jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 03 Mei 2010

TK: Baasyir Tidak Terkesan Angker

INILAH.COM, Jakarta. Pertemuan Pimpinan MPR dengan Abubakar Baasyir memang tak lepas dari kritik. Namun pertemuan itu telah mencairkan kebekuan selama ini. Baasyir juga tidak seangker seperti yang dikesankan.

Menurut Ketua MPR Taufiq Kiemas (TK), pertemuannya dengan Pimpinan Pondok Pesantren di Ngruki, Solo, Jawa Tengah itu bertujuan untuk membangun komunikasi. Kegiatan yang sama juga pernah dilakukan pimpinan MPR dengan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ataupun Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Kami sudah menemui kelompok-kelompok yang paling ekstrim. Ekstrim kiri dan ekstrim kanan, semuanya kami temui. Kalau kita mau bangsa ini menjadi bangsa yang pluralis, yah semua kalangan harus kita dengar, rangkul dan persatukan,”
ujar Taufiq Kiemas, kepada wartawan INILAH.COM, Derek Manangka pekan lalu.

Berikut lanjutan wawancara lengkapnya.
Apakah Baasyir menerima ajakan pimpinan MPR?

Pertemuan kali ini saya kira baru mencairkan kebekuan. Saya kira yang harus dibangun terlebih dahulu adalah komunikasi. Jangan lupa, Baasyir pernah berselisih dengan pemerintahan Soeharto karena soal azas tunggal Pancasila.


Dia sempat mengasingkan diri ke Malaysia kemudian Australia karena tidak setuju dengan pemerintahan Pak Harto. Dia baru kembali setelah Pak Harto sudah lengser.Kami tidak ingin, terputus komnunikasi dan tidak ada dialog.

Mengapa bukan Baasyir yang diundang ke MPR?

Dalam rangka sosialisasi yang dikunjungi pimpinan MPR bukan hanya Baasyir. Sehari sebelumnya kami ke Taman Siswa di Yogyakarta. Kami menghadiri dua acara di Yogyakarta.


Sehingga kunjungan ke Baasyir bukan acara tunggal pimpinan MPR. Bahwa di Solo, hanya berkunjung ke Baasyir, karena kami hanya naik mobil dari Yogya ke Solo. Jarak Yogya-Solo kan dekat sekali. Hanya yang tidak tahu agenda MPR saja yang keliru menafsirkan kunjungan kami ke Solo.

Berhasilkah sosialisasi itu?

Yang kami lakukan, baru membuka dialog. Kami jelaskan apa maksud kami dan kami ingin dengar apa yang ada dalam pikirannya. Misalnya apa sikapnya tentang NKRI. Jadi kunjungan seperti ini bisa diulangi lagi. Karena yang melakukan sosialisasi Gerakan Empat Pilar harus mengerti apa maksud dokumen konstitusi itu. Gerakan itu dilakukan secara berkelanjutan oleh semua pihak.

Kami dengar Baasyir lebih dominan berbicara ketimbang pimpinan MPR?

Kami kan tamu. Kalau tuan rumah masih mau berbicara, yah kami harus menjadi pendengar yang baik.

Momentum kunjungan mungkin tidak sesuai sehingga muncul kritikan?

Semenjak saya menjadi Ketua MPR Oktober 2009, bukan hanya figur seperti Baasyir yang ditemui pimpinan MPR. Kami sudah menemui kelompok-kelompok yang paling ekstrim. Ekstrim kiri dan ekstrim kanan, semuanya kami temui.


Dari kelompok agama, juga begitu. Cuma eksposenya oleh media mungkin kurang. Kalau kita mau bangsa ini menjadi bangsa yang pluralis, yah semua kalangan harus kita dengar, rangkul dan persatukan.


Dari tokoh Gerakan Aceh Merdeka kami dapat penjelasan, mereka tidak punya cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Dari pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM), kami diyakinkan OPM tidak ingin memisahkan diri dari NKRI. Jadi yang terjadi selama ini adalah mispersepsi dan stigma karena tidak pernah ada dialog.


Menurut Anda apalagi penyebab dari terjadinya mispersepsi itu?

Mungkin karena sikap kita yang selalu menganggap bahwa seorang yang bersalah harus selalu dihukum di dalam dan luar penjara. Contohnya ada seseorang yang sudah menjalani hukuman akibat perbuatannya. Ketika keluar dari penjara dan terjun kembali ke masyarakat, dia masih tetap dikucilkan. Hukuman yang dijalaninya di penjara, seakan tidak cukup. Sekali bersalah, dia akan terus dianggap bersalah seumur hidupnya.

Kesan tentang Baasyir setelah bertemu?

Tidak seangker seperti yang dikesankan. Dia menjemput kami di luar rumah. Tidak menunggu di dalam. Dia tidak dijaga secara ketat oleh anak buahnya. Pondok Pesantrennya bukanlah sebuah lokasi yang terisolir atau tidak boleh dimasuki oleh orang luar.


Apa yang anda anggap paling mendasar yang dikemukakan Baasyir dalam pertemuan tersebut?

Keterbukaan dan keyakinan atas apa yang menjadi pemikirannya. Dia misalnya mengatakan tidak setuju dengan kegiatan teroris yang berjuang dengan memilih jalan kekerasan.


Dia katakan perlawanan terhadap Barat baru akan kita lawan dengan senjata apabila mereka menyerang Indonesia dengan senjata. Kita akan lawan Barat dengan senjata, bom kalau mereka menyerang Indonesia seperti yang mereka lakukan di Afghanistan. Tapi selama masih dalam bentuk kata-kata, yah kita lawan dengan dakwah saja.


Jadi anda percaya atau setuju dengan Baasyir?


Wah kalau soal percaya, itu soal lain lagi. Kami kan belum tahu juga apa dia memang sudah berbicara jujur. Yang saya katakan, bahwa ia terbuka. [mdr/habis]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar