Tidak bisa dimungkiri, realita sejarah menunjukan, jika, nuansa feodalis kolonialis telah ratusan tahun membayangi Indonesia sebelum merdeka. Secara rasional, sebagai negara yang belum genap seabad menganut sistem baru pemerintahan, bukanlah suatu hal yang mudah untuk begitu saja menghapus corak feodalis tersebut dari napas birokrasi yang ada.
Meski rezim penguasa telah berkali-kali berganti, tetapi hasilnya sama saja. Aroma feodalis mulai dari adanya setoran upeti gelap, hingga prinsip asal raja senang pun masih sangat terasa hingga tahun 2010 ini.
Tentu saja sebagai konsekuensinya, celah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pun terbuka lebar bagi siapa pun yang dekat atau pun bersinggungan dengan kekuasaan. Di sisi lain sistem tak berjalan sesuai aturan, tapi lebih apa yang diinginkan para tetua dan penguasa.
Saudagar kapitalis pun bisa dengan santainya mengobok-obok kebijakkan birokrasi yang ada, mulai dari politik, hukum, ekonomi, hingga sosial budaya. Tentu saja, ini terjadi atas restu penguasa. Bahasa gampangnya tahu sama tahu.
Apalagi sistem politik yang sekarang ada, secara legal mengizinkan bagi siapa pun yang berduit terlepas layak tidaknya mereka untuk menjadi seorang pemimpin. Sebagai catatan dulu di pertengahan tahun 1950-an pernah ada program perekonomian dari pemerintah, yang tujuannya untuk memandirikan para pribumi. Tapi pada praktiknya justru itu menjadi sebuah kesempatan emas bagi elite partai, dan kaum Ali Baba untuk saling bersaing menumpuk kekayaan.
Tak ingin kecolongan, di awal tahun 1970-an rezim berikutnya pun berusaha merombak sistem lama dengan model birokrasi yang baru dan berbeda. Tapi ironisnya justru aroma feodalis malah makin terasa. Karena aktivitas birokrasi yang ada semua harus terpusat dan ”berdasarken” petunjuk bapak. Yang lebih konyol lagi, meski kekuatan partai politik melemah, tapi di sisi lain justru para pemuja petunjuk bapak itulah yang memanfaatkan kesempatan. Tangan mereka menjadi sangat panjang hingga menggurita, dan mencekik kaum lemah yang sering kali mereka sebut sebagai rakyat.
Menyadari puluhan tahun telah diperbudak, dan selalu dicatut namanya tanpa merasakan madunya, kaum lemah bergelar rakyat ini pun berontak, dan rezim baru pun kembali bergulir di pertengahan tahun 1998. Namun setelah hampir 12 tahun berlalu, ternyata tetap saja madu itu tak kunjung dirasakan para rakyat. Bahkan aroma birokrasi feodalis pun justru semakin menyengat. Etika politik menjadi kacau balau, dan semua berlomba menjadi pahlawan kesiangan. Kali ini kekacauan di dua rezim sebelumnya bercampur menjadi satu, karena para politikus, kaum kapitalis, dan penjilat penguasa berpesta bersama menikmati madu yang tersisa, dan tentu saja atas nama rakyat. (den)
Oleh: Mahendra Wijaya, Sosiolog UNS
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar