Pertumbuhan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di eks-Karesidenan Surakarta sangat pesat. Berbagai jenis usaha tumbuh, seperti garmen yang menjadi denyut nadi wilayah ini, kuliner, mebel, cenderamata, dan sebagainya. Bagaimana perjalanan para pelaku UMKM dan sosok-sosok yang mendukungnya?
Cuaca yang bersahabat mengantarkan Joglosemar menuju Dukuh Kalimider Desa Tegalsari Kecamatan Weru, Sukoharjo, Selasa (28/9) pagi. Untuk mencapai daerah tersebut tidak terlalu sulit, akses jalan beraspal sudah mencapai ke jalan-jalan kampung di daerah itu. Hanya saja dibutuhkan kesabaran menjangkau daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Klaten, tepatnya Kecamatan Cawas, yakni sekitar 20 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukoharjo.
Walau tak terlalu terkenal, ternyata penduduk daerah ini beberapa di antaranya menggantungkan hidup dari menenun, seperti Sugiyem (60). “Saya sudah sejak kecil menenun, tahun berapa saya lupa. Kira-kira waktu usia saya 10 tahun lah. Masih ingat saat itu, kaki saya saja belum bisa menjangkau alat ini (Alat Tenun Bukan Mesin/ATBM-red),” katanya saat ditemui di teras rumahnya.
Walau penghasilannya tidak banyak, tapi dia bahagia karena dari menenun dia bisa membantu tiga orang saudara kandungnya serta menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SMA.
Ibu berputra lima ini sebenarnya ingin mengembangkan usahanya tersebut lebih besar namun sayang, kendala klise berupa permodalan menghambatnya. Maka agar dapur keluarganya tetap mengepul, saat musim panen tiba, dia beralih menjadi buruh tani. Otomatis usaha tenunnya pun terbengkalai.
Dia sebenarnya pernah ditawari untuk mengambil kredit dari perbankan namun menolak karena tak mampu membayar cicilan. Giyem tidak sendiri, masih banyak pelaku UMKM di negeri ini yang enggan mengakses perbankan. Permasalahan tidak bisa membayar cicilan yang diberi jatuh tempo menjadi penghalang. Ketakutan tersebut cukup beralasan, sebab beberapa rekan mereka yang “berani” mengambil kredit dan tidak bisa mengelola dana segar itu justru bertumbangan.
Nah, saat Gubernur Jateng Bibit Waluyo mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai kewajiban PNS untuk mengenakan seragam berbahan tenun lurik atau troso per 7 Juli 2010 lalu tak lantas membuatnya, sebagai perajin lurik lega. Memang terbesit rasa senang, pastinya akan semakin banyak permintaan yang berdatangan. Sebagai seorang buruh tenun, dengan momentum itu dia juga ingin mandiri. Tapi sayang, untuk memulai usahanya dengan berdikari tentu saja dia harus menyiapkan modal yang tidak sedikit, mencapai Rp 2 juta. Jumlah yang tidak sedikit baginya.
Untung keinginan tersebut mendapat sambutan baik dari Johan Muhari. Tetangganya yang kebetulan mempunyai modal yang cukup banyak. Bersama delapan temannya, sesama perajin tenun lurik, dia ditawari Johan sejumlah uang untuk modal.
Sistemnya tidak terlalu rumit, Johan menyediakan modal masing-masing perajin sekitar Rp 2 juta. Uang tersebut digunakan untuk pembelian bahan baku berupa benang hingga menjadi selembar kain lurik. “Konsep kemitraan ini baru tiga bulan lalu saya terapkan. Waktu lurik mulai booming lagi, Juli, Agustus, dan September,” ujarnya. (Bersambung)
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar