jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 25 Oktober 2010

Dulu Sekondan, Kini Jadi Tahanan

Refleksi Kasus Kriminalisasi Wakil Ketua DPRD Pacitan

Ironis, itulah nasib yang sekarang dialami oleh Handaya Aji, wakil ketua DPRD Pacitan saat ini. Padahal, di masa pencalonan Bupati Sujono tahun 2005 silam, Handaya adalah salah satu garda depan tim sukses yang tidak mengharapkan pamrih apapun.

Karena kekritisannya dalam memperjuangkan aspirasi dan aktif melakukan pendampingan di masyarakat, kini ybs sudah ditahan dengan tuduhan penggelapan dana bantuan hibah LEPMM tahun 1999, yang digulirkan jaman menteri koperasi Adi Sasono.

Apakah Yoyok – begitu Handaya Aji biasa dipanggil – memang sedemikian bersalah menggelapkan dana? menurut pengakuan Yoyok, sebenarnya tidak demikian. Sesuai juklak dan juknis penggunaan dana hibah tersebut, bantuan hibah untuk kelompok tani tersebut diberdayakan sedemikian rupa untuk berbagai kegiatan usaha, termasuk jual beli bahan komoditas pertanian dan juga simpan pinjam sesama anggota. Dalam perjalanannya, jual-beli tersebut kurang berhasil karena dikelola oleh pihak yang belum berpengalaman dol-tinuku, jual beli. Adapun simpan pinjam, sebagian besar kembali, tetapi ada juga yang macet di anggota. Semua ada laporan tertulisnya. Bahkan, hasil pemeriksaan polres pacitan pun sudah mengatakan demikian, bahwa anggota-anggota yang menunggak pinjaman sudah mengakui bila meminjam.

Bahkan dana yang bisa diselamatkan, tersimpan rapi di BRI Unit Tulakan sekitar separuhnya, dengan nama pemilik rekening adalah LEPMM DAMAI CQ HANDAYA AJI, dengan nomor rekening 6453-01-001064-XXXX, bukan rekening pribadi. Semua jelas dan ada buktinya. Bahkan dengan dana hibah yang sama, ada beberapa kelompok yang juga menunggak dan tidak jelas peruntukan dananya, termasuk kelompok bentukan salah satu dinas di Pacitan tetapi tidak mendapatkan sorotan apalagi sampai dikasuskan.

Lalu, kenapa Handaya Aji dikasuskan, seberapa pentingkah nominal dana hibah untuk masyarakat di tahun 1999 sehingga diusik kembali?

Boleh jadi, ini adalah sebuah konspirasi lokal tingkat tinggi yang merupakan buah dari tindakan Yoyok selama ini. Betapa tidak, di kawasan Pacitan, ketika masyarakat (termasuk non konstituen, di luar dapil Tulakan - Kebonagung) mengalami kasus2 yang lebih banyak menyengsarakan / mendholimi, Yoyok tampil terdepan, tanpa pamrih sedikitpun. Ini semua menurut Yoyok, adalah sebuah amanah dari masyarakat dan merupakan fungsi advokasi yang seharusnya anggota dewan lakukan. Hanya itu saja motivasinya.

Namun, karena advokasi yang dilakukan sudah mengusik sang ular dari sarangnya, tentu tindakan-tindakan defensif maupun ofensif akan dilakukan, apapun itu bentuknya. Lalu, seberapa terusikkah sang ular dari sarangnya, dalam arti, seberapa sih kualitas gangguan berupa advokasi ke masyarakat itu, dan seberapa penting arti gangguan tersebut? Mari kita sebut satu-persatu profil pendampingannya.

Profil Advokasi Masyarakat oleh Yoyok

1. Mendampingi masyarakat pemilik tanah yang akan digunakan JLS. Di Desa Kayen, Kebonagung, Purwoasri, hingga Desa Jetak. Pendampingan dilakukan karena ganti rugi yang ditetapkan oleh tim 9 pada masyarakat terdampak tidak seragam. Harga pasaran tanah Rp. 50 ribu, tetapi penggantian hanya berkisar Rp. 10 – 15 ribu. Di desa lain tanaman besar diganti Rp 100ribu per pohon, di Jetak tidak. Ujung kasusnya hingga awal bulan Oktober 2010 ini.


2. Mendampingi Desa Sukorejo, Kecamatan Sudimoro di lokasi dibangunnya PLTU. Mengingat kala itu ganti rugi atas penggunaan tanah desa seluas kurang lebih 15 Ha, tidak diberikan kepada pemerintah desa atau pemerintah daerah. Dengan alasan, tanah tersebut adalah milik negara, maka ganti rugi tidak diberikan dan tidak dimasukkan ke dalam APBD. Atas penggunaan tanah negara tersebut tidak dilakukan pula tukar guling. Padahal pengguna tanah adalah PLTU dan merupakan BUMN, maka menurut Perpres No 36 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dalam Perpres No 65 tahun 2005, harus ada ganti rugi. Sementara tanah warga seluas sekitar 5 Ha mendapat ganti rugi Rp 45 ribu per m2. Sedangkan untuk tanah desa sekitar 15 Ha tentunya harus diganti rugi oleh PLN sebagai BUMN sebagaimana diatur dalam Perpres di atas;


3. Mendampingi pemilik tanah di Desa Kasihan Tegalombo dan Desa Kluwih Tulakan yang tanahnya diterowong PT Gilang Limpah Internusa (GLI). Dengan terus berupaya meminta pokok tuntutan, seperti meminta agar pemilik tanah diberi ganti rugi agar tidak terjadi penyerobotan tanah dan bisa menyejahterakan pemilik tanah di areal tambang; Menuntut dihentikannya pencemaran lingkungan dengan cara membangun sarana pengolahan limbah yang baik; Menuntut bagi hasil tambang atas semua material tambang yang diambil, sebagaimana diatur UU Pertambangan. Sebab, selama empat tahun tak pernah memberikan bagi hasil kepada negara (khususnya Pemerintah Kabupaten Pacitan); dan menuntut diberikannya uang jaminan reklamasi, sebab selama ini penambang belum memberikannya;


Untuk diketahui bersama, hingga saat ini air limbah tambang PT GLI masih mencemari sungai yang mengalir dari Kluwih, Cokrokembang, hingga ke muara di laut Lorok. Tanaman pangan padi dan kedelai milik masyarakat Cokrokembang yang mengandalkan irigasi dari sungai ini semuanya gagal panen. Segala macam biota makhluk hidup sudah tidak ada yang bertahan di dalam air sungai yang sangat asam ini (pH sangat kecil karena terlarut logam berat).


Dalam rangka melakukan advokasi ke masyarakat korban ini, Yoyok juga menggandeng pihak yang berkompeten di bidangnya. Tak kurang LSM Walhi – Wahana Lingkungan Hidup diajak turut serta memantau perkembangan pencemaran lingkungan yang ada. Bahkan Walhi sudah mengeluarkan laporan resmi beserta video terkait pencemaran tambang tersebut dan sudah melaporkan ke Kementrian Negara Lingkungan Hidup.


4. Mendampingi pedagang Pantai Teleng Ria dan menyuarakan revisi perjanjian sewa Pantai Teleng Ria. Karena dalam perjanjian tersebut pemerintah daerah dirugikan dalam beberapa klausul perjanjian sewa menyewanya. Hal ini dikuatkan oleh audit BPK tahun 2009/2010 yang merekomendasikan agar perjanjian tersebut ditinjau ulang;


5. Tahun 2010 mendampingi pedagang pasar tradisional, menolak kenaikan sewa bedag dan kios. Upaya tersebut berhasil diakomodasi kecuali pedagang Pasar Minulyo Pacitan. Karena kekompakan pedagang Pasar Minulyo kurang. Dugaan penyimpangan dana terjadi pada tahun 2009, sewa kios telah dibayar pedagang Rp 2 juta untuk satu tahun per orang. Padahal tahun tersebut Perda yang mengatur pungutan sebesar itu belum berlaku. Oleh karenanya, sewa sebesar itu tidak mungkin ke kas daerah. Dan, pedagang mau membayar karena bersamaan dengan pembagian kios baru di pasar tersebut;


6. Tahun 2010 ini, dia juga menolak penandatanganan APBD 2010. Karena dinilai merugikan masyarakat. Yakni belanja modal dikurangi hingga hanya Rp 40 miliar. Dan tidak dimasukkannya pendapatan bagi hasil tambang atau pendapatan lain dari pertambangan timah. Padahal penambang pasir yang mendapatkan rezeki dengan cara berendam di air seharian mampu memberi kontribusi Rp 100 juta lebih pada tahun 2010, sementara tambang timah yang perusahaan asing tidak memberikan pemasukan daerah.


Bahkan bila dihitung kasar sesuai dengan analisa potensi kandungan mineral logam Kluwih menurut dinas ESDM dan dibandingkan dengan harga pasaran bahan tambang mentah tersebut, Pacitan dengan adanya tambang GLI di Kluwih dirugikan senilai Rp. 3,7 Trilyun. Jumlah yang sangat fantastis dibandingkan dengan pendapatan masyarakat Pacitan dan APBDnya yang masih di kisaran 600 Milyar, dengan PAD di kisaran puluhan milyar bawah.


7. Mengkritisi beberapa ketidakberesan yang terjadi di Pacitan berupa dugaan tindak pidana korupsi dan tidak terselesaikan hingga kini antara lain:


a. Korupsi Fee atau diskon pengadaan buku pada pos pengadaan buku dan sarana dan prasarana pada tahun 2006-2008 dengan total nilai Rp 30 M. dari pengadaan tersebut sejumlah konsorsium menyatakan memberikan fee atau diskon sebesar rata rata 30% dari total nilai proyek.


b. Tahun 2006 dalam proyek pengadaan buku senilai Rp 2,288 M, Sebagaimana telah dinyatakan dalam hasil audit BPK tahun 2007 yang menyatakan bahwa negara dirugikan. Terlebih ternyata buku tersebut telah kedaluarsa dan tidak sesuai kurikulum yang ada.


c. Tahun 2002 hingga 2006 Pungli dana SKSHH oleh Kepala Dinas Kehutanan waktu itu Ir Mulyono, pada tiap pengurusan SKSHH pedagang kayu di haruskan membayar dana SKSHH antara Rp. 200.000 hingga 400.000 sedangkan jumlah SKSHH ada selama tahun tersebut sekitar 65.000 lembar, sedangkan dana yang masuk PAD selama tahun tersebut hanya sekitar Rp 1M. padahal dengan angka minimal Rp 200.000 per surat SKSHH maka harusnya terkumpul Rp 13 M dan harus masuk ke kas daerah, tetapi kenyataannya hanya terkumpul sekitar Rp 1 M.


d. Proses tender dana pasca bencana Rp 10 M tahun 2007 disinyalir disalahgunakan karena penyelengaraannya tidak sesuai dengan, peraturan perundangan yang ada.


e. Dana GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) tahun 2004, diselewengkan oleh Dinas Kehutanan dengan modus melaksanakan pengadaan barang berupa pupuk bokasi dan sarana prasarana pertanian dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan terdapat bukti yang distempel dinas kepada kelompok tani. Dalam hal ini dinas yang menyelenggarkan pengadaan barang dinilai penuh mark up sedangkan kelompok tani hanya menerima barang dan sisa uang dari proyek tersebut. Sesuai aturan dinas tidak boleh melakukan pengadaan barang sendiri. Nilai pungli dan mark up dari proyek tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp 3 M. sedangkan proyek tersebut terus berlanjut hingga tahun 2008.


f. Sesuai dengan KUA PPAS tahun 2010 yang telah disepakati DPRD dengan Bupati yang mencantumkan pos belanja Modal sebesar sekitar Rp 80 M, sedangkan pada APBD 2010 terjadi pengurangan dana belanja modal menjadi hanya sekitar Rp 40 M yang dialihkan kepada pos belanja pegawai dan pada belanja barang dan jasa. Pengalihan tersebut rawan terhadap korupsi yang merugikan rakyat.

Demikianlah gambaran sekilas latar belakang advokasi dan kemungkinan dugaan kriminalisasi yang dialamatkan kepada Handaya Aji, wakil ketua DPRD Pacitan periode 2009-2014.

Posisi Geopolitik Pacitan

Pacitan hanyalah salah satu wilayah terpencil di pulau Jawa, yang dalam kancah percaturan sosial, politik, maupun ekonomi tidak termasuk pihak yang diperhitungkan di Jawa Timur, apalagi di Indonesia. Namun, seiring naiknya Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden RI yang ke-enam hingga masuk periode ke-dua, menjadikan Pacitan naik pamor. Dari yang dahulunya hanya dikenal sebagai daerah pengirim tenaga kerja (lokal maupun tki), dari yang berprofesi pembantu rumah tangga, kini sudah ada yang berprofesi elit sebagai pengemban amanah seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, naiknya SBY ini tidak dibarengi dengan kinerja positif oleh oknum2 penguasa lokal di Pacitan. Ini dibuktikan dengan maraknya kasus2 yang terjadi dan diadvokasi oleh Handaya Aji.

Senin malam (18/10/2010), KPUD Pacitan sudah menutup pendaftaran calon bupati dan calon wakil bupati yang akan bertarung Desember esok untuk mengemban amanah bupati Pacitan periode 2011-2015. Dari peserta yang mendaftarkan diri ditemui hal yang menarik. Bupati incumbent Sujono yang juga ikut mendaftarkan diri di partai Demokrat, ternyata tidak lolos dan tidak mendapat rekomendasi dari Demokrat. Padahal dulu tahun 2004 ybs berangkat dari partai ini. Selain itu kans incumbent untuk memenangkan pilkada pasti lebih tinggi karena sudah memiliki dukungan fasilitas dan instrumen dari jabatannya.

Tetapi kenapa Demokrat memilih tidak meloloskan ? Tentu menjadi sebuah tanda tanya besar. Namun bila mengingat terjadinya kasus kriminalisasi yang dialamatkan pada orang-orang yang kritis seperti Handaya Aji ini, sangatlah wajar bila Sujono tidak direkomendasikan kembali untuk menjadi bupati karena antipati yang berkembang di masyarakat pada Bupati berkuasa sudah cukup mengkhawatirkan, terutama di daerah berdampak (pada proyek-proyek yang bermasalah di era Sujono).

Kasus Pacitan adalah gambaran kecil dari hal-hal yang terjadi di sebuah negara yang luas dan besar, Indonesia. Bila tidak dimulai untuk membereskan hal-hal seperti ini, kapan lagi masyarakat akan menikmati kemerdekaan dan hasil jerih payahnya? Jika kita tidak berani mengoreksi ketidakbenaran yang dilakukan penguasa lokal, lalu siapa lagi yang akan melakukannya? (SON)


Oleh: Muhammad Ari Mukhlason
Penulis adalah Alumni ITB, warga kelahiran asli Pacitan dan memegang KTP Pacitan.
>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar