jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Selasa, 10 November 2009

Menkes Diminta Perjelas Empat Masalah Pokok


PK-Sejahtera Online. Anggota Komisi IX DPR RI Ledia Hanifa meminta Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih untuk memperjelas 4 masalah pokok. Hal itu menurutnya penting untuk mengklarifikasi kecurigaan berbagai pihak yang menuding Endang memiliki kedekatan dengan barat.
"Tantangan besar buat Menkes yang baru adalah isu bahwa dia dekat dengan pihak asing. Karena itu dalam 100 hari ke depan, Menkes harus dapat menyelesaikan 4 hal," kata Ledia di Jakarta, Senin (9/11).

Politisi PKS dari Daerah Pemilihan Jawa Barat itu menguraikan keempat tersebut adalah pertama, komitmen anggaran 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD untuk kesehatan seperti yang diamanatkan Undang-Undang. Anggaran tersebut harus dialokasikan untuk memberi pelayanan kesehatan terbaik dalam aspek promotif, preventif, maupun kuratif bagi masyarakat. Dengan anggaran yang cukup diharapkan semua masyarakat terjamin hak hidup sehatnya.

Sayangnya, kata Ledia, saat ini pemerintah terlihat sudah puas dengan alokasi anggaran yang ada. Padahal dari pemanfaatan anggaran yang tersedia, lebih banyak terserap untuk membayar gaji pegawainya bukan untuk upaya peningkatan pelayanan kesehatan. "Diharapkan dengan kepemimpinan Meskes baru terjadi perubahan yang signifikan dalam alokasi anggaran," ujarnya.

Komitmen kedua, lanjut Ledia, yaitu menerapkan paradigma sehat dalam menyusun kebijakan. Selama ini paradigma yang masih digunakan Departemen Kesehatan (Depkes) lebih mengacu pada paradigma penyembuhan orang sakit (kuratif). Dampaknya, alokasi anggaran bagi pelayanan kesehatan kita banyak tersedot untuk biaya pengobatan. Padahal rasio antara orang sakit dan sehat tentu lebih banyak orang sehat. Artinya, dana yang besar itu hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh sedikit orang.

"Apabila Departemen Kesehatan mengubah paradigmanya menjadi paradigma sehat dengan lebih mengedepankan aspek promotif dan preventif maka problem solving kesehatan masyarakat Indonesia sudah ditarik ke arah hulu, dan tidak lagi difokuskan pada penyelesaian masalah hilir saja," jelasnya.

Paradigma sehat yang harus dibangun,ujarnya kemudian, adalah bahwa pemerintah dalam hal ini Depkes bersikap progresif dalam mempromosikan dan mensosialisasikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Dengan demikian Depkes mampu membuat orang yang sudah sehat tetap sehat, dan orang yang sakit menjadi sehat. Ke depannya harus dipikirkan pembangunan Rumah Sehat sebagai terobosan.

Implementasi paradigma sehat, lanjut Ledia, sangat terkait dengan jatah anggaran kesehatan. Proporsionalitas anggaran bagi usaha promotif, preventif, dan kuratif kesehatan menjadi krusial. Jika dulu anggaran kesehatan banyak diprioritaskan pada aspek kuratif untuk beli alat kesehatan mutakhir dan modern, penambahan tenaga medis, pengadaan obat-obatan. Kini pemerintah harus memprioritaskan anggaran untuk usaha promotif dan preventif.

Selanjutnya (ketiga, red) menurutnya adalah komitmen Pemerintah dalam mengimplementasikan Program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Program tersebut merupakan perlindungan hak dasar hidup masyarakat meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial ini diamanahkan pada beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yakni JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES, dan badan lain.

UU 40/2004 tentang SJSN pasal 4 menyatakan BPJS haruslah berbentuk nirlaba dimana hasil pengelolaan dana jaminan sosial harus dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan dan sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Persoalan menjadi muncul, kata Ledia, karena belum ada UU yang secara khusus menjadi payung bagi pembentukan BPJS. Konsekuensinya tidak ada lembaga yang khusus mengelola SJSN. Apalagi pada beberapa BPJS yang ada masih mengedepankan unsur profit dalam usahanya. Berat bagi mereka untuk menjalankan perintah UU tersebut.

"Dampaknya, bagi warga yang terlindungi dengan SJSN menjadi malas untuk menggunakan hak mereka," imbuhnya.

Lebih lanjut Ledia memaparkan komitmen keempat bahwa Depkes harus mempercepat pencapaian target Indonesia Sehat 2010 dan MDGs 2015. Sebab waktu yang tersedia tinggal sedikit. Artinya, pemerintah harus peras keringat dalam menggenjot pencapaian target tersebut. "Sebab dari dua indikator penting kesehatan yang ada capaian target tersebut belum berjalan optimal," tandasnya.


Sumber: PK-Sejahtera Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar