jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 24 Agustus 2010

65 Tahun kita (seolah-olah) merdeka

Akhir-akhir ini saya merasa agak miris menyaksikan perjalanan bangsa ini, yang besok akan memeringati hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-65. Betapa tidak. Berbagai persoalan kebangsaan yang sifatnya mendasar masih muncul silih berganti.

Pertama, dalam hal ketahanan pangan. Indonesia termasuk kelompok negara yang cukup rentan. Hal itu ditandai dengan ketergantungan terhadap impor pangan yang cukup tinggi, dengan nilai impor sedikitnya US$5 miliar per tahun.

Dalam setahun, kita mengimpor sekitar 70% dari total kebutuhan akan susu, 45% pasokan kedelai, 30% permintaan gula, 15% kebutuhan kacang tanah, 10% kekurangan jagung. Garam pun kita impor dalam volume yang tidak kecil, sekitar 1 juta ton, kendati negeri ini termasuk pemiliki garis pantai terpanjang di dunia.Untuk komoditas pangan utama, beras, setidaknya dalam dua tahun terakhir ini kita memang tidak mengimpor. Namun, beberapa tahun silam, kita pernah menorehkan prestasi sebagai importir beras terbesar dunia.

Kedua, dalam hal sandang, kita mengalami persoalan yang sangat kompleks. Industri sandang nasional yang pada dekade 1990-an menjadi salah satu pemain penting dunia, kini dalam keadaan tersudut. Industri tekstil Indonesia dibuat kedodoran menghadapi serbuan produk sandang dari China, yang menyerbu bagaikan virus, dari pasar tradisional hingga pertokoan mewah, baik di Jakarta maupun perdesaan terpencil.

Minimnya infrastruktur dan tingginya pungutan—resmi maupun liar—menjadi alasan mengapa industri sandang di dalam negeri tidak mampu melakukan regenerasi diri secara sehat. Bahkan, dua-tiga tahun silam, industri ini dicap sebagai sunset industry (industri hampir mati), sehingga perbankan enggan mengucurkan pendanaan. Akibatnya, ratusan perusahaan tekstil dan produk tekstil makin tak kuasa bersaing dengan kompetitor dunia.

Ketiga, pemenuhan bidang papan atau tempat tinggal yang makin terseok-seok. Berdasarkan proyeksi, kebutuhan akan tempat tinggal yang layak pada 2010 mencapai 11 juta unit.

Keempat, ketahanan nasional di bidang energi yang cenderung rapuh, kendati Indonesia merupakan salah satu lumbung energi. Untuk energi berbasis fosil, kita memiliki cadangan (terbukti) minyak bumi sedikitnya 3,75 miliar barel, batu bara 4,3 miliar ton, dan gas alam sedikitnya 3,18 triliun meter kubik.

Kita beruntung karena negeri ini berada di jalur vulkanik, sudah barang tentu di bawah permukaan bumi Indonesia tersimpan energi panas bumi yang diperkirakan mencapai 33 gigawatt (GW). Tidak hanya itu, Indonesia yang berada di jalur khatulistiwa dikaruniai tebaran sinar matahari sepanjang tahun dalam jumlah melimpah ruah. Dengan rata-rata intensitas sinar matahari yang menerpa daratan Indonesia sekitar 4,5 kWh per m2 tiap hari, potensi energi surya yang dimiliki negeri ini tidak kurang dari 8,5 GW per hari, sedangkan angin 9,29 GW.

Sayang seribu kali sayang, kemampuan bangsa kita untuk mengoptimalkan semua jenis energi tersebut masih teramat minim. Betapa tidak kreatifnya kita dalam upaya mendiversifikasi energi, sementara bangsa lain demikian gencarnya.

Kelima, bidang kesehatan. Terlalu banyak cerita sedih di kalangan rakyat kecil atas keterbatasan akses mereka terhadap fasilitas kesehatan yang layak. Akibatnya, masyarakat kembali memercayai lembaga pengobatan alternatif yang sebagian besar di antaranya merupakan bentuk pengelabuan bagi masyarakat kurang terdidik. Akibat mahalnya biaya kesehatan itu, sampai muncul pemeo bahwa orang miskin dilarang sakit.

Keenam, meredupnya bidang pendidikan nasional. Sudah bukan rahasia lagi bahwa pendidikan di negeri ini cenderung semakin mahal. Masyarakat kelas menengah ke bawah tidak henti-hentinya merintih merasakan betapa beratnya mengirim putra-putri mereka ke lembaga pendidikan, termasuk ke sekolah berstatus negeri sekalipun.

Mau masuk perguruan tinggi? Jangan ditanya lagi, terlebih bila yang diincar adalah kursi perguruan tinggi negeri unggulan (UI, ITB, IPB, UGM, Unair, USU, dan sebagainya). Bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan, lupakan untuk dapat menyekolahkan putra-putri di PTN favorit itu.

Gagal

Persoalan berikutnya yang sudah jelas menghadang adalah kegagalan bangsa ini untuk membentuk kelas menengah yang relatif kuat, karena sedikitnya jumlah masyarakat umum yang mampu mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini tentu saja ironis dengan kenyataan bahwa anggarana pendidikan justru makin besar, tahun ini saja mencapai sedikitnya Rp200 triliun.

Ketujuh, meningkatnya kekerasan dan keresahan sosial. Masyarakat di berbagai kawasan, seperti sering diberitakan media massa, mudah bertindak anarkis gara-gara persoalan sepele, misalnya ketidakpuasan atas terpilihnya calon bupati yang tidak mereka sukai.

Aksi premanisme pun merebak di berbagai tempat, baik yang memperoleh dukungan oknum pemerintah, kepolisian, maupun kekuatan lain, termasuk onderbouw partai politik yang merasa berkuasa. Kondisi ini menciptakan teror bagi masyarakat, termasuk dunia usaha skala kecil maupun besar.

Kedelapan, makin absurdnya masalah penegakan hukum di negeri ini. Ketiga elemen penegakan hukum—kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman—malah menjadi instansi yang paling dihindari masyarakat ketika mereka terpaksa berurusan dengan hukum. Sudah menjadi pemeo yang akrab di telinga masyarakat bahwa kalau Anda kehilangan seekor kambing, ikhlaskanlah, karena kalau berniat mengurusnya ke pihak penegak hukum, ongkos untuk membiayai perkara kehilangan kambing itu bakal membengkak bahkan senilai seekor sapi.

Kesembilan, etika politik yang semakin merosot di kalangan praktisi politik. Mereka dicomot secara asal-asalan, terkadang bahkan tidak memiliki cukup pendidikan dan atau karena faktor keberuntungan memilih partai, maka tampilah wakil rakyat yang sebenarnya tidak mampu mewakili siapapun, termasuk mewakili dirinya sendiri.

Politisi karbitan ini nyaris tidak memiliki komitmen terhadap konstituen yang dimilikinya, karena hanya patuh kepada partai ataupun golongannya. Lebih nista lagi, sebagian di antara mereka lebih patuh pada uang.

Kesepuluh, penanganan masalah korupsi yang tidak kunjung berkurang, malah sebaliknya kian bertambah. Faktor korupsi inilah yang sesungguhnya merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang menghantui bangsa ini. Komitmen pemerintah pusat hingga daerah untuk memerangi korupsi hanyalah lips service, cuma di bibir. Begitu proses penegakan hukum mengarah kepada lingkaran kekuasaan, seketika itu pula mengalami kebuntuan. Kita menyaksikan beberapa kasus yang seharusnya diproses sampai tuntas malah membeku karena dipetieskan.

Walhasil, secara de jure bangsa ini sudah merdeka, terlepas dari penjajahan asing yang semula menguasai secara mutlak arah maupun kehendak hidup rakyat. Namun, de facto, perikehidupan bangsa ini makin jauh terperosok ke dalam cengkeraman asing. Penjajah virtual kita bukan hanya satu atau dua bangsa, melainkan semakin banyak.

Kemerdekaan itu ternyata belum dapat sepenuhnya kita nikmati, karena masih berupa kondisi yang seolah-olah, belum sebenar-benar merdeka…


Oleh: Ahmad Djauhar, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia
Sumber: Solopos Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar