REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Usai menjalani agenda kampanye di Kepulauan
Seribu, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Hidayat Nur
Wahid-Didik J. Rachbini, menerima kedatangan perwakilan Koperasi
Aliansi Tani Nasional (Kopatnas).
Bertempat di Markas
Pemenangan Hidayat-Didik, Jl. Warung Buncit, Jakarta Selatan, Kamis
(28/6), Hidayat-Didik menerima pengurus Kopatnas yang diwakili Rafi dan
Lita. Kedatangan mereka untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan
belasan ribu perajin dan pengusaha tempe yang tergabung dalam Kopatnas.
Menurut mereka, selama ini nasib pengusaha tempe tidak mendapat
perhatian besar dari pemerintah, seperti dalam kasus tingginya harga
kedelai impor yang membuat para pengusaha tempe menjerit.
"Kalau dilihat potensi pengusaha tempe itu sangat besar sekali.
Sayangnya selama ini tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah. Karena
itu, kita hanya menanamkan prinsip, ayo kita berjuang di atas kaki kita
sendiri," ungkap Lina.
"Saat ini kita berfikir, kita butuh
figur yang membantu mengangkat potensi yang ada. Sebelumnya kita
berharap pada gubernur yang sekarang, tapi yang ada kami tidak dilirik
sama sekali. Kemudian ketika ada kesempatan bertemu istri Pak Hidayat,
saya disuruh langsung menyampaikan pada Bapak," ujar Lina kepada
Hidayat.
Menanggapi hal tersebut, Hidayat mengatakan, pada
dasarnya kebijakan impor kedelai merupakan wewenang Menteri
Perdagangan. "Tapi bukan berarti Gubernur tinggal diam. Banyak hal yang
bisa dilakukan, di antaranya mendorong kemampuan pembiayaan dengan
memberikan kemudahan pinjaman modal," papar mantan ketua MPR tersebut.
Kekecewaan terhadap pemerintah, menurut Lina, berimbas menurunnya
partisipasi politik para pengusaha tempe. Bahkan banyak di antara mereka
yang berniat golput dalam Pemilukada DKI Jakarta, 11 Juli mendatang.
Dengan respon positif yang ditunjukkan oleh Hidayat-Didik, Lina
mengungkapkan akan mengarahkan sekitar 12.000 perajin dan pengusaha
tempe untuk menggunakan hak pilihnya dengan mendukung pasangan
Hidayat-Didik. "UKM itu punya potensi, tapi salah asuh dari pemerintah,"
tukas Lina
jika politik adalah sesuatu yang abu-abu
yang menjadi senjata para penguasa
yang menjadi sindikat pengejar harta dunia
maka aku bukanlah itu
Namun jika politik adalah pembelaan & perjuangan
yang membangunkan keberanian retorika
dan lantang meneriakkan keadilan
maka aku adalah politikus itu
Jika demokrasi adalah belenggu penjajahan
diramaikan oleh tangan-tangan gila jabatan
disetir untuk mengubur kepribadian anak bangsa
maka itu bukan tempatnya
Namun jika demokrasi adalah sebuah peluru pembebas
yang pengusungnya adalah teladan sejati
dan ideologinya menembus keangkuhan parlemen
maka itu adalah kendaraannya..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar