jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Senin, 22 Juni 2009
Bachtiar Effendy: Jangan Berpolitik dengan Etika yang Rendah
''Kita tidak bisa berharap banyak kepada para politikus kita, sebab pandangannya kini sangat pragmatis, untuk jabatan dan kekuasaan.''
Saat ini, Indonesia sedang mempersiapkan diri menggelar hajatan lima tahun dalam menentukan pemimpin dan arah masa depan bangsa. Kampanye capres-cawapres telah dimulai. Masing-masing menyampaikan visinya agar masyarakat memilihnya pada 8 Juli mendatang.Pemilu anggota legislatif telah selesai dilaksanakan pada 9 April 2009. Beberapa waktu mendatang, mereka yang terpilih akan segera dilantik sebagai wakil rakyat.
''Sayangnya, kita tidak bisa berharap banyak kepada politisi kita. Sebab, pandangannya sangat pragmatis dan kurang punya visi membawa kemajuan bangsa,'' kata Prof Dr Bahctiar Effendy, guru besar Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan Universitas Indonesia. Kepada wartawan Republika, Ali Rido dan Syahruddin El-Fikri, pengamat politik ini menyampaikan pandangannya tentang etika politik para politikus Indonesia. Berikut petikannya.
Ketika kampanye capres-cawapres yang saling menyindir kandidat lainnya, banyak orang yang menyatakan, kandidat tersebut tidak atau memiliki etika politik sebagaimana diajarkan Islam. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan etika politik Islam itu?
Sebenarnya, tidak ada istilah etika politik Islam. Yang ada sebetulnya seperangkat nilai-nilai etis yang memengaruhi perilaku para politikus Muslim. Ilmu politik Islam itu sebetulnya tidak berkembang pesat.
Politik Islam itu hanya berkaitan dengan ketatanegaraan. Yang berkembang itu adalah fikih siyasah (politik). Atau, aturan ketatanegaraan Islam yang berkaitan dengan bagaimana seorang presiden dipilih, apa syarat-syaratnya menurut agama, apa yang membatalkan kedudukannya sebagai pemimpin terpilih, dan sebagainya. Seperti yang dirumuskan oleh Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Jadi, kalau namanya etika politik Islam sebenarnya barang langka, sesuatu yang belum jelas rumusan-rumusannya. Berbeda kalau kita berbicara teori-teori politik yang perkembangannya sangat luar biasa. Dari sejak periode klasik, seperti Yunani, pertengahan, dan modern sekarang ini.
Padahal, aturan itu sudah dirumuskan para ulama. Bila ditarik dalam konteks Indonesia, bagaimana momentumnya?
Sebenarnya, etika itu tidak ada rumusan yang jelas. Etika ini bukan aturan yang mengikat. Mungkin, ada sanksi sosial. Tetapi, ketika memberi sanksi hukum, yang namanya etika itu tidak mengikat. Dan, itu lahir dari kesadaran consciousness dalam diri seseorang. Ini kan prinsip-prinsip etis.Bangunan atau substansi dari etika politik bisa subjektif. Etika itu tidak berkaitan dengan salah atau benar, tapi ia berkaitan dengan baik dan buruk. Sebaliknya, hukum itu berkaitan dengan salah dan benar karena ikut dalam menentukan baik dan buruk.
Apa yang saya anggap etis sesuatu yang buruk, belum tentu salah menurut aturan hukum. Tapi, apa yang menurut hukum benar, belum tentu etis bagi masyarakat. Jadi, ini subjektif. Perlu perumusan yang jelas sesuai dengan kebiasaan dan budaya masyarakat.Misalnya, kalau Anda mempunyai uang dalam jumlah yang banyak, tentu boleh untuk memborong berbagai jenis makanan. Ada nggak hukum atau undang-undang yang melarang. Karena tidak ada batasan-batasan dan dalam situasi yang normal, itu sah-sah saja.
Misal, di lingkungan Anda, ada toko kelontong. Lalu, Anda borong semua barang atau makanan yang dijual. Karena, uang Anda banyak dan tidak ada serinya (tidak habis-habis--Red). Itu tidak salah, tapi itu tidak etis karena menyulitkan tetangga lain untuk membeli.
Demikian juga dengan etika politik. Apa yang dimaksud dengan etika politik? Apalagi, sekarang lagi musim kampanye calon presiden dan wakil presiden pemilu 2009.
Karenanya, itu menjadi sangat subjektif. Kadang-kadang, di musim kampanye begini, ada orang yang begitu sensitif dengan etika. Sehingga, ketika ada sesuatu yang dipandang merugikan dia, dia pandang itu tidak etis. Ada yang bilang itu kampanye negatif black campaign.
Bagi saya, tidak ada kampanye negatif, black campaign. Yang ada adalah apakah kampanye itu didasarkan pada fakta dan sesuai dengan data atau tidak.Banyak orang mengatakan, si A itu begini. Kalau memang itu baik, ya tidak apa-apa. Misalnya, saya mempunyai pandangan-pandangan yang konservatif, ya nggak apa-apa.Kita ambil contoh yang paling dekat, misalnya Pak Budiono yang dituduh sebagai neoliberal (neolib). Kalau memang Pak Budiono itu neolib, kampanye lawan Pak Budiono yang mengatakan demikian berarti benar.
Bukan masalah black campaign atau kampanye negatif?
Bukan. Itu bukan black campaign. Kalau memang Pak Budiono bukan neolib, tunjukan pandangan-pandangan atau kebijakannnya yang tidak neoliberalisme bahwa kampanye itu tidak benar. Dan, itulah tugas Pak Budiono untuk membuktikan itu, membantah, atau menjelaskan, dan lain sebagainya bahwa tuduhan itu tidak benar.
Islam kan punya nilai-nilai tadi?
Ya, Islam saya kira bukan penuh dengan nilai-nilai etis. Islam itu agama. Kalau namanya agama, yang lebih banyak adalah aturan. Yaitu, aturan-aturan yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan ritual, mengatur hubungan antarmanusia, peribadatan, dan kegiatan-kegiatan sehari-hari, termasuk politik.
Jadi, etika itu sifatnya sangat universal dan sarat dengan nilai-nilai?
Saya kira itu betul. Etika itu sangat universal dan tidak specification (spesifik). Maka, Islam itu lebih ketat karena berisi aturan-aturan yang tegas dan jelas.
Misalnya, praktik-praktik politik di Indonesia ini penuh dengan permainan uang (money politics), termasuk berbagai macam variasinya. Ini juga berlaku di tempat lain, seperti Amerika. Namun, untuk kasus di Indonesia, masalah ini sangat sulit untuk dibuktikan. Akan tetapi, yang jelas, politik di Indonesia ini butuh sesuatu yang namanya biaya.
Misalnya begini, kalau saya meminta dukungan Anda dan Anda meminta imbalan, menurut undang-undang dibolehkan atau tidak yang demikian itu? Boleh. Sebaliknya, saya kampanye kepada Anda agar Anda memilih saya, lalu Anda saya beri uang Rp 50 ribu, boleh atau tidak? Tidak. Menurut undang-undang pemilu, itu tidak boleh kalau dilakukan pada musim kampanye.
Kalau pada saat minggu tenang, bagaimana?
Nah, itu tidak ada aturannya. Dalam situasi yang seperti itu, Anda menggunakan etika atau aturan? Islam mengenal apa yang disebut dengan risywah (sogok). Lalu, apa bedanya dengan cara tadi? Saya sogok Anda Rp 50 ribu untuk memilih saya. Apa bedanya brayberry dan enduorsment? Yang pertama halus, lalu yang kedua terang-terangan, padahal keduanya sama.
Karena itu, di sini tidak cukup aturan itu. Karena, aturan itu adalah sesuatu yang kadang-kadang rumusannya tidak bisa mencakup perkembangan sosial politik dan kemasyarakatan yang begitu cepat. Dari sinilah, kemudian orang mencari celah. Jadi, aturan dibuat untuk dicari celah yang membolehkannya. Aturan ada bukan untuk ditaati, tapi untuk dicari celah-celahnya sehingga bisa dilanggar.
Islam pada saat tertentu mengajarkan seperti itu. Tapi, pada saat yang sama, kita semua tetap butuh panduan-panduan etis. Sehingga, dalam hidup ini, aturan saja tidak cukup, orang juga harus menggunakan etika.
Ketika saat kampanye, jurkam dan calon wakil rakyat berjanji begini begitu, lalu memberikan sejumlah imbalan kepada calon pemilih. Namun, ketika dia kalah, semua bantuan yang diberikan tadi diambil kembali. Itu namanya tidak etis. Tapi, ini pelajaran yang bagus agar orang tidak dibeli dan orang tidak mudah membeli. Nah, etika juga begitu. Tidak cukup kita hanya hidup dengan aturan-aturan yang ada. Memang, aturan-aturan itu adalah panduan yang sifatnya minimal. Di luar hal itu, ada hal-hal lain yang tidak bisa diundang-undangkan.
Sebab, kalau diundang-undangkan, itu bisa saja membatasi dan mengebiri hak-hak orang lain. Nah, etika politik Islam itu berdasarkan common sense. Mestinya, dibandingkan teori politik lain, Islam itu jauh lebih etis. Ia sarat dengan aturan. Karena, ia terinspirasi dengan politik oleh ajaran dan nilai-nilai agama. Tapi, kalau kita lihat perkembangan partai-partai Islam saat ini, sulit sekali ada yang melakukan hal itu. Demikian juga dengan parpol lainnya yang tidak menamakan dirinya sebagai partai Islam. Mestinya, kita berharap banyak dengan parpol-parpol Islam untuk berperilaku etis, khususnya politisinya.
Kalau mau membandingkan parpol-parpol Islam dengan non-Islam, dalam praktiknya yang berperilaku etis dan tidak etis itu lebih banyak mana?
Kita sangat berharap, parpol-parpol Islam mampu mewarnai kehidupan politik yang penuh dengan penegakan etika dan nilai-nilai moral. Saya tidak mengatakan harus etika Islam. Tapi, pada kenyataannya demikian dan itu tidak terjadi. Bukan hanya pada partai-partai Islam, tapi juga yang lainnya. Dunia politik kita sedang berubah. Politik kekuasaan sekarang ini demikian luar biasa pengaruhnya kepada praktisi politik, termasuk orang-orang Islam.
Apakah karena mereka telah berpikir pragmatis?
Itu yang sangat mencolok. Politik kita menjadi sangat pragmatis. politisi kita juga pragmatis. Nilai-nilai materi, filosofi, dan ideologi menjadi sesuatu yang secondary (nomor dua).
Yang pertama adalah dukungan langkah-langkah politik menggantung. Ini bisa kita saksikan. Pemilu sekarang ini menampilkan pragmatisme yang luar biasa. Mulai dari atas hingga bawah, bahkan dari daerah hingga pusat. Mulai dari kelompok kecil hingga oleh kelompok besar. Semangat pragmatisme-nya sangat tinggi.Mereka berbicara tentang keuntungan, insentif-insentif yang mikro. Apa yang saya dapat jika saya mendukung si A dan apa ruginya bila saya mendukung si B. Itulah pilihan-pilihan yang dikemukakan, baik berupa materi maupun kedudukan.
Berarti, ada PR besar yang harus segera digarap agar sistem politik Indonesia berjalan lebih baik lagi?
Saya termasuk orang yang tidak begitu percaya dengan adanya pendidikan politik. Apalagi, kalau disebut-sebut dalam undang-undang, partai memiliki fungsi mendidik secara politik. Televisi juga punya fungsi mendidik. Kalau demikian, sistem pendidikan kita jadi tidak fokus. Itu tidak benar menurut saya.
Fungsi pendidikan politik ada pada dunia pendidikan. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dunia ini adalah lembaga pendidikan terbesar, itu harus dipahami dalam pengertian bahwa setiap orang bisa belajar dari kehidupan dan pengalaman serta praktik politik yang dimainkan oleh partai-partai politik.
Karena itu, kita tidak bisa berharap banyak kepada politisi kita. Mengapa? Kepentingan mereka bukan untuk memperlihatkan dunia politik yang baik, tapi untuk kekuasaan dan jabatan. Politik itu berkaitan dengan siapa, apa, dan dengan cara yang bagaimana? Apakah yang dilakukannya itu etis atau tidak? Itu menjadi tidak relevan dengan kepentingan mereka.
Indikasi apa ini sehingga perilaku politisi Indonesia itu demikian parah?
Ini merupakan reaksi dari pengalaman masa lampau, di mana politik dibatasi dan hanya orang-orang tertentu yang bisa berpolitik, termasuk orang-orang yang mendukungnya. Mulai dari zaman Soekarno, Soeharto, hingga sekarang ini. Akibatnya menjadi ekstrem. Sekarang ini, semua orang merasa bisa berpolitik, mempunyai hak untuk berpolitik.
Mengapa harus berpandangan pragmatis?
Karena, politik menjadi mahal. Politik tidak murah seperti dulu lagi. Berapa uang yang dikeluarkan bagi seorang calon untuk menjadi anggota DPR. Tapi, ada juga yang tidak mengeluarkan biaya sama sekali, namun berhasil duduk menjadi wakil rakyat. Sekarang, zaman sudah berubah dan terlihat sangat pragmatis sehingga segala tujuan dilakukan dengan berpikiran pragmatis.
Orang memerlukan baliho, kartun, spanduk, dan turun ke daerah untuk menjadi wakil rakyat agar dipercaya. Dulu, tidak ada sama sekali. Karena itu, pengalaman masa lalu menjadikan mereka berpikiran pragmatis, yaitu untuk mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan.
Ada banyak partai politik. Apa motivasi mereka bikin partai itu? Kalau saya mendirikan partai, apa akan ada yang mendukung? Kalau ada yang mendukung, mungkin saya bisa mendapat kekuasaan dan lain sebagainya. Itulah alasan mereka. Melihat perjalanan politik kita selama 10 tahun terakhir ini, rasanya kita tidak bisa berharap banyak bahwa itu membawa perubahan yang lebih baik bagi Indonesia di masa yang akan datang.
Biodata:
Nama : Prof Dr Bachtiar Effendy
Jabatan : Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lahir : Ambarawa, 10 Desember 1958
Istri : Fardiyah
Anak : tiga orang
Pendidikan:
# Pesantren Pabelan, Muntilan, 1979
# Columbia Falls High School, Columbia, Montana, AS, 1977
# Sarjana Muda IAIN Jakarta, 1983
# Sarjana Perbandingan Agama dari IAIN Jakarta, 1985
# S2 Studi Asia Tenggara dari Ohio University, 1988
# S2 Ilmu Politik dari Ohio State University, Columbus, 1991
# Doktor Ilmu Politik dari Ohio State University, Columbus, 1994
Pekerjaan:
# Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2001-2004
# Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, 1995-sekarang
# Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995-sekarang
# Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1996-sekarang
# Deputy Director of the Institute for the Study and Advancement of Business Ethic, 1996-sekarang
# Ketua Dewan Akademi Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta, 1999-sekarang
# Profesor Ilmu Politik UIN tahun 2006
# "Senior Fellow" at S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, Maret 2007-Februari 2008
# "Fellow" di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, 2008
Keanggotaan dalam Masyarakat Profesional:
# American Political Sciene Association (APSA)
# World Conference on Religion and Peace (WCRP)
# Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
# Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar