jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Kamis, 20 November 2008
Atraksi Iklan PKS
Iklan Partai Keadilan Sejahtera memang moncer. Bagaimana tidak, hanya dalam waktu dua bulan, iklan itu berhasil menuai kontroversi, sehingga menarik perhatian publik. Padahal PKS hanya menurunkan iklan pada dua momen peringatan nasional. Pertama, pada Hari Sumpah Pemuda. Saat itu PKS menayangkan gambar sejumlah tokoh religius, seperti KH Hasyim Asy'ari, dan KH Ahmad Dahlan. Kedua, saat Pari Pahlawan, ketika PKS menampilan mantan pemimpin bangsa, seperti Soekarno dan Suharto.
Hanya dengan dua momen itu dan dengan waktu tayang yang tak terlalu lama, sekitar tiga atau empat hari, PKS kini menuai apa yang disebut "berkah iklan". Partai itu kembali dibicarakan publik, meski dalam kerangka pro dan kontra. Dari sisi dampak, iklan ini sukses. Bukankah bahasa sederhana periklanan adalah iklan dianggap sukses kalau ia berhasil menarik minat publik?
Dampak paling baru dari iklan itu, PKS berhasil mengumpulkan para ahli waris pempimpin bangsa. Rekonsiliasi nasional, begitu acara itu disebut, memang berhasil mengumpulkan anak-anak mantan pemipin bangsa dalam satu forum, meski sebenarnya orang tua mereka jelas banyak berseberangan satu sama lain kala masih hidup dulu.
Sepotong iklan dan rekonsialisi nasional, tampaknya terlalu ambius, utopis malah! Tapi untuk konsumsi politik, isu ini memang seksi dan menarik rasa penasaran. PKS tampaknya jeli melihat ini. Selain itu, berbeda dengan iklan lainnya yang menonjolkan sang tokoh atau malah menyinggung pihak lain (nyaris jadi kampanye hitam) iklan PKS justru bermain di ranah aman, dalam arti hanya PKS sendiri yang akan dituding tanpa kemudian menjadi kampanye negatif bagi pihak lain.
Tentu saja iklan ini tak lepas dari kritik. Apa yang didemonstrasikan PKS hanyalah salah satu bentuk pragmatisme politik, di mana partai dakwah itu hendak meluaskan rangkulannya. Dengan iklan tersebut, PKS tidak lagi terhenti di massa islam, tapi juga massa nasionalis dan abangan. Secara ideologi, begitu kata sebagian orang, PKS berusaha bergeser ke tengah! Selain itu, PKS juga dituding opportunistis, yakni hanya mengambil kesempatan dengan cara-cara tidak etis, memasukkan secara sepihak tokoh-tokoh yang selama ini di kenal sebagai ikon atau milik organisasi tertentu, demi kepentingan jangka pendek pemilu 2009 nanti.
Terlepas dari perdebatan pro kontra soal iklan PKS, satu hal yang dapat ditarik adalah, iklan politik kini seolah memainkan posisi sentral dalam jagat politik kita. Berbagai penelitian membuktikan, kepopuleran seorang tokoh atau partai sangat ditentukan oleh berapa kali iklan mereka dicetak atau ditayangkan televisi. Jujur saja, dalam kondisi ini juga timbul kekhawatiran, jangan-jangan politik kita ke depan akan terjebak pada popularitas di iklan. Para politisi hanya sibuk membuat iklan yang hebat dan menawan, namun lupa bagaimana melayani rakyat dalam kehidupan nyata mereka.
Zaenal Bhakti
Kepala Program Khusus Liputan 6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar