jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Senin, 18 Mei 2009
Ketika Artis Menjadi Anggota Parlemen
Lolos ke Senayan tapi bingung. Itulah reaksi Rieke Dyah Pitaloka, calon anggota legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan, ketika terpilih dari daerah pemilihan Jawa Barat II. "Saya pusing ketika tahu lolos pemilihan legislatif," kata Rieke kepada Birny Birdieni dari Gatra.
Pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri itu menyatakan, menjadi anggota DPR bukan hanya bertanggung jawab kepada pemilihnya, melainkan juga kepada seluruh masyarakat. Karena itu, kini Rieke ngebut belajar politik. Ia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh LSM untuk menggali informasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.
Dia juga berencana mengangkat staf ahli dan meminta masukan dari politisi senior di DPR. Wanita kelahiran Garut, Jawa Barat, 8 Januari 1974, ini akan fokus sebagai politikus dan melepas baju keartisannya. Di luar Rieke, ada belasan artis lain yang sukses melenggang ke Senayan, misalnya Inggrid Kansil, Dedi Gumelar, dan Vena Melinda. Juga Primus Yustisio, Rachel Maryam, dan lain-lain.
Masuknya kalangan artis ke DPR ini memang menjadi fenomena yang mencengangkan. Sebab, meski sudah lama ada kalangan artis yang menjadi anggota DPR, jumlahnya tak sebanyak saat ini. Sebagian adalah wajah lama, seperti Adjie Massaid, Angelina Sondakh, dan Nurul Qomar.
Dulu artis yang menjadi anggota parlemen adalah kader partai. Kini banyak artis yang secara instan digaet untuk mendulang suara. Selain artis, anggota DPR periode 2009-2014 ini juga cukup banyak dihuni kerabat pejabat atau mantan pejabat. Puan Maharani (anak Megawati Soekarnoputri), Eddhie Baskoro (anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), dan Halim Kalla (adik Wakil Presiden Jusuf Kalla) adalah beberapa di antaranya.
Fenomena ini melahirkan kekhawatiran berbagai pihak tentang kualitas anggota parlemen kita. Direktur Eksekutif Cetro, Hadar N. Gumay, menilai masuknya barisan artis ini di parpol hanya berfungsi menarik suara. "Ini kekeliruan partai dalam melakukan perekrutan calon anggota legislatif," katanya. Sementara itu, masuknya kerabat pejabat dan mantan pejabat menjadi anggota DPR dinilai sebagai bibit dinasti politik.
Hal ini memang tidak menjadi masalah jika calon yang bersangkutan memang memiliki kualitas memadai. Sayangnya, menurut pengamat politik Yudi Latif, kebanyakan caleg terpilih dari kalangan artis dan keluarga pejabat itu diragukan kapasitas dan kapabilitasnya. "Mereka cenderung terpilih karena keterkenalan dan jaringan kekuasaan serta logistik ayah, suami, atau kerabat mereka," tutur Yudi.
Tak hanya itu. Politisi tulen yang terpilih pun, kata Yudi, banyak yang diragukan motifnya melaju ke Senayan. Indikasinya, ada caleg yang menggunakan kekuatan dana yang luar biasa demi menjadi anggota DPR. "Ada calon yang sampai menghabiskan Rp 25 milyar. Apa motif pengeluaran uang sebanyak ini?" Yudi menambahkan.
Dua hal itu akan terkait secara signifikan dalam menurunkan kualitas kinerja DPR. Di satu sisi, menurut Yudi, politisi tulen yang menjadi anggota DPR dengan kekuatan uang akan cenderung mencari uang pengganti biaya yang dikeluarkan, baik secara gamblang maupun remang-remang. Secara gamblang adalah dengan memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan "transaksi" jual-beli pasal yang dibahas di DPR.
Secara remang-remang, ia akan menggunakan jabatannya untuk mendapatkan proyek dari berbagai instansi pemerintah untuk meraup keuntungan. "Ini juga korupsi secara terselubung," kata Yudi pula. Di sisi lain, para artis yang menjadi anggota DPR secara moral mungkin masih bisa dipertanggungjawabkan alias tak ada motif mencari keuntungan materi, karena dunia keartisan telah memberikan itu.
Namun, dengan pengalaman politik yang minim, mereka hanya akan menjadi anak manis yang mengikuti saja permainan politisi kawakan. "Jangan harap ada kekritisan dari mereka dalam memahami kepentingan-kepentingan tersembunyi dalam pembahasan sebuah undang-undang, misalnya," Yudi menegaskan. Menanggapi keraguan itu, beberapa artis mengaku bisa memahaminya, dan mereka berharap bisa menjawab keraguan itu dengan terus belajar dan bekerja.
Inggrid Kansil, pesinetron yang terpilih dari Partai Demokrat, misalnya, mengaku senantiasa membaca dan mempelajari apa tugas dan fungsi DPR. Ia merasa beruntung karena suaminya, Syarifuddin Hasan, punya pengalaman politik mumpuni sebagai anggota DPR-RI Komisi XI dan Panitia Anggaran. "Kurang lebih kami jadi tahu tentang legislasi, bagaimana penyusunan anggaran, pengawasan, dan bagaimana menindaklanjuti pengawasan itu," katanya.
Tubagus Dedi Suwandi Gumelar, yang ngetop dengan nama Miing di grup lawak Bagito, juga mengaku akan menjawab semua keraguan publik. Ketika ditemui wartawan Gatra Rukmi Hapsari, Dedi mengaku punya visi untuk memulihkan kepercayaan rakyat kepada DPR. Pria kelahiran 27 April 1958 ini memang terhitung punya pengalaman politik. Ia Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Pandeglang, Banten.
Fenomena artis mengalahkan politisi pada pemilu legislatif kemarin, kata Dedi, harus jadi cermin untuk tidak meremehkan kemampuan artis dalam berpolitik. "Kami berusaha amanah, berusaha menjadi politisi, walaupun kami budayawan," tuturnya. Ia mengaku akan total mengabdi di Komisi II yang menjadi tempat kerjanya. Beberapa isu siap ia dorong untuk diperbaiki, seperti soal otonomi daerah dan izin penebangan hutan.
Sementara itu, Vena Melinda dari Demokrat mengaku akan fokus pada persoalan kesejahteraan rakyat. "Selama kampanye, aku melihat banyak masalah yang harus diselesaikan, seperti soal nasib guru tidak tetap, anak-anak kurang gizi, sanitasi, dan krisis listrik. Itu akan jadi programku di DPR nanti," katanya.
Kalau banyak yang meragukan kemampuannya, Vena mengaku hal itu wajar. Karena itu, untuk menjawabnya, ia kini termotivasi untuk mengambil kursus politik dan ilmu pemerintahan, juga rajin menghadiri seminar. "Aku ingin bekerja untuk rakyat. Aku nggak ingin masyarakat salah pilih," kata perempuan kelahiran Surabaya, 20 Juli 1972, itu.
M. Agung Riyadi
[Nasional, Gatra Nomor 27 Beredar Kamis, 14 Mei 2009]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar