INILAH.COM, Jakarta. Blok Cikeas kini di ambang kehancuran. Menyodoknya nama Gubernur Bank Indonesia Boediono sebagai cawapres SBY jadi pemicu tercerai-berainya koalisi yang dimotori Partai Demokrat ini. Inikah isyarat terjungkalnya SBY dalam Pilpres mendatang?
Jika benar pilihan calon wakil presiden SBY adalah Boediono, mungkin inilah kisah buruk tentang ambisi SBY mempertahankan kursi kepresidenan yang telah dikenyamnya selama satu periode. Betapa tidak? Belum sermpat nama Boediono diumumkan secara resmi, namun resistensinya sudah keras.
Bahkan resistensi itu muncul dari kalangan peserta koalisi. Sedikitnya, empat partai politik yang terang-terang menolak figur Boediono, yaitu PKS, PAN, PPP, dan PKB.
“Makanya di sini kami berkumpul, mungkin juga nanti akan menghubungi Gerindra. Seandainya (Boediono) ini tetap dipaksakan sebelum ada pembicaraan bersama,” kata Sekjen PKS Anis Matta yang didampingi empat perwakilan partai politik peserta koalisi seperti PAN, PPP, dan PKB di gedung DPR, Selasa (12/5).
Lebih dari itu, Mahfudz Siddiq, ketua Fraksi PKS justru mengancam, jika tidak ada klrafikasi perihal nama Boediono oleh Tim 9 Partai Demokrat, pihaknya akan keluar dari koalisi Partai Demokrat. “Kalau tidak direspons oleh tim 9 PD, kita akan melakukan langkah-langkah politik,” tandasnya.
Lebih dari itu, empat partai politik yang terdiri PKS (59 kursi), PAN (42 kursi), PPP (39 kursi), dan PKB (26 kursi) jika digabung sebanyak 192 kursi atau sekitar 34% suara sah nasional. Kondisi ini memancing empat partai politik tersebut untuk membuat poros alternatif. “Hitung-hitungan kita, kemungkinan bisa menggarap poros alternatif,” kata Zulkifli.
Reaksi yang mulanya muncul dari PKS ini sepertinya ditangkap juga oleh partai politik peserta koalisi lainnya. Ini tidak terlepas dari informasi perihal kuatnya nama Boediono sebagai cawapres SBY. Padahal, harapan partai peserta koalisi, cawapres SBY dipilih dari kalangan partai politik peserta koalisi. Apalagi, partai politik telah menyodorkan nama-nama cawapres mulai dari Hatta Rajasa, Hidayat Nur Wahid, dan Muhaimin Iskandar.
Kendati demikian, bukan tanpa soal jika SBY memilih cawapres dari kalangan partai politik. Jika pertimbangan cawapres SBY diambil dari partai perolehan suara paling signifikan di antara peserta koalisi lainnya yang jatuh pada PKS, hal itu juga dianggap riskan.
“Jika PKS cawapres SBY, jelas akan mendapat penolakan dari peserta koalisi lainnya seperti PKB, PPP, dan PAN. Jadi pilihan Boediono didasari pertimbangan akomodatif,” ujar staf pengajar UI Boni Hargens dalam diskusi Forum Intelegensia Bebas, di Jakarta, Selasa (12/5).
Namun bagi Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, pilihan Boediono sebagai cawapres SBY bukanlah pilihan yang bebas nilai. Menurut dia, pertimbangan dukungan internasional menjadi salah satu pertimbangan SBY memilih figur Boediono.
“Boediono bukan bebas nilai, karena pilihan Boediono dengan pertimbangan nilai internasional (Neoliberal),” ujarnya.
Secara terpisah, Wakli Ketua Umum DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok merespons santai ancaman peserta koalisi Blok Ciekas tersebut. Justru Mubarok menegaskan, dengan adanya protes-protes tersebut akan memudahkan pengambilan kebijakan. “Itu malah menjadi sinyal bagus bagi penentu kebijakan,” tegasnya.
Ia menjawab dilpomatis ketika ditanya tentang maksud sinyal bagus. “Pokoknya bagus, bisa juga untuk memilih cawapres SBY,” katanya yang menegaskan hingga saat ini belum ada pengumuman resmi perihal Boediono sebagai cawapres SBY.
Menurut Mubarok, pihaknya sama sekali tidak khawatir dengan protes partai peserta koalisi dengan Partai Demokrat. Menurut dia itu hal wajar dalam politik yang selalu dinamis dari menit ke menit. “Nanti juga akan ada dialog,” katanya tanpa merinci kapan dialog tersebut digelar.
jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar