Ungkapan “negeri ini (baca juga: saya) belum merdeka” tampaknya kini sudah menjadi klise. Bahkan dalam ruang yang lebih luas, hingga ke tingkat global, kata-kata itu sudah menjadi teriakan yang universal.
Betapapun peradaban (teknologi) yang telah menyediakan seluruh perangkat hidup (lunak maupun keras) yang mengisyaratkan kemerdekaan di tingkat individual maupun komunal, tetap saja sistem yang ada dan berlaku di dalamnya membuat kemerdekaan itu tersandera, terpenjara.
Globalisme yang mengasuh serta mengembangkan anak-anak kandungnya seperti demokrasi, liberalisme, materialisme-pragmatis, atau sistem ekonomi pasar telah mencengkeram dunia dalam sebuah permainan––halus dan kasar––yang membuat siapa pun (negeri, bangsa, dan individu) terjebak dalam perangkap yang dibuatnya.
Ketidakmerdekaan akibat tumpang tindihnya wewenang dan otoritas mereka. Ketidakmerdekaan karena impitan dan tekanan sistem serta sesama institusi di antara mereka. Yang lebih parah: ketidakmerdekaan karena hidup sehari-hari yang kian menekan karena pragmatisme, oportunisme, dan hedonisme yang kian akut.
Ironi bahkan ketragisan dari situasi itu adalah keadaan yang diciptakan, sengaja atau tidak sengaja, oleh para aparatus dari setiap institusi itu yang demi mendapatkan ruang yang lebih leluasa, lapang dan merdeka, melakukan semacam intervensi atau penerabasan domain atau kewenangan dari institusi tetangganya. Maka konflik pun pecah secara inter-institusional, menciptakan impitan dan ketidakmerdekaan yang lebih akut: sebuah “perang kemerdekaan” dalam skala lebih kecil dan dalam bentuk yang unik.
Kemerdekaan yang Tragis
Namun persoalan ketidakmerdekaan secara rasional dan sistemik itu sesungguhnya tidaklah seberapa dibandingkan ketidakmerdekaan kita––di semua tingkat eksistensinya––secara kultural seperti ketidakmerdekaan kita secara eksistensial, hubungan antara eksistensi (interpersonal), tradisi berkomunikasi, beradat, dan beradab. Inilah sebuah ketidakmerdekaan yang bermula dari luar biasa dan gigantiknya infiltrasi serta intervensi kultur global (dengan anak-anak kandung seperti tersebut di atas) terhadap kultur lokal-nasional yang sebenarnya sudah berkembang begitu lama.
Begitu lama. Infiltrasi dan intervensi hingga pada transplantasi secara koersif berbagai nilai, norma-norma hingga pada perilaku, cara berpikir, beradat, beradab maupun cara kita menjalankan laku spiritualitas kita itu sungguh-sungguh ampuh untuk melindas, menindas, bahkan sebagian membunuh hal-hal serupa yang selama ini menjadi bagian hidup dan keseharian kita.
Maka dengannya kita pun mengalami semacam persalinan jati diri atau karakter, yang tentu saja sebagian besar rancu serta membingungkan. Disorientasi, dislokasi, distemporerisasi pun terjadi semakin akut di seluruh elemen kebangsaan kita. Tidak mengherankan bila kemudian kita––dari segala lapisan–– merasa heran, takjub, dan tercengang melihat diri kita sendiri.
Melihat perubahan di dalam diri kita sendiri sebagai individu maupun sebagai bangsa. Berbagai perilaku, cara berpikir hingga standar acuan moral, nilai, dan norma seperti tidak menunjukkan diri kita yang sebenarnya. Bagaimana mungkin seorang ibu menjual anaknya dengan hanya Rp 300.000, membunuh anaknya yang baru lahir dengan memelintir lehernya, menjerat leher atau membakar anaknya sampai mati karena alasan ekonomi atau meninggalkan bayinya begitu saja di pinggir jalan atau di bak sebuah mobil angkutan? Kita seperti binatang, lebih dari binatang.
Bagaimana kita tidak miris dan giris melihat elite yang sudah puluhan, ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah di simpanannya masih saja menggunakan cara-cara jahanam menghisap keuntungan dari publik, dari uang negara? Pejabat, anggota parlemen, hakim, jaksa, apalagi polisi kian menjadi-jadi menyiasati aturan mengkhianati konstitusi hanya untuk menyengsarakan dan memiskinkan rakyat.
Kelas menengah pun berkelahi sendiri untuk berebut rezeki, tidak peduli persahabatan, bahkan persaudaraan. Dan rakyat? Mereka bergelimpangan mati, ketiban bencana, saat berdesak-desak merebut santunan tak seberapa, ditabrak angkutan umum yang sembrono pengaturannya, yang bunuh diri karena frustrasi dan hilang akal. Oh… betapa tragis dan menyedihkan kemerdekaan itu. Betapa nihil dan omong kosongnya kemerdekaan itu.
Pemimpin Merdeka Itu
Dalam tragedi kemerdekaan itu, sekali lagi, dan sekali lagi, dengan pilu dan keprihatinan sangat dalam, kita harus memalingkan semua itu kepada satu pihak, ya satu pihak, yang paling memungkinkan semua itu dapat berubah. Secara gradual maupun radikal, evolusioner atau revolusioner. Tak lain dia adalah: pemimpin negeri ini. Sebagaimana sejarah modern ribuan tahun bangsa-bangsa di bumi ini mengajarkan, perubahan perubahan substansial, gradual maupun radikal, menuju satu kehidupan yang lebih baik atau setidaknya menumbuhkan harapan serta gairah perjuangan hanya dapat dilakukan ketika kita memiliki pemimpin yang pantas, mampu, atau berkapasitas untuk itu. Kesengsaraan dan kedurjanaan hidup serta peradaban berulang kali terjadi dalam sejarah manusia. Namun tidak ada perubahan terjadi karena inisiatif itu datang dari awam dari orang kebanyakan.
Tapi dari seorang pemimpin yang mengerti keadaan,mengerti orang kebanyakan, mengerti apa yang seharusnya dilakukan, serta mampu memperjuangkan semua harapan. Apa yang terjadi di negeri ini saat ini, kita mendapatkan pemimpin yang justru kebalikan dari semua yang dibayangkan dan disyaratkan itu. Ungkapan frustrasional di awal tulisan ini menunjukkan betapa pemimpin yang kita miliki saat ini sungguh invalid dan tidak mampu memberi jaminan kemerdekaan kita, memberi harapan, dan menggiring kita ke dalam sebuah perjuangan keras ke masa depan yang kita kehendaki bersama.
Bertanyalah pada siapa pun, di mana pun, maka Anda akan menemukan jawaban yang kecewa pada pemimpin kita. Yang begitu lunak, sofa, peragu, terlalu kompromi, bahkan kalah melawan tekanan dari dalam maupun luar negeri. Demi keselamatan kekuasaannya, ia tidak hanya berkompromi, tapi juga memberi konsesi dengan mengorbankan semua harta terbaik yang dimiliki negeri ini pada kekuatan-kekuatan asing (modal terutama) beserta para komprador yang setiap saat siap mengkhianati bangsa dan sejarah sendiri.
Pemimpin seperti itu sungguh menggambarkan ketidakmerdekaan yang paripurna. Ia menjadi representasi sempurna dari ketidakmerdekaan bangsa dan negeri sendiri. Ini tragedi sesungguhnya. Tragedi yang tidak lagi membutuhkan permisi, apologi, pardon dan excusingapa pun. Pemimpin harus tegak atau ditegakkan. Hingga dia memiliki kepercayaan diri sesungguhnya, kekuatan mental, fisikal dan spiritual, teguh dan tough dengan 230 juta lebih manusia di belakangnya.
Pemimpin seperti ini harus mampu pertama memerdekakan dirinya sendiri. Lalu ia mengajak rakyatnya bergerak untuk memerdekakan diri, bangsa, dan negaranya. (oke)
Oleh: Radhar Panca Dahana, Budayawan
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar