jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu

Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..

Sabtu, 09 Maret 2013

Gatot Pujo Nugroho : Dari Tukang Batu, Gagal Kuliah, Bea Siswa, sampai jadi Gubernur Propinsi terbesar ke-3 di Indonesia

Nama Gatot Pudjo Nugroho tengah populer di Provinsi Sumatera Utara. Ia unggul dalam perhitungan cepat (quick count) pilgub, Kamis (7/3) lalu. Pria kelahiran Magelang itu berpeluang menjadi Gubernur Sumut 2013-2018.

UNGGUL dalam penghitungan cepat pilgub menjadi prestasi bagi pria kelahiran Magelang, 11 Juni 1962.

Bersaing dengan rival pasangan calon yang semuanya adalah putra daerah setempat, ia berhasil menunjukkan sisi ketokohannya. Beberapa tahun terakhir ia memang menempati jabatan strategis eksekutif di Tanah Batak.

Sebelumnya ia adalah wakil gubernur Sumatera Utara periode 2008-2013 mendampingi Gubernur Syamsul Arifin. Namun, pada 2011 ia naik menjadi Plt Gubernur Sumut karena Syamsul Arifin terjerat kasus korupsi.

Terlepas dari perjuangannya di Pilgub Sumut, ada kisah menarik mengenai sejarah masa kecil Gatot. Putra pasangan Djoeli Tjakra Wardaja (80) dan Soelastri (alm) ini berasal dari Kampung Potrosaran, sebuah kampung kecil di Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang.

Ayahnya anggota TNI berpangkat Sersan.Ditemui di rumah tinggalnya kini di Perumahan Kalinegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Djoeli Tjakra pun menuturkan riwayat Gatot.

Di Kota Magelang, Gatot menghabiskan masa remajanya dan menempuh pendidikan hingga STM Negeri Magelang.

Menjelang tamat STM, Gatot yang juga punya keinginan besar untuk menjadi tentara itu berniat mengikuti test Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri), tetapi gagal.

’’Gatot lulus STM pada 1981. Lalu ia bekerja dengan Pak Aknum, seorang kontraktor bangunan. Ia tidak meneruskan pendidikan karena pada saat itu memang saya tidak bisa lagi membiayai,’’ katanya, kemarin.

Bekerja di perusahaan kontraktor, Gatot diberi pekerjaan menata batu untuk pondasi Jl Raya Kaponan-Ketep. Atas pekerjaannya, ia mendapat bayaran dari bosnya. Karena saat itu gaji yang diterima sangat kecil dan tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, Gatot pulang ke rumah dan menangis. Di hadapan orang tuanya, ia merengek ingin meneruskan sekolah saja ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan tidak mau lagi bekerja.

Gatot pernah pula melamar untuk Sekolah Calon Bintara (SECABA) Angkatan Darat (AD) namun harus tersingkir saat tes bidang kesehatan. Alasannya, kulit kakinya yang kasar dan berlubang-lubang karena pekerjaan kasar yang ditekuninya itu.

’’Ia pernah nangis di hadapan saya karena gajinya tidak cucuk (tidak sesuai). Ia merengek ingin meneruskan sekolah saja ke UGM dan tidak mau bekerja,’’ kenang sang ayah sambil tersenyum geli.

Karena keterbatasan ekonomi, Djoeli tak lantas mengabulkan keinginan putra keduanya itu. Gaji sebagai anggota TNI berpangkat sersan tak mencukupi membiayai pendidikan anak hingga perguruan tinggi. Terlebih masih ada tiga adiknya yang masih memerlukan biaya sekolah.

Meski ditolak sang ayah, Gatot tetap bertekad melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak bisa mendaftar ke UGM, ia memilih target lain, yakni Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hanya berbekal selembar surat kabar yang terdapat lembar pengumuman pendaftaran mahasiswa baru di ITB, suami dari Sutias Handayani itu berangkat ke Bandung. Ia mendaftarkan diri di D3 Politeknik ITB Bandung jurusan Teknik Sipil Program Studi Konstruksi Bangunan Gedung. Jurusan tersebut untuk menghasilkan instruktur yang akan ditempatkan di politeknik yang akan didirikan di berbagai daerah di Indonesia.

Karena tak akan dipungut biaya pendidikan, Gatot ikut tes dan akhirnya dinyatakan lulus. Setamat program D3 ITB tersebut, Gatot ditempatkan sebagai staf pengajar di Politeknik USU sejak 1986. Sejak saat itu, dia tinggal di Medan hingga sekarang. Sejak itulah ia mengenal betul Tanah Batak.

Mengenai karir politik, nama Gatot Pujo Nugroho mencuat dan mulai dikenal luas bersamaan dengan amanah diembannya sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS Sumut 2006-2011. Sebelumnya, meski aktif dalam kegiatan dakwah bersama PKS, nama Gatot belum begitu dikenal di tengah-tengah publik. Pasalnya, karena tercatat sebagai dosen di Politeknik Negeri Medan (Polimed), namanya tidak masuk dalam struktur kepengurusan PKS Sumut.

Bersamaan dengan terpilihnya dia sebagai Ketua DPW PKS Sumut dalam Musyawarah Wilayah (Muswil) I PKS Sumut pada akhir 2006 lalu, Gatot pun secara resmi mengundurkan diri sebagai staf pengajar di Polimed.

Saat menduduki jabatan sebagai Plh Ketua DPW PKS Sumut pada 2005, selanjutnya, dia diminta menjadi calon Wakil Gubernur Sumatera Utara mendampingi Syamsul Arifin. Sejak itu namanya makin populer di seluruh wilayah Sumatera Utara. Sampai akhirnya ia membulatkan tekad mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumut periode 2013-2018 bersama Tengku Erry yang diusung PKS dan Hanura.

Pada Lebaran 2012, ia menyempatkan diri pulang ke Kota Magelang untuk meminta doa restu orang tua dan saudara-saudaranya. Djoeli, sang ayah pun memberi pesan kepada Gatot agar jangan banyak mengumbar janji dalam berkampanye.

’’Saya memberi restu. Saya juga berpesan apabila nanti berhasil terpilih sebagai gubernur, agar tetap menjalankan tugas sesuai amanahnya. Kami orang tua tetap bangga pada Gatot dan lebih bangga lagi kalau Gatot pun jadi kebanggaan warga Sumatera Utara,’’ ungkap Djoeli.


Sumber: DPW PKS Sumut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar