JAKARTA. Nada-nadanya, pemilu akan mengalami setback. Sistem pemilihan dengan suara terbanyak seperti Pemilu 2009 bakal tergusur. Politisi di Senayan kini merancang sistem penentuan calon terpilih dengan sistem mix member proportion atau campuran dari proporsional terbuka dan tertutup. Artinya kembali ke sistem Pemilu 2004.
Hampir seluruh partai koalisi pemerintahan mendukung gagasan untuk menggunakan sistem campuran itu. Sistem tersebut merupakan kombinasi dari sistem suara terbanyak dengan sistem proporsional tertutup. Dalam sistem terbuka, suara terbanyak adalah yang lolos tanpa melihat nomor urut. Untuk sistem tertutup, lolos tidaknya ditentukan nomor sehingga yang berkuasa adalah parpol yang mengatur nomor urut.
Sementara itu, dalam sistem campuran, calon yang meraih suara batas kursi langsung lolos. Bila tak ada yang mencapai suara senilai kursi, hal itu otomatis ditentukan nomor urut. Dalam praktiknya, seperti Pemilu 2004, hanya satu atau dua orang yang meraih suara dan langsung lolos. Sisanya berdasar nomor urut. Setidaknya empat fraksi menunjukkan respons positif dengan sistem campuran, yakni Partai Golkar, PKS, PAN, dan PPP. Sementara itu, PDIP lewat Arif Wibowo justru ingin secara tertutup. Wakil Ketua Kebijakan Publik DPP PKS Agus Purnomo setuju diberlakukannya kembali sistem proporsional tertutup dengan tetap mengakomodasi sistem suara terbanyak. “Saya setuju mix member proportion,” kata Agus kemarin (27/9).
Menurut Agus, sistem mix member proportion adalah konsep yang lebih bisa diterima publik. Menurut dia, sistem itu tetap mengakomodasi landasan Mahkamah Konstitusi yang mengakui kedaulatan publik sepenuhnya. “Kalau nekat (sistem proporsional tertutup) bisa saja. Tapi, pasti kalah (digugat di MK, Red),” kata pria yang akrab disapa Gus Pur itu.
Anggota Komisi II DPR itu menilai, konsep sistem proporsional tertutup atau partilis perlu diatur demi mengembalikan kewenangan partai. Dalam sistem suara terbanyak saat ini, ada kecenderungan bahwa calon legislatif pemenang tidak terikat dengan partai. Sebagian merasa lolos karena perjuangan diri dengan meraih suara terbanyak. “Seolah-olah mereka maju sendiri, ini kan gawat,” katanya.
Efek yang lebih gawat adalah maraknya praktik politik uang. Agus menilai, politik uang pada Pemilu 2009 jauh lebih masif jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Sistem Pemilu 2009 dengan suara terbanyak memaksa calon legislatif berjuang di daerah pemilihan dengan berbagai cara. “Akibatnya, jabatan bisa menjadi ladang korupsi,” ujarnya mengingatkan.
Sistem gabungan proporsional tertutup dengan suara terbanyak dinilai sebagai solusi ideal sistem pemilu mendatang. Sekretaris Fraksi PPP M. Romahurmuziy menyatakan, fraksinya saat ini tengah mengkaji sistem pemilu di Jerman. Di negara itu, daftar calon dibagi dalam dual list, yakni secara tertutup dan terbuka. “List pertama adalah proporsional seperti pemilu Orba, list kedua adalah untuk menjawab kedekatan dengan figur,” kata Romi, sapaan M. Romahurmuziy.
Dalam sistem itu, kata Romi, partai bisa mengetahui potensi suara di setiap dapil. Jika suara pemilih lebih banyak kepada parpol, penetapan calon dilakukan secara proporsional tertutup. “Sebaliknya, jika suara calon dominan sebagai dampak tingginya popularitas tokoh lokal, sistem suara terbanyak yang berlaku,” jelasnya.
Romi menyatakan, sistem proporsional tertutup perlu agar mata rantai pemilih dengan yang dipilih tidak terputus. Parpol harus menjadi kanalisasi dari ideologi. Konsep itu selama ini tertutup akibat maraknya praktik politik uang dalam pemilu. “Parpol bukan kumpulan kapital dan modal,” tegasnya.
Sekretaris Fraksi PAN di DPR Teguh Juwarno mengatakan, sistem mix member proportion memang menarik untuk dikaji. Menurut dia, sistem suara terbanyak masih tetap yang terbaik. “Namun, kami tidak menutup mata. Kami juga ingin kader-kader partai yang menjadi aktivis partai mendapatkan artikulasi maupun kesempatan berikprah,” kata Teguh. (bay/pri/c6/tof/jpnn)
Sumber: Harian Sumut Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar