Di kalangan umat Islam, ada yang ketika berinfak tidak mau disebutkan namanya, tetapi dia meminta disebutkan nama 'hamba Allah' sebagai pengganti namanya yang sebenarnya. Atau, kadang-kadang orang atau lembaga yang diberi infak itu mengusulkan memakai nama 'hamba Allah' saja. Siapakah 'hamba Allah' yang sebenarnya?
Ayat berikut ini memberikan gambaran yang jelas mengenai ciri-ciri hamba Allah. "Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah-Ku (mengabdi kepada-Ku)" (QS Aldzariyat [51]: 56). Berdasarkan ayat tersebut, berarti hanya orang yang benar-benar mengabdi kepada Allah-lah yang berkedudukan sebagai hamba-Nya.
Dijelaskan oleh Abu Nashr al-Sarraj dalam kitabnya al-Luma', "Orang yang hatinya benar-benar bebas dari segala sesuatu selain Allah SWT; jika seseorang mampu melepaskan diri dari segala hal selain Allah, ia akan menjadi orang yang layak dipanggil sebagai hamba Allah ('abd Allah )."
Dengan demikian, hamba Allah adalah orang yang telah bebas dari segala hal selain Allah (at-takhallush 'an siwa Allah), baik berkaitan dengan bisikan hatinya, perkataan lisannya, maupun perbuatan anggota badannya.
Artinya, hanya Allah-lah tujuan hidupnya dan keridhaan-Nya merupakan satu-satunya motivasi amaliahnya. Ungkapan yang terkenal di dunia tasawuf adalah anta maqshudi wa ridhaka mathlubi (Engkaulah tujuan kami dan hanya keridhaan Engkaulah yang kami cari).
Atas dasar itu, al-Sarraj mengatakan bahwa Allah tidak pernah menyebut orang beriman dengan sebutan yang lebih tinggi selain dari sebutan hamba (QS Alfurqan [25]: 63 dan QS Alhijr [15]: 49). Predikat tersebut juga disematkan oleh Allah kepada para malaikat-Nya (QS Al-Anbiya [21]: 26) dan kepada para nabi dan rasul-Nya (QS Shad [38]: 30, 41, dan 45).
Ayat di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud hamba-hamba yang beriman adalah para malaikat, nabi, dan rasul atau orang yang keimanannya mendekati keimanan mereka. Berinfak dapat mendekatkan diri seperti keimanan mereka manakala amalan itu diniatkan dengan ikhlas dan membebaskan hati dari segala hal selain Allah. Atas dasar ini, meski dalam pengertian yang paling minimalis, pemberi infak boleh dipandang sebagai hamba Allah atau orang yang berusaha menjadi hamba Allah.
Oleh: Dr. Dimyati Sajari, MAg
Sumber: Republika Newsroom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar