Letakkan telapak tangan kita di atas dahi. Berusaha merenung dan konsentrasi berpikir. Bertanya pada diri sendiri: "Apa mimpi yang ingin kita raih dalam hidup ini? Apa obsesi yang begitu menyibukkan kita dalam hidup ini? Apa yang kita pikirkan siang dan malam? Apakah yang kita pikirkan itu sifatnya duniawi? Atau ukhrawi? Apakah obsesi dan mimpi kita itu sifatnya umum, atau spesifik?"
Saudaraku,
Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu dan simpanlah baik-baik dalam ingatan. Panggillah anak dan tanyakanlah, "Apa kondisi yang ia inginkan di masa mendatang?" Bandingkan antara apa yang menjadi keinginan mereka dan keinginan kita di masa depan. Hampir pasti anak-anak akan menjawab keinginan itu secara ideal, tinggi, bahkan mungkin ada yang tidak mungkin diwujudkan. Sedangkan obsesi dan keinginan kita umumnya lebih rendah, tidak terlalu tinggi, dan pandangan yang terbatas. Bahkan, boleh jadi ada sebagian kita merasa berat sekedar berobsesi atau bermimpi dan menginginkan sesuatu yang tinggi serta ideal.
Saudaraku,
Kita, hidup di zaman yang penuh kelemahan. Wajar bila obsesi serta mimpi kita dan masyarakat kita pun menjadi rendah, kurang berbobot, tujuannya pendek. Kita semua sama dalam hal ini. Sebabnya banyak, tapi setidaknya ada sebab penting yang harus kita sadari. Yakni, minim atau tidak adanya "contoh ideal" yang hidup diantara kita. Termasuk contoh dari para orang tua kita, atau kita para bapak dan ibu bagi anak-anak, para pendidik, para guru, para pejabat, para tokoh dan sebagainya. Minim atau tidak adanya figur atau contoh itu, mau tidak mau turut menciptakan lemahnya motivasi kita, untuk memiliki cita-cita atau keinginan yang tinggi. Seperti yang kita alami sekarang ini.
Mari kita perhatikan bagaimana kondisi orang-orang yang memiliki mimpi-mimpi besar. Barangkali kondisi mereka bisa mendorong dan menumbangkan penghalang mimpi yang kini sedang mengepung kita. Barangkali keadaan mereka bisa mengeluarkan kita dari mimpi kecil menjadi mimpi besar. Barangkali peran-peran mereka bisa menjadikan kita memiliki peran-peran yang lebih luas dari sekarang.
Saudaraku,
Adalah Hindun binti Utbah Ummu Mu'awiyah bin Abi Sufyan, seorang wanita yang termasuk memiliki mimpi besar itu. Suatu ketika, saat ia berada di Mina bersama puteranya Mu'awiyah yang baru saja tersandung batu dan terjatuh di atas tanah. Hindun berkata pada anaknya, Mu'awiyah, "Bangunlah, bila engkau biasa bangkit maka engkau akan ditinggikan derajatnya oleh Allah." Seorang yang mendengarkan perkataan ini bertanya, "Mengapa engkau mengatakan seperti itu? Saya yakin bahwa dia (Mu'awiyah) akan memimpin kaumnya." Hindun balik bertanya, "Kaumnya? Allah tidak meninggikan kedudukannya kecuali bila ia memimpin bangsa Arab semuanya."
Ini episode kecil tentang bagaimana mimpi besar seorang ibu. Ia ingin anaknya menjadi pemimpin bangsa Arab semuanya. Dan mimpi itulah yang hadir di pelupuk matanya, dan mimpi itulah yang menjadi panduannya sehari-hari dalam mendidik anaknya. Ia terus menanamkan mimpi itu pada anaknya, dan meyakinkannya. Ia kondisikan keadaannya untuk mencapai mimpi itu. Ia beri asupan apa yang bisa membekalinya mewujudkan mimpinya. Hingga akhirnya, Mu'awiyah memang menjadi khalifah pertama dari khulafa daulah umawiyah. Mu'awiyah memimpin bangsa Arab sekaligus umat Islam selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 661 H – 680 H.
Saudaraku,
Ada kisah lain di zaman kita, tentang ibu dari DR. Ahmad Zewail, yang juga memiliki mimpi besar. Sejak Ahmed masih kecil, sang ibu sudah menuliskan di pintu kamar Ahmad sebuah kalimat "Kamar DR. Ahmed Zewail." Apa yang dituliskannya itu, tak lain merupakan saluran keinginan atau mimpi yang ada dalam diri sang ibu. Dan tampaknya, pesan itu telah sampai dalam diri anaknya. Ahmed Zewail meraih penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 1999, dan menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Zewail sendiri mengakui pengaruh motivasi dan mimpi ibunya itu pada dirinya. Tentu bukan hal mudah bagi seorang ibu untuk bisa mewujudkan mimpi besar itu pada Zewail. Karena hari-hari merawat, mendidik dan membesarkan Zewail-lah yang juga menjadi kunci keberhasilan Zewail.
Saudaraku,
Lagi, tentang bagaimana seorang ibu dari Syaikh Abdurrahman As-Sudais yang kini menjadi imam masjidil Haram. Bagaimana sang ibu menanamkan dan mengarahkan mimpi besarnya itu kepada anaknya. Bagaimana sang ibu dalam hari demi hari bersama As-Sudais kecil itu mengingatkannya untuk bisa mencapai mimpinya? Ibunya sering mengingatkan, "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram..." "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram..." Wahai Abdurrahman, jangan malas menghafal kembali hafalan harianmu, bagaimana kamu bisa menjadi Imam Masjidil Haram bila kamu malas? Akhirnya, Syaikh Abdurrahman As-Sudais kini menjadi imam Masjidil Haram. Dan menjadi salah satu ulama besar yang disegani di dunia Islam.
Saudaraku,
Satu kisah lain yang boleh jadi kita sudah pernah mendengarnya. Seorang sahabat, Rabi'ah bin Kaab Al-Aslami radhiallahu anhu. Dialah yang mengatakan kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah SAW, aku ingin menjadi pendampingmu di surga." Rasulullah SAW mengatakan, "Adakah selain itu ya Rabi'ah?" Rabi'ah menjawab, "Hanya itu ya rasulullah." Lalu Rasulullah SAW mengatakan, "Jika begitu, bantulah aku untuk mencapai keingnanmu itu dengan memperbanyak sujud." (HR. Muslim)
Diriwayatkan, Rabi'ah atas bimbingan orangtuanya, sejak kecil memang sudah kerap kali terlihat dalam kondisi shalat dan sujud. Dan sepanjang usianya, Rabi'ah diriwayatkan tak pernah tertinggal shalat berjamaah. Mengapa Rabi'ah mampu melakukan semua itu? Karena ia ingin meraih mimpinya yang besar tadi. Mimpi ingin menjadi pendamping Rasulullah SAW di surga...
Saudaraku, bandingkanlah antara keinginan kita yang tercetus di awal tulisan ini, dengan keinginan mereka yang bermimpi besar itu? Bandingkanlah obsesi yang ada dalam pikiran kita dengan obsesi mereka. Sesungguhnya, mimpi dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang besar.
[M. Lili Nur Aulia, sumber: Majalah Tarbawi edisi 220]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar