jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Sabtu, 30 Juni 2012

"Belajar dari Mursi" - Editorial MetroTV

Editorial Media Indonesia di MetroTV pagi (Rabu, 27/6/12)
INDONESIA boleh berbangga menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Namun, untuk mengelola negara, negeri ini masih harus berguru dari mancanegara termasuk Mesir.

Mesir memang baru saja menjelma sebagai negara demokrasi. Untuk kali pertama setelah era monarki berakhir pada 1953, mereka memiliki pemimpin dari kalangan sipil dengan terpilihnya Muhammad Mursi sebagai presiden, Minggu (24/6).

Mursi mengalahkan Ahmed Shafiq, mantan perdana menteri di era diktator Hosni Mubarak. Pemimpin Ikhwanul Muslimin itu meraup 51,73% suara berbanding 48,37% suara dari 50,3 juta warga yang menggunakan hak pilih.

Kemenangan Mursi merupakan awal dari masa depan yang lebih menjanjikan bagi rakyat Mesir setelah puluhan tahun terkungkung kekuasaan militer.

Kekhawatiran bahwa Mursi akan tetap mengekang kehidupan karena ia berasal dari partai politik beraliran keras tidak beralasan.

Pidato kemenangan yang ia gelorakan menyejukkan semua kalangan. Mursi, misalnya, menyatakan siap menjadi pemimpin bagi semua warga Mesir. Ia menyerukan persatuan nasional setelah seluruh energi dan darah rakyat terkuras menggulingkan Mubarak, kemudian tersita pada perlombaan polarisasi selama pemilu.

Bagi Mursi, seluruh rakyat Mesir entah itu buruh, sopir bus, pedagang, masinis, atau pelajar adalah keluarganya. Bagi Mursi, sekat-sekat agama dan status merupakan musuh peradaban yang wajib dirobohkan.

Mursi pun tidak menganggap dirinya sebagai penguasa. Rakyatlah yang akan menjadi sumber kekuasaan. Dia merasa tak memiliki hak, yang ada hanyalah kewajiban. Kewajiban sebagai pelayan untuk melayani rakyat.

Mursi memang baru empat hari terpilih sebagai Presiden Mesir dan akan dilantik pada Sabtu (30/6) nanti. Namun, seabrek pelajaran berharga sudah bertaburan darinya. Pidato yang ia sampaikan sarat dengan petuah yang patut diteladani oleh pengelola Republik ini.

Mursi mengajarkan bagaimana seharusnya seorang pemimpin bersikap. Ia menempatkan diri bukan sebagai penguasa, melainkan pelayan. Ia menempatkan toleransi di atas segala-galanya. Ia mengubur dalam-dalam perbedaan.

Sikap-sikap itulah yang semestinya menjadi pijakan para pemimpin dan elite negeri ini. Akan tetapi, fakta yang ada justru sebaliknya. Bukannya menjadi pelayan, mereka malah meminta dilayani.

Pemimpin di Republik ini terus berasyik ria memanjakan diri dan selalu surplus syahwat untuk menggerus uang rakyat lewat korupsi. Mereka juga masih cenderung membiarkan, bahkan terkesan memfasilitasi kekerasan atas nama agama. Intoleransi diberi ruang seluas-luasnya.

Mursi sebenarnya bukanlah contoh pertama bagaimana menakhodai negara.

Seabrek pelajaran ditunjukkan para pemimpin mancanegara. Pada Februari silam, Presiden Jerman Christian Wulff mengajarkan kita untuk sekadar memiliki rasa malu. Wulff mundur karena malu diguncang pemberitaan skandal korupsi.

Banyak pemimpin di Brasil, Jepang, atau Korea yang juga menyodorkan teladan bagaimana bersikap kesatria.

Pelajaran demi pelajaran soal mengelola negara terus bertaburan dari luar negeri. Sayangnya, itu semua tak pernah membuat pemimpin dan elite negeri ini menjadi pintar, bersih, dan arif.[]


Sumber: Metro TV News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar