jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Senin, 27 September 2010

Pejabat Dijangkiti Virus Matirasa

Akeh manungsa lali asale.
Ukuman Ratu ora adil.
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil.

Akeh kelakuan sing ganjil.
Wong apik-apik padha
kapencil.
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin.
Luwih utama ngapusi.
Wegah nyambut gawe.
Kepingin urip mewah.
Ngumbar nafsu angkara
murka, nggedhekake duraka.


Wong bener thenger-thenger.
Wong salah bungah.

Bait-bait di atas merupakan cuplikan tanda-tanda zaman Kalabendu yang termaktub dalam Ramalan Jayabaya. Ramalan ini sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian besar orang meyakini, bangsa Indonesia tengah berada di era Kalabendu. Zaman yang tidak menentu, penuh intrik dan kekacauan. Ciri-ciri ramalan di atas sudah tampak di depan mata dan dapat kita rasakan bersama. 

Di tengah-tengah pusaran kemiskinan yang masih membelit sebagian besar masyarakat Indonesia, perilaku para pejabat negara baik eksekutif maupun legislatif sungguh tidak terpuji. Mereka berlomba menghambur-hamburkan uang rakyat dan tidak segan-segan pamer kemewahan, tanpa merasa berdosa sama sekali.

Dengan dalih demi kepentingan rakyat, mereka minta dibangunkan gedung baru 36 lantai senilai Rp 1,6 triliun dengan fasilitas yang supermewah. Belum reda kecaman masyarakat, kembali membuat ulah lain. Tanpa ada hujan dan angin, tiba-tiba mereka membuat agenda pelesir ke luar negeri.


Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat anggaran perjalanan dinas 2010 yang dialokasikan untuk presiden, pejabat negara dan DPR mencapai Rp 19,5 triliun. Dengan rincian di antaranya Rp 179 miliar perjalanan dinas presiden, sedangkan untuk DPR sebesar Rp 170 miliar. Jumlah anggaran sebesar itu rupanya di mata anggota dewan masih dianggap terlalu kecil. Ketua DPR Marzuki Alie masih bisa berkelit dan menyatakan kalau uang saku perjalanan dinas anggota DPR ke luar negeri sering tidak cukup.

Masyarakat mengelus dada. Betapa tidak? Karena jumlah anggaran tersebut empat kali lipat dari anggaran Jamkesmas yang besarnya hanya Rp 4,5 triliun. Ini artinya pemerintah dan DPR sebenarnya telah mengingkari amanat konstitusi pasal 23 ayat (1) yang menyatakan APBN ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun lagi-lagi pemerintah selalu pandai berkelit. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi menjamin seluruh anggaran sudah dirumuskan lewat prinsip efektif dan efisien.

Pejabat Matirasa

Rupa-rupanya para pejabat negara di negeri ini sudah matirasa. Sudah tidak lagi mempedulikan rakyat kecil yang hidup dalam garis kemiskinan. Mari kita cermati. Dalam setiap kesempatan pemerintah selalu mengatakan bahwa target pengurangan angka kemiskinan ekstrem dan kelaparan sebagai salah satu sasaran Tujuan Pembangunan Milenium sudah tercapai. Namun dalam kenyataannya rakyat Indonesia masih miskin. Mengapa demikian? Karena pemerintah menggunakan kriteria batas kemiskinan pada pendapatan 1 dollar AS, kurang lebih setara dengan Rp 9.000 per hari.

Tidak aneh bila kriteria tersebut yang digunakan, pemerintah bisa menepuk dada bila angka kemiskinan menurun. Namun, bila pemerintah mau jujur sebenarnya kinerja dalam pengentasan rakyat dari kemiskinan tetap menjadi masalah. Selama periode 1990-2010, kemiskinan hanya turun 1 persen.

Tahun 1990, sekitar 20,6 persen penduduk pendapatannya di atas 1 dolar AS per hari. Tahun 2010, dari hasil sensus penduduk, menurut analis Kampanye dan Advokasi MDGs PBB di Indonesia, Wilson TP Siahaan, angka itu menjadi sekitar 13,33 persen jumlah penduduk, atau ada 31,02 juta penduduk miskin, dari data BPS per Maret 2010.

Berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 persen (27,2 juta orang miskin) dan tahun 2009 kemiskinan 14,15 persen (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 ada sekitar 31,7 juta orang miskin. Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 persen.

Sejak tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati 40 persen penduduk (golongan menengah) dan 20 persen (golongan terkaya). Sisanya yang 40 persen (penduduk termiskin) semakin tersingkir. Porsi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin menurun dari 20,92 persen pada tahun 2000 menjadi 19,2 persen tahun 2006.

Penghematan Anggaran


Bila kita menyimak data-data tersebut, masihkah pejabat negara tega untuk mengagendakan anggaran perjalanan dinas yang sedemikian besar? Tidakkah ada cara lain yang dapat ditempuh yang dapat menggantikan perjalanan dinas khususnya ke luar negeri yang lebih efisiensi dan efektif?

Saran Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito berikut mungkin bisa dipertimbangkan. Arie Sudjito berpendapat ada tiga cara untuk menekan pengeluaran perjalanan dinas penyelenggara pemerintahan (DetikNews, 20-9-2010).

Pertama, dengan memaksimalkan kerja diplomat yang ada di negara-negara sahabat. Kunjungan ke luar negeri perlu rasionalisasi ulang. Kegiatan yang tidak terlalu mendesak untuk didatangi cukup dengan memaksimalkan kerja diplomat.

Kedua, memanfaatkan teknologi. Tidak semua kegiatan mensyaratkan kunjungan langsung ke suatu negara. Dengan semakin berkembangnya teknologi, dunia seakan-akan tanpa batas sehingga pemanfaatan teknologi yang maksimal dapat mengurangi anggaran perjalanan.

Ketiga, melalukan pemadatan agenda. Misalnya saja saat Presiden tengah menghadiri konferensi di suatu negara, dapat digunakan untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke negara tetangga.

Ketiga cara tersebut memang saran dan usulan yang sangat bagus. Namun semuanya berpulang pada para pejabat negara. Boleh jadi mereka sudah tahu dan sangat paham tentang hal itu. Menurut penulis sebenarnya persoalan mendasar terletak pada nawaitu atau niat mereka sejak awal, yaitu ingin pelesir dengan biaya gratis dan full fasilitas mewah.

Dengan kata lain, muara persoalan terletak pada aspek moralitas dan integritas para pejabat negara kita. Bukankah demikian? Bagaimana pendapat Anda?


Sumber: Harian Joglosemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar