan tata krama dan kesantunan. Apalagi dengan yang namanya kejujuran. Berkali kita bujuk para buruh, nelayan, dan petani, saudara dan keluarga dari rumah Indonesia bahwa kesejahteraan menjadi fokus perjuangan "kebersamaan". Lalu, berkali pula kita menipu dan mencuri hak-hak buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga di rumah Indonesia.
Ketika harga-harga mulai membumbung tinggi para buruh, nelayan, dan petani tak mampu membeli karena sawah, ladang, kebun dan tambak tidak dapat dipanen lagi, lalu para pemimpinnya hanya menyalahkan iklim yang tidak dimengerti. Air bah melimpah menggenangi, tikus dan wereng merampas masa depan petani negeri.
Kalau cabe mahal jangan makan cabe atau pakai cabe kemasan. Begitu para pemimpin menanggapi. Kalau bahan kebutuhan pokok melambung tinggi harus bisa dipahami karena di seluruh dunia juga terjadi. Cara hidup sederhana bagi para buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga Indonesia jangan diajari karena kesederhanaan dan penghematan bukan milik keluarga di rumah kumuh Indonesia karena mereka sudah tidak punya apa-apa kecuali harga diri.
Di rumah-rumah mewah yang berlimpah harta di sana penghematan tidak diperlukan. Semua mesti dipertontonkan sambil sibuk berdebat, berdiskusi, dan mengadiri wawancara media dan televisi bahwa kemiskinan dan kesejangan harus segera diatasi.
***
Saatnya pemilu dan pilkada tiba para pemimpin dan calon pemimpin mengunjungi rakyat, buruh, nelayan, dan petani, mengunjungi saudara dan keluarga di rumah Indonesia membawa bekal uang dan sembako berjuta dan berton-ton untuk dipertontonkan sambil memakai atribut dan tanda bahwa mereka adalah calon pemimpin.
Karena, hanya dengan cara itu rakyat, buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga Indonesia tahu kalau mereka adalah pemimpin dan calon pemimpin. Sialnya, rakyat, buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga Indonesia terus dianggap tidak tahu siapa pemimpin dan calon pemimpin di negeri ini, karena para pemimpinnya sering lupa melihat nasib rakyat, buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga di rumah Indonesia.
Tetes keringat, bau pengap rumah-rumah kumuh keluarga Indonesia serta sejumlah kemiskinan dan kesengsaraan menjadi topik utama dan program strategis. Semua dikemas menjadi opini politik yang seksi. Seolah kita lupa bahwa kita belum memenuhi hak-hak saudara dan keluarga kita di rumah Indonesia.
Sudah bertahun-tahun kita lupa bahwa anggaran pendidikan tidak boleh kurang dari 20 persen dari APBN. Setelah kita penuhi lalu kita jadikan program kampanye dan tidak tahu mana yang menjadi perioritas utama. Kurikulum pendidikan berbasis kompetensi pun kini kita tambahi dengan pendidikan karakter bangsa.
Fakir miskin dan anak-anak terlantar mesti kita pelihara, rumah-rumah kumuh keluarga Indonesia itu pun segera kita gusur dan anak-anak kita beri harapan bahwa 50 tahun lagi Indonesia pasti lebih maju dan sejahtera.
Kita juga lupa untuk sekedar memberi tahu bahwa cabang-cabang produksi, bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia ini milik kita. Bukan milik Jepang, Eropa, apalagi Amerika dan negara lainnya.
Kalau para buruh, nelayan, petani, saudara dan keluaraga di rumah Indonesia adalah golongan yang lemah dan tidak mampu kita beri santunan dan harapan sambil kita kampanyekan jangan lupa pilih partai dan calon pemimpin saya.
Kita bahkan dengan berani mengabaikan hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan Jaminan Sosial sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2). Ketika Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kita sahkan menjadi UU No 40 Tahun 2004, setelah enam tahun berlalu setiap warga negara tidak memperoleh Jaminan Sosial juga secara keseluruhan.
Melanggar UUD 1945 dan UU pun tampaknya sudah menjadi biasa-biasa saja. Kita pun enggan membicarakan dan memperdebatkannya karena ahli hukum istana sudah menyatakan bahwa itu hal yang biasa dan tidak meruntuhkan eksistensi sebuah negara.
***
Bertahun dan berkali sudah presiden kita naikkan dan turunkan, berkali para buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga Indonesia mencari para calon pemimpin untuk memimpin dari rumah keluarga Indonesia. Para pemimpin yang tahu, mengerti, dan merasakan bahwa saudara dan keluarga Indonesia memerlukan lingkungan yang sehat:
Udara yang segar dan bersih, air sungai yang memenuhi kualitas standar. Ketersediaan air yang dapat diminum, pengaturan pembuangan kotoran domestik, dan sanitasi yang ramah lingkungan, pengelolaan sampah yang higienis dan sanitasi, perumahan sehat dan lingkungan hunian sehat, dan pengelolaan pembuangan limbah.
Keluarga Indonesia di perkotaan memerlukan fasilitas kota yang aman, sehat, dan menyenangkan: dengan penyusunan tata ruang kota yang harmonis (daerah hijau, daerah rekreasi, taman-taman, perkantoran dan distrik residensial), lingkungan sekolah yang sehat, tempat-tempat umum yang sehat, aman dan menyenangkan, pasar sehat, pengembangan sektor informal yang harmonis dan sehat, penyediaan dan penyusunan sarana transportasi yang sehat.
Saudara dan keluarga Indonesia memerlukan perilaku hidup sehat: terbebas dari ketergantungan terhadap rokok, alkohol dan obat-obatan, pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan fisik dan mental, pengurangan kriminalitas dan kekerasan dalam masyarakat, perilaku masyarakat untuk mencegah penyakit menular seperti demam berdarah dengue, diare, rabies dan malaria.
Saudara dan keluarga Indonesia memerlukan kehidupan sosial yang sehat: penanganan dan kemitraan pada anak jalanan, pengemis dan penjaja seks, pengembangan sistim jaminan pembiayaan kesehatan masyarakat, pengembangan sarana-sarana pasar dan kantor yang sehat, pengembangan pelayanan bagi bayi-bayi, anak-anak dan orang tua, pengembangan pengelolaan fasilitas keagamaan dan sosial yang sehat, lingkungan industri yang sehat, peningkatan kesehatan pekerja, lingkungan wisata dan rekreasi yang sehat.
Saudara dan keluarga Indonesia memerlukan "sehat": sehat secara fisik, sehat mental, sehat sosial dan sehat spritual. Lalu, bagaimana para pemimpin dan calon pemimpin di setiap Pemilu dan Pilkada datang kerumah keluarga Indonesia menjamin dan memberikan kepastian bahwa saudara dan keluarga di rumah Indonesia sehat fisik, sehat mental, sehat sosial dan sehat spritual? Semua itu menjadi kunci sehat ekonomi keluarga (sejahtera).
Kini krisis keuangan dan ekonomi belum sepenuhnya dapat teratasi. Bagaimana kita Menagih Janji RI SATU? Rakyat, buruh, nelayan, petani, saudara dan keluarga Indonesia membutuhkan bukti bukan hanya sekedar janji. Sudah berulang dan berkali janji tanpa bukti membuat kita hampir tidak percaya lagi RI SATU (Republik Indonesia Sejahtera Adil Tertib dan Utuh).
Oleh :
Wahyu Triono KS, Penulis adalah Direktur CINTA Indonesia dan Professional Campaign and Politic, Consultant pada DInov ProGRESS Indonesia.
Bhayangkara No 9A PGS, Cimanggis Depok
wahyu_triono2004@yahoo.com, 87717007 / 081219921609
Tidak ada komentar:
Posting Komentar