INILAH.COM, Jakarta - Partai Demokrat bisa belajar dari PKS dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi yang kini menjerat kadernya. Berbeda dengan PKS yang bertindak rapi, cepat dan sigap, justru Partai Demokrat babak belur karena tidak cepat bertindak dan mencoreng citranya.
Publik belum lupa bahwa Arifinto, anggota Fraksi PKS yang tertangkap kamera wartawan Media Indonesia, Mohamad Irfan, ketika sedang menonton video mesum dalam sidang paripurna DPR, akhirnya didesak mundur DPP PKS dalam waktu yang cepat.
"Arifinto sudah selesai, sudah mundur," kata Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal di gedung DPR, Jakarta, Senin 9 Mei 2011, sebagai langkah cepat mengatasi kasusnya. Arifinto telah mengajukan surat pengunduran diri dan Fraksi PKS sudah menindaklanjuti pengunduran diri itu.
Dewan Pimpinan Pusat PKS sudah melakukan proses Pergantian Antar-Waktu (PAW). PKS tak mau kehilangan muka, dan cepat tanggap memberhentikan kadernya di DPR yang berbuat tidak senonoh dan mencoreng partai Islam itu. Isu pun berlalu.
Tapi, bagaimana dengan partai Demokrat yang dililit kasus Mohamad Nazaruddin dalam dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang? Kasus Arifinto sejatinya tidak lebih berat dari Nazaruddin, yang mengidap masalah berlapis-lapis.
Dibandingkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang relatif cepat dan responsif dalam menyelesaikan kasus Arifinto dan laporan Yusuf Supendi mengenai adanya korupsi di kalangan elite partainya, nampaknya Demokrat kedodoran dalam menangani kasus suap Sesmenpora yang diduga melibatkan Nazaruddin.
Pimpinan PKS nampak lebih sigap dan rapi dalam menuntaskan kasus internal yang bisa mencoreng partai, sementara pimpinan Partai Demokrat yakni Anas Urbaningrum masih membeli waktu, menunggu sinyal dari SBY, sang ketua Dewan Pembina.
Sungguh berat, berbagai kasus disebut-sebut melibatkan M Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, dan hal itu menjadi beban berat Anas Urbaningrum selaku ketua umum partai tersebut. Kasus Nazaruddin mencoreng dan menyandera Anas dalam memimpin Demokrat ke depan. Sejauh ini, Anas menyatakan tidak happy, namun belum bertindak tegas mengatasinya.
Padahal sederet isu menyasar Nazaruddin mulai suap Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), tuduhan pemberian uang ke Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) sebesar US$120 ribu pada 2010 hingga tudingan Nazaruddin pernah ditahan Polda Metro Jaya karena diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen perusahaan miliknya, PT Anugerah Nusantara.
Dalam menuntaskan kasus Nazaruddin ini, sikap Anas sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat terlihat tidak tegas dan malah menyerahkan persoalan itu ke atas (ke SBY) selaku Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat. Padahal untuk urusan yang berpotensi mencoreng partai biru itu, mustinya Anas yang harus memutuskan, tak perlu SBY. Akibatnya, kini Demokrat menjadi bulan-bulanan media dan publik, yang berpotensi besar merusak reputasi dan kredibilitasnya.
Anas dan koleganya harus menyadari bahwa kini publik dengan sinis melihat setiap retorika antikorupsi dan pembaruan yang digaungkan politisi Demokrat baik pejabat maupun elit politiknya. Publik menilainya dengan skeptisme dan ragu. Publik melihat, pada diri sebagian besar kaum elit politik Demokrat dan pejabatnya yang duduk diparlemen maupun pemerintahan, terkesan tidak satu antara kata dan perbuatan.
Kasus Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga mengingatkan kembali publik kepada mantan anggota Komisi VIII DPR Aziddin. Publik tak lupa bahwa Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat periode 2004-2006 dipecat dari keanggotaan partai dan anggota DPR karena terlibat kasus calo pemondokan dan katering haji pada 2006. Deklarator Partai Demokrat itu menyalahgunakan surat rekomendasi fraksi dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota pemantau haji. Akankah Nazaruddin mengalami nasib seperi Aziddin?
“Belajar dari PKS, jika Demokrat konsisten dengan komitmennya membasmi KKN, maka selayaknya Nazaruddin diperlakukan sama dengan Aziddin sehingga kader Demokrat lainnya menjadi berfikir berulang-ulang jika melakukan perbuatan yang tidak sesuai etika politik dan hukum,” kata pengamat hukum Tisnaya Kartakusuma, jebolan FHUI dan Sorbonne. [mdr]
Sumber: Inilah.Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar