Ungkapan wallahua'lam (Allah lebih mengetahui) dalam khazanah Islam sering dijadikan sebagai penutup sebuah pandangan dan pilihan pendapat yang diambil oleh para ulama ketika memberikan pandangan dan pendapatnya.
Kalimat ini semestinya tidak hanya dipahami sekedar dari kata-kata yang terkandung di dalamnya. Tapi lebih dari itu, dia menggambarkan mentalitas ilmiah yang khas dimiliki seorang muslim, terlebih seorang ulama.
Wallahua'lam, berangkat dari keyakinan seorang muslim akan "Kemahatahuan Allah" yang sempurna yang tanpa batas sekaligus menjadi sumber ilmu bagi hamba-Nya (QS. Al-Baqarah: 32). Sementara di sisi lain, Allah sangat menganjurkan hamba-hamba-Nya untuk memiliki pilar ilmiah yang kuat dalam setiap pandangannya (QS. Al-Isra: 36). Maka, jika kita mendapatkan kata-kata ini di penghujung pendapat seorang ulama, kita dapat menangkap sebuah puncak pencarian ilmiahnya sekaligus sekaligus kerendahhatiannya di hadapan Allah yang Maha Mengetahui hakikat kebenarannya.
Demikianlah kombinasi mentalitas ilmiah yang seharusnya menjadi karakter seorang muslim; Kesungguhannya meraih prestasi ilmiah, tidak melupakannya untuk tunduk patuh dan pasrah kepada Allah yang Maha Mengetahui, sehingga berbuah ketaatan dan ketakwaan. Atau sebaliknya, keimanannya kepada Allah, tidak menghalanginya untuk meraih prestasi ilmiah tertinggi yang dapat dia raih, sehingga berbuah kecerdasan dan kemajuan.
Dari sinilah kita dapat menangkap semangat dari firman Allah Ta'ala, 'Sesungguhnya, yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang berilmu." (QS. Fathir: 28)
Selain itu, ungkapan wallahua'lam, juga mengandung sebuah mentalitas yang sangat dibutuhkan dalam tradisi ilmiah. Yaitu, kesiapan berdialog dan menerima kemungkinan adanya pendapat lain selain pendapatnya. Khususnya pada masalah-masalah yang masih terbuka peluang untuk didiskusikan atau yang biasa dikenal dengan istilah masa'il ijtihadiyah (masalah-masalah ijtihad). Entah karena sumber dalilnya masih diperdebatkan, atau karena berbedanya pemahaman terhadap sebuah dalil yang sama.
Di sini, ungkapan wallahua'lam, menjadi semacam spasi ilmiah yang disediakan seorang muslim untuk menerima dan menampung berbagai kemungkinan pendapat lain yang boleh jadi lebih kuat dari pendapatnya, atau paling tidak dia tetap menghormati pandangan lain yang berbeda, walau menurutnya keliru sekali pun, selama masih memiliki landasan-landasan umum yang sama.
Dengan mentalitas ini, diskusi tentang Islam menjadi sangat hidup, ilmiah dan dinamis, tanpa merusak pilar ukhuwah yang ada. Maka wajar, ketika tradisi ini terbentuk sangat kondusif di tengah umat Islam pada masa keemasannya di abad-abad permulaan, lahirlah prestasi ilmiah yang gemilang, baik dalam kajian syar'i maupun kauni.
Lain halnya ketika tradisi itu mulai redup, berganti dengan fanatisme buta terhadap pendapat kelompoknya dan tidak memberi ruang yang cukup untuk menerima pendapat lain selain tuduhan, stigma dan saling memojokkan. Maka yang ada hanyalah kejumudan, keterbelakangan dan akhirnya perpecahan.
Pada masa sekarang ini, ketika tantangan kehidupan semakin kompleks, dinamika semakin tinggi dan keragaman semakin melebar, mentalitas ini semakin mendesak kita butuhkan. Wallahua'lam.**
*Abdullah Haidir, Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Arab Saudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar