Aktivis dakwah merupakan profesi yang oleh sebagian kalangan sangat melekat dari dirinya, melewati batas-batas dan sekat profesi lainya. Segala potensi yang ada di dalam dirinya akan selalu di abdikan demi keberlangsungan dakwah, baik dalam keadaan sulit maupun lapang. Sebagai upaya melanjutkan risalah para nabi yang berbalas amat luar biasa, yaitu Syurganya Alloh.
Namun sebagai manusia, berbagai problematika kehidupan dan kondisi yang bersinggungan dengan pribadi terkadang dapat menjadi batu sandungan. Sifat - sifat negatif dalam diri yang tak terkendali bisa dapat berakibat negatif bagi keberlangsungan dakwah itu sendiri. Sedikitnya ada 3 hal yang benar-benar perlu di waspadai oleh seorang aktivis dakwah, yakni meninggalkan sikap kikir, jangan memperturutkan hawa nafsu dan membuang sikap bangga terhadap diri sendiri.
Meninggalkan Sikap Kikir
Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (harta) pada jalan Allah. Namun di antaramu ada orang yang kikir.Dan barangsiapa yang kikir, sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri. Sebab Allah maha kaya, sedangkan kamu orang-orang yang selalu membutuhkan-Nya (QS. Muhamad :38)
Kepemilikan harta seharusnya menjadi wasilah dalam meningkatkan ibadah kita kepada-Nya. Meskipun demikian dalam praktiknya ternyata tidak begitu. Banyak di antara kita yang dititipi kekayaan, malah menjadi kikir. Bahkan ada juga yang tergelincir melakukan kemaksiatan disebabkan karena hartanya.
Lahirnya kemaksiatan karena harta menurut para ulama digolongkan ke dalam kategori penyakit hati. Hal tersebut sebagaimana disinyalir Syaikh Aidh bin Abdullah Al Qarni. Menurutnya, kategori penyakit hati memiliki tiga ciri. Pertama, enggan melakukan sembahyang secara berjamaah. Kedua, jarang sekali mengingat Allah. Bahkan porsi ingatannya pada kesenangan, pada makanan, pada minuman, pada kawan-kawan, pada semua yang dicintai dan pada tempat tinggalnya, jauh lebih banyak ketimbang porsi ingatnya pada Allah, sebagaimana disinggung dalam firman-Nya "Dan Tidaklah mereka mengingat Allah kecuali hanya sedikit sekali." (QS. An Nisaa: 142). Ketiga, apa yang dikatakan mulutnya tidak sesuai dengan isi hatinya.
Senada dengan ungkapan di atas, Ibnu Taimiyyah mengemukakan, kekikiran dan kebakhilan adalah penyakit. Orang bakhil seantiasa menahan dirinya untuk menginfakkan hartanya, sedangkan orang pendengki membenci kenikmatan yang dikaruniakan Allah kepada orang lain. Dengan demikian, lahirnya sifat kikir, melakukan kemaksiatan, dan bakhil merupakan bagian dari penyakit hati yang harus dihindari.
Kikir adalah perumpamaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang memiliki harta tetapi tidak digunakan untuk kepentingan ibadah kepada-Nya. Harta yang dimilikinya merasa hasil jerih payah, kerja keras, dan kecerdasan dirinya. Sehingga yang bersangkutan tidak rela jika harta itu digunakan untuk kepentingan di jalan Allah.
Mengamati dampak yang ditimbulkan dari sifat kikir, maka selayaknya kita menghindari penyakit hati yang satu ini. Sebab, jika kita tetap bersikukuh bahwa harta yang kita miliki adalah hasil kerja keras, ancaman tengah mengincar kita sebagaimana Allah berfirman,
"Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka. Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang akibat dari yang kamu simpan itu. (QS. At-Taubat: 35).
Jangan Memperturutkan Hawa Nafsu
Setiap orang memiliki hawa nafsu dalam dirinya. Secara harfiyah, hawa artinya kehendak, sangat cinta. Nafsu (nafs) artinya ruh, jiwa, raga, diri, kehendak, selera, dan usaha. Jadi, hawa nafsu bisa diartikan ”kehendak jiwa”.
Dalam bahasa Indonesia, nafsu sering dimaknai sebagai keinginan, kecenderungan, atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan perkataan hawa (jadi hawa nafsu), biasanya dikaitkan dengan dorongan hati yang kuat untuk melakukan perkara yang tidak baik. Adakalanya bermakna selera, jika dihubungkan dengan makanan.
Ada pendapat, hawa nafsu itu “setan yang bersemayam di dalam diri manusia”. Tugasnya mengusung manusia kepada kefasikan atau pengingkaran kepada aturan (Allah SWT).
Memperturuti hawa nafsu akan membawa manusia kepada kerusakan. Akibat pemuasan nafsu jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. Hawa nafsu yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak potensi diri seseorang. Ia menjadi ”budak nafsu”; manusia lemah yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Ia menjadi manusia hancur dan hina di hadapan Allah SWT.
Diriwayatkan dari Imam Al-Baqir, Rasulullah Saw bersabda, Allah swt berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keperkasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku, tak seorang hamba pun yang mengutamakan keinginannya (nafsunya) di atas keinginan-Ku, melainkan Aku kacaukan urusannya, Aku kaburkan dunianya dan Aku sibukkan hatinya dengan dunia serta tidak Aku berikan diinia kecuali yang telah kutakar untuknya.” (Hadits Qudsi).
”Demi kemulian-Ku, kebesaran-Ku, keagungan-Ku, keperkasaan-Ku, nur-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian tempat-Ku, tak seorang hamba pun yang mengutamakan keinginan-Ku di atas keinginan (nafsu) dirinya melainkan Aku suruh malaikat untuk menjaganya, langit dan bumi menjamin rezekinya dan menguntungkan setiap perdagangan yang dilakukannya serta dunia akan datang dan selalu berpihak kepadanya”. (Hadits Qudsi).
Keberadaan orang yang menuhankan hawa nafsu ditegaskan Allah SWT dalam Al-Quran:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Q.S. Al-Furqon:43).
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (Q.S. An-Nazia’at:40- 41).
Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan pada diri kalian adalah dua hal, yaitu menuruti hawa nafsu dan angan-angan panjang.”
Diriwayatkan melalui Imam Shâdiq, Rasulullah Saw bersabda: “Waspadalah terhadap hawa nafsu kalian sebagaimana kalian waspada terhadap musuh. Tiada yang lebih pantang bagi manusia daripada mengikuti hawa nafsu dan ketergelinciran lidah yang tak bertulang.”
Membuang Sikap Bangga Terhadap Diri Sendiri
Bangga terhadap diri sendiri atau sombong adalah sifat yang dimiliki manusia dengan menganggap dirinya lebih dengan meremehkan orang lain, karenanya orang yang takabbur itu seringkali menolak kebenaran, apalagi bila kebenaran itu datang dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari dirinya, Rasulullah Saw bersabda:
Takabbur itu adalah menolak kebenaran dan dan menghina orang lain (HR.Muslim).
Sombong merupakan sifat iblis laknatullah, dengan sebab itulah ia divonis ingkar/kafir kepada Allah Swt, sebagaimana firman Allah Swt :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “bersujudlah kamu kepada Adam”, maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang sujud. Allah berfirman: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) diwaktu Aku menyuruhmu?. Iblis menjawab: aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. Allah berfirman: turunlah kamu dari surga itu, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina." (QS 7:11-13, lihat juga QS 40:60).
Ada banyak dampak negatif atau bahaya dari sifat sombong ini, diantara adalah:
Pertama, Tidak senang pada saran apalagi kritik, hal ini karena ia sudah merasa sempurna, tidak punya kekurangan, apalagi bila kesombongan itu tumbuh karena usianya yang sudah tua dengan segudang pengalaman, ia akan menyombongkan diri kepada orang yang muda, atau sombong karena ilmunya banyak dengan gelar kesarjanaan.
Kedua, Tidak senang terhadap kemajuan yang dicapai orang lain, hal ini karena apa yang menjadi sebab kesombongannya akan tersaingi oleh orang itu yang menyebabkan dia tidak pantas lagi berlaku sombong, karenanya orang seperti ini biasanya menjadi iri hati (hasad) terhadap keberhasilan, kemajuan dan kesenangan yang dicapai orang lain, bahkan kalau perlu menghambat dan menghentikan kemajuan itu dengan cara-cara yang membahayakan seperti memfitnah, permusuhan hingga pembunuhan.
Ketiga, Menolak kebenaran meskipun ia meyakininya sebagai sesuatu yang benar, hal ini difirmankan Allah Swt di dalam Al-Qur’an: Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan (QS 27:14).
Keempat, Dibenci Allah Swt yang menyebabkannya tidak akan masuk syurga. Allah Swt berfirman: Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong (QS 16:23).
Sumber: Islamedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar