jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 16 Maret 2010

Lebih Jahat Teroris atau Koruptor?

Perburuan teroris di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) oleh Densus 88 boleh dibilang membawa hasil memuaskan. Sebab, pada tanggal 13 Maret lalu, telah 10 anggota teroris tertangkap, bahkan dua di antaranya tewas. Selain itu, polisi juga menyita enam senjata api laras panjang beserta amunisi, yaitu tiga pucuk senjata jenis M16, dua pucuk AK47, dan sebuah pistol jenis Glock milik anggota Satuan Khusus Densus 88/Anti Teror Mabes Polri Brigadir Anumerta Boas Woasiri. Polisi juga menyita uang Rp 15 juta yang diduga untuk mendanai gerakan teroris.

Perburuan teroris tersebut sungguh menyita perhatian publik. Tidak hanya media massa lokal maupun nasional yang getol memberikan pemberitaan, masyarakat luas juga banyak membicarakan. Kalangan akademisi, pengamat, sampai tokoh agama, semua fokus membahas teroris. Tak ketinggalan khotbah Jumat di masjid-masjid juga mengangkat tema teroris. Seolah, teroris adalah kejahatan terbesar yang harus dibinasakan. Di sinilah timbul pertanyaan besar, benarkah tingkat kejahatan teroris sangat membahayakan kehidupan bangsa?

Berlebihan

Jika kita mau cermat, sesungguhnya ada beberapa hal yang terlihat janggal, terutama mengenai pemberitaan teroris yang demikian hebohnya. Isu teroris diangkat ke publik menjadi wacana yang terus menggelinding dan terus menabrak semua isu kebangsaan. Semua kalangan dari berbagai latar belakang, mau tak mau diharuskan fokus menyikapi isu ini. Seolah hendak dikatakan bahwa teroris adalah musuh utama negara yang sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa ke depan.

Benarkah hal ini demikian? Menurut hemat penulis, penilaian yang demikian adalah berlebihan. Mari kita tengok aksi-aksi teroris di berbagai tempat di Tanah Air. Aksi bom Bali I menelan korban tewas 202 orang, bom Bali II menewaskan 23 orang, bom di sebuah hotel di Kuningan I menewaskan sembilan orang, dan bom Kuningan II juga menewaskan sembilan orang. Tentunya dari masing-masing peristiwa juga mengakibatkan sejumlah orang terluka, baik luka ringan maupun berat.

Melihat dampak yang ditimbulkan oleh teroris, sesungguhnya bisa kita raba bahwa semua itu hanyalah hal yang tidak terlalu akut bagi kehidupan bangsa dan negara. Bandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan korupsi. Berapa ribu generasi bangsa yang tak bisa menikmati pendidikan gara-gara subsidi mereka dicuri? Berapa ribu jiwa yang tinggal di bawah garis kemiskinan gara-gara dana kesejahteraan mereka dinikmati oleh segelintir orang? Inilah sesungguhnya hal yang sangat membahayakan bagi kehidupan bangsa ke depan. Kita akan kehilangan para generasi bangsa yang berkompeten mengurus negara karena pendidikan mereka tidak terjamin.

Kita juga tidak akan mampu mengolah sumber daya alam, karena generasi bangsa ini miskin pengetahuan. Bisa dibayangkan jika ke depan generasi bangsa tak bisa mengolah kekayaan alam di negerinya. Ketergantungan pada negara asing akan terus berlanjut dan kemiskinan akan terus tercipta. Kursi-kursi pemerintahan akan dikuasai oleh orang-orang yang kosong keilmuan. Kebijakan yang akan mereka keluarkan tak tentu arah dan akan sarat dengan kerancuan. Disintegrasi, teror, chaos, dan konflik akan jauh lebih besar dari pada sekadar kejahatan teroris.

Jika selama ini pemerintah khawatir karena kaderisasi teroris terus berjalan, sesungguhnya hal itu bisa diatasi dengan pendidikan. Jika para generasi bangsa diberikan pendidikan yang muatannya inheren dengan visi misi bangsa, tentu mereka tak akan menjadi teroris. Nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, multikultural dan kesatuan, jika terus ditanamkan dengan dibarengi nilai-nilai agama, tentu generasi bangsa akan menjadi generasi yang tertib. Sayangnya, pendidikan kita selama ini hanya menjadi milik kaum berduit. Lebih disayangkan lagi, dana yang semestinya diberikan untuk pendidikan, dikorupsi oleh para maling. Wajar jika teroris mudah mengader generasi baru, karena mereka minim pendidikan.

Prasangka

Sampai di sini kita juga perlu mempertanyakan, dari mana anggapan terhadap bahaya kejahatan teroris muncul? Mengapa kita menganggap bahwa teroris merupakan kejahatan terbesar? Padahal jika dilihat dari efek jangka panjang, korupsi jauh lebih berbahaya. Jangan-jangan anggapan kita selama ini hanya didasarkan atas prasangka. Kita telah tergiring oleh isu yang terus bergulir sehingga tanpa sadar kita telah mengikutinya. Hal ini sepadan dengan pandangan miring Barat terhadap Islam. Mereka hanya mendasarkan pada prasangka yang berlebihan, bukan didasarkan fakta di lapangan.

John L Esposito (1992) dalam The Islamic Threat : Myth or Reality?, mengatakan bahwa penilaian Barat atas Islam lebih didasarkan atas prasangka. Mereka sering kali mendasarkan pada fakta sejarah seperti perang salib, sehingga menilai Islam sebagai ancaman. Mereka (Barat) mempersepsikan Islam dengan slogan-slogan seperti Islam Militan, Fundamentalisme Islam, dan teroris. Barat tidak mencoba meneliti lebih jauh bahwa banyak keragaman dalam masyarakat muslim. Dampak dari penilaian ini justru melahirkan perlawanan dari pihak Islam. Mereka akhirnya memberi label Barat sebagai musuh. Imperialisme, intoleransi, dan kejahatan HAM yang dilakukan Barat atas Islam, akan selalu memunculkan konflik.

Karena itu, Esposito mengatakan bahwa analisis berprasangka akan semakin memperbodoh kita bukannya menambah pengetahuan, mempersempit perspektif bukannya memperluas pemahaman, dan memperparah problem bukannya membuka jalan bagi solusi-solusi baru. Jika analisis Esposito ini benar, maka usaha pemerintah selama ini untuk memberantas teroris akan sia-sia. Para teroris akan terus melawan karena pemerintah terlalu membesar-besarkan keberadaan mereka. Pemerintah telah mempersepsikan teroris sebagai musuh terbesar bangsa. Jika saja pemerintah tidak memperbesar isu dan memberikan double penanganan yaitu militer dan dialog, kemungkinan teroris akan mudah teratasi.

Kita perlu memahami bahwa para teroris tersebut juga manusia. Jika mereka ditekan, tentu akan menekan pula. Jika ditangani dengan dialog, kemungkinan akan bisa lunak. Meski demikian, penanganan secara militer tetap mutlak dilakukan. Begitu juga penanganan terhadap korupsi, harus dilakukan seintensif mungkin sebagaimana menangani teroris. Ingat, korupsi adalah kejahatan terbesar yang efeknya panjang.


Penulis: Fatkhul Anas, Peneliti pada The Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar