Oleh: Yons Ahmad
Setelah “dihabisi” oleh berbagai media, terutama Tempo, PKS ternyata
masih mampu bertahan. Dalam pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara jago
PKS yang ikut bertanding memenangi pertempuran. Presiden PKS, Anis Matta
memaknai fenomena ini sebagai kemenangan di tengah badai. Fakta ini
sekaligus mengubur dan mematahkan para analis politik yang mengatakan
PKS akan ditinggalkan para pendukungnya. PKS akan habis. Kali ini
mereka keliru. Walaupun memang, tetap banyak nada miring yang kemudian
muncul, kali ini malah dilontarkan justru oleh beberapa elemen (organ
lain) di tubuh umat Islam sendiri. Dikatakan bahwa kemenangan PKS di
beberapa pilgub tersebut bukan sebuah kemenangan dakwah, benarkah?
Bagi saya sebenci apapun kita pada partai, termasuk partai Islam, tetap
saja bangunan institusi itu masih diperlukan dalam kancah politik dan
kenegaraan. Partai tersebut, apapun keadaanya, dalam panggung sejarah
tetap merupakan hasil karya para tokoh-tokoh muslim, kita mesti
menghargainya. Itu sebabnya, setelah saya pikir lebih dalam, setelah
saya pikir lebih jernih, tanpa menafikan adanya kebobrokan yang ada
dalam tubuh partai Islam, saya berada dalam posisi yang menguatkan.
Memilih jalan untuk menyumbangkan pemikiran konstruktif agar bangunan
partai Islam ini terus berkembang lebih baik lagi. Tentu, dalam soal ini
tak hanya sebatas PKS saja. Juga termasuk PAN, PKB, PPP sebagai partai
Islam dan partai berbasis umat Islam itu.
Saya sadar betul
barangkali sikap saya ini terlihat naïf. Tapi, dengan resiko dan
tudingan kenaifan apapun, saya masih memilih untuk tetap menguatkan.
Nah, terkait dengan fenomena kemenangan PKS di beberapa pilkada ini,
saya kira ada beberapa tafsir dan penjelasannya. Kira-kira, saya
mengartikannya sebagai berikut:
Pertama, soliditas kader yang memukau
Bagi kader PKS, ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaq (LHI) mantan Presiden
PKS itu sebagai tersangka KPK barangkali membuat syok. Ada yang tak
percaya, ada yang ragu-ragu, banyak yang galau mendapati informasi
demikian. Ditengah badai demikian, Anis Mata tampil mengambil alih
tampuk kepemimpinan dan langsung berpidato berapi-api, disiarkan
langsung oleh beberapa stasiun televisi. Dengan kualitas pidato dan gaya
bicara yang berhasil membuat mata para kadernya berkaca-kaca. Tak hanya
sekedar pidato, para petinggi PKS juga langsung giat turun ke berbagai
daerah untuk mensolidkan barisan kader. Saya kira pada titik inilah
modal dasar PKS. Kesolidan kader yang tetap terus bekerja untuk
keberhasilan capaian partai, termasuk dalam soal pemenangan pilkada.
Barisan kader yang bekerja sebagai tim sukses, pemantau sampai misalnya
advokasi sengketa pilkada pengadilan berhasil dijalankan. Ini dalam
kasus pilkada Jawa barat. Semua itu bisa dilalui berkat adanya soliditas
kader yang memukau.
Kedua, Militansi menghadapi krisis komunikasi
Ketika LHI ditetapkan sebagai tersangka, berbagai media (sekuler) dan
beberapa aktivis sosial media riuh menyerang habis-habisan. Tak hanya
LHI yang diserang, tapi tubuh PKS secara keseluruhan. Serangan yang
membabi buta, argumen-argumen begitu kasar dan keterlaluan. Tak peduli
informasi benar atau tidak semangatnya pokoknya adalah serang. Plus
olok-olokan tentang “sapi” “Jenggot” dll. PKS benar-benar berada dalam
krisis komunikasi yang hebat. Tapi, nalar sehat publik tetap berjalan.
Saya sendiri pada awalnya biasa-biasa saja tentang PKS. Tidak terlalu
punya harapan yang tinggu namun tidak juga terlalu benci. Ya, memang
saya akui sedikit mencubit-cubit dan meledek ada. Nah, karena serangan
yang membabi buta terhadap PKS ini, saya jadi mengerti bagaimana
kualitas para pengkritik PKS, bagaimana mutu argumen dan cara pandang
orang-orang itu. Hingga saya berkesimpulan bahwa dalam arus informasi
dimana krisis komunikasi PKS sedang terjadi, ada ketidakadilan yang
mengemuka di depan mata. Atas fakta demikian, atas ketidakadilan
informasi ini, saya malah berbalik untuk mendukung dan menguatkan PKS.
Bukan berarti saya mendukung korupsi yang masih diduga itu, tapi saya
memandang bahwa dalam perang informasi, PKS sedang didholimi, maka, saya
memilih untuk menguatkan. Terkait dengan kasus ini, saya juga melihat
bagaimana kader-kader PKS bertahan dan punya militansi luar biasa untuk
melakukan counter serangan terhadap partainya. Melalui Twitter,
Facebook dan media-media online partisan yang dimilikinya, kader PKS
bahu membahu mengembalikan citra partainya. Kemampuan dan ketenangan
serta militansi dalam menghadapi krisis komunikasi ini saya kira juga
menjadi elemen penting, modal penting PKS bagi sebuah kemenangan
kemudian.
Ketiga, kemampuan mematahkan mitos
PKS akan
habis, PKS akan hancur. Barangkali banyak pengamat mengatakan demikian
setelah kasus LHI. Hanya saja, bagi PKS rasa-rasanya saya melihatnya
dianggap sebagai mitos saja. PKS tidak percaya demikian. Dan sikap ini
saya kira sudah benar. SIkap optimis saja barangkali masih perlu bukti
PKS akan tetap bertahan, bagaimana kalau para petinggi dan kader-kader
PKS pesimis, maka benar-benar habislah sudah. Kalau sikap ini yang ada,
tentu hanya membuktikan bahwa mitos tersebut pada akhirnya benar
adanya. Tapi PKS mencoba tidak percaya mitos itu. Semua ini tentu tak
lepas dari para petinggi yang menguatkan. Misalnya di berbagai media,
Hidayat Nurwahid (HNW) begitu kerap meyakinkan kader-kadernya untuk
tetap bisa dan bisa melalui jalan terjal yang disebutnya ujian dakwah
ini. Begitulah, kira-kira dengan ketiga alasan diatas, akhirnya PKS
berhasil memenangkan pilkada Jabar dan Sumut, apakah yang demikian bukan
kemenangan dakwah? Saya kira tetap sebagai kemenangan. Dalam konteks
ketatanegaran, jalur kekuasaan adalah instrument paling strategis untuk
melahirkan kebijakan-kebijakan yang memihak umat Islam? Bagaimana kalau
umat Islam tak punya kuasa? kita sudah tahu jawabnya, bahwa penindasan,
ketidakadilan dan kesemena-menaan akan nampak di depan mata.
Itulah yang menurut saya rahasia kemenangan PKS. Hanya saja, kemenangan
ini bagi saya hanyalah kemenangan awal. Semacam keberhasilan menjebol
benteng. Langkah selanjutnya adalah bagaimana mengelola kekuasaan
tersebut. Apakah PKS dengan kepemimpinan di daerah tersebut mampu
memberikan kemanfaatan sebesar-besar untuk kemampuan umat dan rakyatnya?
Inilah yang menjadi PR kemudian. Kekuasaan hanyalah alat semata.
Substansi paling penting adalah kontribusi kepemimpinan bagi kemanfaatan
dan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Begitulah kekuasaan
menemukan bentuknya. (Yons Achmad/Wasathon.com)
jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar