Rokok dan tembakau, mungkin menjadi salah satu objek kebijakan yang paling sering memicu kontroversi. Betapa tidak, hampir setiap kebijakan pemerintah atau pengaturan apa pun yang menyangkut soal rokok atau tembakau, pasti menimbulkan polemik di masyarakat.
Terakhir diberitakan, ribuan petani tembakau Jawa Tengah beberapa hari lalu berunjuk rasa di Jakarta untuk menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Meski saat ini baru mulai dibahas, RPP itu terbukti langsung mendapat perlawanan dari pihak-pihak yang merasa akan dirugikan.
Sebelumnya, rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencabut Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) dari mereka yang merokok, tak urung juga memancing kontroversi. Berdasar rencana tersebut, keluarga miskin yang salah satu anggota keluarganya merokok terancam tidak mendapatkan JPK Gakin. Menurut Gubernur DKI Jakarta, kebijakan tersebut terpaksa dilakukan karena tingginya jumlah pengeluaran keluarga miskin untuk membeli rokok.
Persoalan Rokok
Rencana kebijakan Pemprov DKI tersebut cukup menarik sekaligus tergolong “berani”. Menarik karena menjadi terobosan baru dalam mengurangi kebiasaan dan dampak merokok, setelah kebijakan-kebijakan lain sebelumnya dipandang belum memberikan hasil memuaskan.
Di sisi lain, rencana kebijakan Pemprov DKI ini diperkirakan juga akan menuai kontroversi, sebagaimana kebijakan-kebijakan menyangkut rokok lainnya. Kita tentu masih ingat kontroversi terkait fatwa haram rokok bagi anak-anak, ibu hamil, dan di tempat umum yang dikeluarkan MUI.
Demikian pula kontroversi hilangnya “ayat tembakau” dalam pasal 113 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan beberapa waktu lalu. Kenyataan-kenyataan tersebut membuktikan ada kekuatan besar di balik penolakan kebijakan pembatasan rokok.
Terlepas dari kemungkinan polemik yang menyertainya, kebijakan pencabutan jaminan pemeliharaan kesehatan itu, menjadi harapan baru untuk mengurangi kebiasaan dan dampak merokok di masyarakat, khususnya kalangan masyarakat miskin.
Selama ini, dampak negatif merokok sudah banyak diketahui umum. Asap rokok konon mengandung sekitar 4.000 bahan kimia yang 200 di antaranya beracun dan 43 jenis lainnya dapat menyebabkan kanker bagi tubuh. Asap rokok bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan polusi udara. Berbagai penelitian ilmiah membuktikan, merokok tidak hanya merugikan kesehatan perokok aktif tetapi juga orang yang berada di sekitar perokok (perokok pasif).
Menurut sebuah penelitian dari WHO (2007), diperkirakan 200.000 sampai 400.000 orang Indonesia meninggal akibat merokok setiap tahun. Penderita berbagai penyakit akibat merokok jumlahnya hingga jutaan orang. Data Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menyebutkan, Indonesia menghabiskan Rp 180 triliun untuk membiayai kesehatan akibat penyakit terkait tembakau.
Angka tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit. Ditambah lagi penyakit akibat merokok terbukti dapat menurunkan produktivitas seseorang karena berkurangnya fungsi paru dan peredaran darah.
Situasi Dilematis
Pemerintah sering kali dihadapkan pada situasi yang dilematis. Di satu pihak merokok membawa dampak negatif bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Tetapi di lain pihak, keberadaan industri rokok menjadi sandaran hidup banyak orang.
Dari sudut makro ekonomi maupun mikro ekonomi, industri rokok memberikan pengaruh besar bagi negara. Misalnya pendapatan negara dari cukai saja tahun ini ditargetkan mencapai Rp 57,3 triliun.
Artinya, kebijakan untuk mengurangi perilaku merokok adalah pilihan sulit bagi pemerintah. Rokok secara riil tidak hanya berhubungan dengan masalah kesehatan dan agama, tapi juga berkaitan erat dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik.
Sehingga tidak aneh apabila pemerintah kelihatannya sering ragu dalam menyikapi setiap isu terkait rokok. Keraguan ini antara lain tampak dari belum diratifikasinya konvensi tentang tembakau oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan pemerintah untuk membatasi industri rokok terkesan maju mundur. Lihat saja misalnya, PP Nomor 81 Tahun 1999 yang antara lain mengamanatkan pembatasan kadar tar/nikotin, serta melarang iklan rokok di media massa elektronik, sekarang ini tak jelas perkembangannya.
Kegamangan tampak pula dari keinginan pemerintah yang justru ingin meningkatkan produksi rokok setiap tahun. Dalam roadmap industri rokok tahun 2007-2020, pemerintah menargetkan peningkatan produksi rokok dari 220 miliar batang pada tahun 2007, menjadi 240 miliar batang pada tahun 2010-2015, dan terus meningkat menjadi 260 miliar batang pada 2015-2020. Bagaimana konsumsi rokok akan berkurang jika semangatnya justru menambah produksi?
Di Jawa Tengah misalnya, resistensi atas kebijakan yang bertujuan membatasi kebiasaan merokok jauh lebih besar. Industri rokok memang telah “menghidupi” banyak orang. Di Kudus, ratusan ribu warga menggantungkan perekonomian dari bisnis rokok. Demikian pula di wilayah Surakarta, tak kurang 47 pabrik rokok telah menampung banyak tenaga kerja. Sementara ribuan keluarga di Jawa Tengah, terutama Temanggung dan sekitarnya, menggantungkan penghasilan keluarganya dari bertanam tembakau.
Dengan kata lain, semakin banyak pihak yang merasa akan dirugikan oleh suatu kebijakan, maka resistensi terhadap kebijakan itu akan semakin besar.
Apapun kebijakan itu, pemerintah semestinya konsisten dan menangani secara menyeluruh persoalan rokok bila memang serius dalam mencegah berkembangnya kebiasaan dan dampak negatif akibat merokok. Perlu ada upaya terus menerus untuk melaksanakan sosialisasi tentang bahaya rokok, kontrol ketat terhadap pemasaran dan iklan rokok, serta pembatasan tegas terhadap perilaku merokok di kawasan publik.
Di saat bersamaan, perlu ada pembinaan terhadap petani tembakau agar mereka siap mengalihkan jenis tanamannya ke tanaman yang mendatangkan keuntungan ekonomis lain. Demikian pula, perlu diberikan solusi bagi karyawan pabrik rokok jika perusahaannya tutup.
Oleh: Dwi Astuti Dian Andarwati, Dokter di Boyolali, alumnus Fakultas Kedokteran Undip Semarang
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar